Sistem pangan di Indonesia saat ini dinilai rentan karena ditopang impor. Perbaikan mutlak diperlukan dengan mengedepankan petani sebagai pelaku penting dalam kedaulatan pangan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menunjukkan kerentanan sistem pangan yang disandarkan pada pasar dengan mengabaikan aspek kedaulatan pangan. Ketergantungan pada impor dan panjangnya rantai pasok telah berdampak buruk bukan hanya kepada konsumen di perkotaan, melainkan juga petani yang menjadi produsen pangan.
Demikian terungkap dalam diskusi daring yang diselenggarakan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Tani Center IPB University, Kamis (15/10/2020). ”Pandemi ini telah mengganggu rantai pasok pangan dan petani menjadi korbannya. Harga komoditas hortikultura di tingkat petani turun sampai 50 persen sejak Maret lalu. Saat panen raya pada Mei lalu, harga padi juga di bawah HPP (harga pembelian pemerintah),” kata Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah.
Di sisi lain, masyarakat perkotaan ternyata justru terhambat dalam mendapatkan pangan berkualitas. ”Bahkan, ada kasus orang yang meninggal karena kelaparan. Ini menunjukkan bahwa sistem pangan kita tidak cukup tahan dan adil,” katanya.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam laporan terbaru ”The State of Food Security and Nutrition in the World 2020” menyebutkan, pandemi Covid-19 dapat menambah 83 juta-132 juta orang ke total penduduk yang mengalami kekurangan gizi di dunia pada tahun 2020, bergantung pada skenario pertumbuhan ekonomi.
Kerentanan pangan di Indonesia bisa tergambar dalam Global Hunger Index 2020, yang menempatkan Indonesia di urutan ke-70 dari 107 negara. Dengan skor 19,1, Indonesia dikategorikan dalam tingkat kelaparan sedang. Skor ini membaik dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 23,1.
”Kalau krisis berkepanjangan, impor pangan dari luar akan bermasalah. Belajar dari krisis 1997/1998 kedaulatan pangan lokal menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi sistem pangan secara menyeluruh. Selama ini kekuatan pangan disandarkan pada luar, yang ditandai dengan semakin meningkatnya impor pangan,” ujar Said.
Situasi ini, menurut Said, justru dimanfaatkan para pemburu rente, seperti terjadi di awal pandemi saat pemerintah membuat relaksasi perizinan impor bawang putih. ”Di sisi lain, tidak ada upaya serius pemerintah untuk membantu petani yang menderita karena harga produk mereka yang jatuh. Padahal, saat pandemi ini, petani juga berada di garis depan, terus bekerja menyediakan pangan untuk seluruh rakyat,” tuturnya.
Menurut Said, diperlukan perbaikan sistem pangan dengan fokus pada aspek kedaulatan dan keadilan. ”Petani belum berdaulat, masih menjadi obyek dan menerima manfaat yang kecil dari sistem pangan yang ada saat ini. Sistem ini menyebabkan generasi muda saat ini enggan masuk ke sektor pertanian sehingga menyebabkan adanya masalah bagi regenerasi petani,” katanya.
Apni Naibaho, Duta Petani Muda dari Pematang Siantar, mengatakan, keberadaan petani sangat penting pada situasi sulit seperti saat ini. ”Saya dan petani di Blok Songo, Pematang Siantar, terus menanam pada situasi pandemi ini. Penyediaan pangan harus terus dilakukan walaupun petani sendiri menghadapi berbagai persoalan. Sekarang ini saya sebagai petani muda bangga bisa berkontribusi menjaga ketahanan pangan negara,” ujarnya.
Menurut Apni, petani muda dituntut kreatif untuk bisa bertahan di tengah impitan persoalan, termasuk keterbatasan lahan. ”Di antaranya yang kami lakukan dengan memasarkan seluruh produk sayuran organik kami secara daring. Kami juga mengolah kelebihan hasil panen menjadi beragam produk lain,” katanya.
Meski demikian, tambah Apni, untuk menarik lebih banyak peran petani muda, pemerintah perlu memberikan dukungan. ”Selain kebijakan dan sistem pangan yang menguatkan posisi petani, pada tataran teknis perlu penguatan kapasitas petani dan fasilitasi dengan peralatan yang modern,” ujarnya.
Sistem pangan
Pentingnya sistem pangan yang adil dan berpihak kepada petani juga diingatkan Hermanu Triwidodo, Ketua Tani Center IPB University, yang juga dosen di Fakultas Pertanian IPB University. ”Kebijakan dan sistem pangan seharusnya didorong dari kepentingan petani sebagai subyek pembangunan pertanian dan penyedia pangan bangsa, bukan dari kepentingan pihak luar,” ungkapnya.
Hermanu juga mempertanyakan peruntukan proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah, tetapi dinilai bukan jawaban atas persoalan pangan di Indonesia. Sebaliknya, hal ini dikhawatirkan memicu masalah baru.
”Itu dibangun untuk apa? IPB sedang mengkaji ini, untuk melihat siapa yang paling berkepentingan dengan proyek ini, apakah korporasi atau petani. Namun, kalau pendekatannya sama seperti food estate di Merauke yang memaksakan menanam padi di tengah budaya sagu, ini bukan jawaban atas masalah pangan kita saat ini,” katanya.
Menurut dia, kebijakan pangan harus berpihak kepada petani sehingga anak-anak muda mau masuk ke sektor ini. ”Kalau memang berpihak ke petani, yang dipikirkan seharusnya bagaimana memberikan tambahan akses lahan kepada para petani kecil, bukan korporasi besar,” katanya.
Dalam rangka perbaikan sistem pangan yang lebih berdaulat, adil, dan memiliki daya tahan, menurut Said, KRKP bersama Tani Center IPB University mencanangkan Indonesian Food System Summit yang akan digelar pertengahan tahun 2021. Menurut Said, pertemuan tersebut digagas untuk menghasilkan gagasan dan model sistem pangan yang berdaulat, adil, dan resilien. Harapannya, gagasan dan model yang dihasilkan dapat menjadi kerangka kebijakan pangan nasional.