Sistem layanan kesehatan primer di Indonesia masih belum memadai. Padahal, fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanggulangan Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menunjukkan lemahnya sistem layanan primer dan dominasi pendekatan kuratif berbasis rumah sakit. Belajar dari kesuksesan Thailand mengatasi Covid-19, sistem layanan primer menjadi garda terdepan dalam mencegah meluasnya wabah melalui pendekatan kesehatan publik.
”Banyak negara, termasuk WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), lebih mencurahkan energi untuk kesiapan rumah sakit, termasuk dokter. Artinya, fokus ke layanan sekunder dan tersier. Namun, semakin disadari pandemi ini membuat kita melupakan pentingnya pelayanan di tingkat primer,” kata Yoni Syukriani, mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2016-2018, dalam diskusi daring yang diadakan Komunitas Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Layanan Kesehatan Indonesia, Kamis (15/10/2020), di Jakarta.
Pandemi ini membuat kita melupakan pentingnya pelayanan di tingkat primer.
Menurut Yoni, masalah pandemi terbesar ini ada di tingkat primer. ”Pelayanan di tingkat primer harus menjadi benteng untuk mencegah penderita menjadi semakin sakit dan butuh pelayanan lebih lanjut. Kalau mau mengatasi pandemi secara komprehensif, pelayanan primer harus lebih siap. Apalagi pandemi ini bisa panjang dan bisa jadi ke depan ada tantangan baru,” katanya.
Masalahnya, kondisi pelayanan primer sejak 2017 justru mengalami masalah di sejumlah negara. Sebagai contoh, akses masyarakat terhadap layanan primer justru menurun di banyak negara.
”Penanganan pandemi yang terpusat, seperti di Inggris, justru dianggap tidak berhasil karena data masyarakat ada di dokter keluarga atau layanan primer. Sementara di Brasil, sekitar 80 persen dari jumlah total penderita Covid-19 mengalami gejala ringan sehingga salah jika layanan primer tidak dilibatkan. Ini seharusnya bisa diatasi di model layanan primer,” katanya.
Di Indonesia, sistem juga masih belum mendorong dokter ke layanan primer. Karier di layanan primer dianggap tidak menarik. ”Rata-rata menjadi karier sementara sebelum menjadi spesialis,” ungkapnya.
Menurut Yoni, untuk memperkuat layanan primer berarti juga harus memperkuat kualitas sumber dayanya. Dokter yang dibutuhkan di layanan primer harus memiliki kemampuan tinggi bukan hanya klinik dan terapi, melainkan juga pemahaman mengenai kesehatan masyarakat. Dokter di layanan kesehatan primer juga harus bisa menjadi pemimpin tim, kompetensi komunikasi, dan mendorong inovasi, hingga deteksi dini.
Kesuksesan Thailand
Gubernur Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher mengatakan, sistem kesehatan di Indonesia sudah bermasalah sebelum pandemi sehingga kita kesulitan menghadapi Covid-19. ”Bahkan, Inggris yang dikenal sangat kuat kesehatan publiknya juga kesulitan, dengan jumlah korban meninggal sangat banyak,” tuturnya.
Sekalipun demikian, terdapat sejumlah negara yang dianggap berhasil menghadapi Covid-19. ”Saya ingin mengambil perbandingan Thailand, yang memiliki angka kasus hanya 3.665 orang dan yang meninggal 59 orang. Sementara kita jauh lebih banyak. Dengan kekayaan negara hampir sama, jumlah penduduk sekitar 70 juta,” katanya.
Kesuksesan Thailand dalam mengatasi pandemi ini juga telah diakui WHO. Menurut Akmal, salah satu kunci sukses mereka adalah berinvestasi di layanan kesehatan, khususnya layanan primer.
Thailand memiliki 1.000 rumah sakit umum dan 10.000 sistem layanan primer. Indonesia juga punya 10.300 puskemas, tetapi penduduk Thailand jauh lebih kecil. Jadi, layanan primer mereka jauh lebih luas jangkauannya.
”Tidak hanya jumlah, tetapi layanan primer juga menjadi tempat promosi kesehatan. Namun, kualitas layanan bagi yang sakit juga bagus sehingga yang harus dirujuk kurang,” katanya. Kini, arah layanan primer di Thailand menjadi dokter keluarga dan ini dimasukkan dalam konstitusi.
Menurut Akmal, upaya ini telah dilakukan sejak tahun 2000. ”Pascapandemi ini seharusnya kita serius perbaiki layanan kesehatan primer,” tuturnya.
Selain itu, Thailand mengerahkan satu juta sukarelawan kesehatan yang dikirim ke daerah untuk bekerja sama dengan layanan kesehatan primer. ”Mereka berkampanye dari pintu ke pintu untuk promosi kesehatan, aktif melacak kasus, surveilans, membantu karantina, bahkan membagikan masker ke masyarakat,” kata Akmal.
Berikutnya, Pemerintah Thailand merespons amat cepat sejak awal wabah terjadi. Hanya dalam waktu tiga hari setelah China mengumumkan adanya penyakit baru infeksi saluran pernapasan, mereka mulai memeriksa turis dari Wuhan dan dalam waktu lima hari menemukan kasus pertama di luar China.
Temuan ini diikuti dengan langkah serius untuk mempromosikan protokol kesehatan di masyarakat, termasuk jaga jarak dan pakai masker. Ini membantu mereka menekan lonjakan kasus sejak awal. ”Thailand memerintahkan warganya memakai masker sebelum WHO menyarankan. Ini karena kepemimpinan kuat, dipimpin langsung oleh perdana menterinya,” ujarnya.
Selain itu, Thailand juga sangat serius dalam mengomunikasikan informasi kepada publik. Itu termasuk dengan mengukur perubahan perilaku setiap minggu di sejumlah daerah.