Makin Lama Pandemi, Kecemasan dan Depresi Meningkat
Makin lama pandemi Covid-19 berlangsung, intensitas berbagai gangguan psikologis akan meningkat. Untuk menjaga kesehatan mental dan ketangguhan warga, perlu dukungan komunitas dan akses terhadap layanan kesehatan jiwa.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan pola kehidupan selama pandemi Covid-19 memicu munculnya kecemasan, depresi, trauma psikologis, dan keinginan bunuh diri. Makin lama pandemi berlangsung, berbagai gangguan psikologis itu makin meningkat intensitasnya.
Hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari 5.661 orang di 31 provinsi antara 4 April dan 7 Oktober 2020 menunjukkan, sebesar 68 persen responden di antaranya mengalami masalah kejiwaan atau psikologis. Dari jumlah tersebut, 67,4 persen mengalami gangguan cemas, 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen mengalami trauma psikologis.
”Paling banyak yang mengalami masalah psikologis tersebut adalah penduduk usia dewasa muda kurang dari 30 tahun,” kata Ketua Umum PDSKJI Diah Setia Utami dalam webinar menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS), di Jakarta, Rabu (14/10/2020). HKJS diperingati tiap 10 Oktober.
Dari jumlah tersebut, Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri PDSKJI Khamelia Malik memperkirakan, prevalensi gangguan cemas masyarakat Indonesia selama pandemi ini mencapai 39 persen dan prevalensi depresinya sebanyak 51 persen. Prediksi ini valid di daerah yang cakupan respondennya cukup tinggi, seperti provinsi-provinsi di Jawa.
Kecemasan itu muncul sebagai perasaan khawatir akan terjadi hal buruk, khawatir berlebih terhadap semua hal, mudah kesal atau jengkel, hingga gugup dan gelisah. Kecemasan paling banyak dialami penduduk dewasa muda yang mengkhawatirkan pekerjaan mereka sebagai sumber pendapatan dan eksistensi, hilangnya kesempatan, dan pembatasan yang berdampak luas pada kehidupan pribadi dan profesional mereka.
”Sebelum pelaksanaan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), kecemasan masyarakat sudah ada. Namun, semakin panjangnya pelaksanaan PSBB, dari ketat, transisi, hingga ketat lagi, kecemasan itu justru meningkat,” katanya. Di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, kecemasan itu diperkirakan terus naik.
Paling banyak yang mengalami masalah psikologis tersebut adalah penduduk usia dewasa muda kurang dari 30 tahun.
Kondisi serupa terjadi pada meningkatnya depresi di masyarakat seiring tidak jelasnya kapan pandemi berakhir. Depresi itu biasanya muncul dalam bentuk gangguan tidur, baik sulit tidur maupun justru banyak tidur, merasa sebagai orang yang gagal atau mengecewakan diri dan keluarga, lelah kurang bertenaga, hingga kurang bergairan melakukan apa pun.
Dari swaperiksa itu juga terungkap 48 persen responden berpikir tentang kematian atau ingin melukai diri. Dari jumlah itu, 68 persen responden memiliki pikiran bunuh diri, 5 persen responden memiliki rencana atau mencoba bunuh diri, dan 66 persen di antaranya belum menjalani pengobatan sama sekali. Padahal, bunuh diri dianggap sebagai puncak masalah kesehatan jiwa.
Selain itu, layanan psikososial 194 psikolog klinis se-Indonesia terhadap 14.619 klien individu, 927 klien keluarga, dan 191 klien komunitas antara Maret dan Agustus 2020 menemukan persoalan psikologis yang paling banyak dialami klien adalah hambatan belajar sebanyak 27,2 persen. Masalah ini umumnya dihadapi klien anak dan remaja.
Adapun masalah psikologis yang banyak ditemukan pada semua kelompok umur adalah keluhan stres sebanyak 23,9 persen, keluhan kecemasan 18,9 persen, keluhan suasana hati yang berubah-ubah 9,1 persen dan gangguan kecemasan 8.8 persen. Gangguan kecemasan itu berarti sudah melalui diagnosis psikolog dan sebagian besar terjadi pada lansia.
”Jika keluhan-keluhan itu tidak tertangani dengan baik, bisa menjadi gangguan yang perlu segera ditangani,” kata Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Indria L Gamayanti.
Ketangguhan masyarakat
Munculnya berbagai masalah kejiwaan selama pandemi ini perlu mendapat perhatian serius sejumlah pihak untuk mendukung kesehatan jiwa di masyarakat. Meski pandemi dinyatakan berakhir, sejumlah pihak meyakini dampak pandemi masih akan terasa hingga beberapa tahun ke depan.
Menghadapi ketidakpastian yang panjang itu, tambah Ketua Satuan Tugas Covid-19 IPK Indonesia Annelia Sari Sani, maka kesehatan mental dan ketangguhan masyarakat menghadapi pandemi perlu ditingkatkan hingga lebih tahan saat muncul gejala cemas, depresi, ataupun berbagai perasaan negatif.
”Meningkatkan ketangguhan itu bisa dilakukan dengan mendorong faktor pendukung kesehatan jiwa, seperti membangun relasi yang baik dalam keluarga ataupun kelompok,” katanya.
Banyaknya waktu berkumpul dalam keluarga bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan tatap muka langsung dan membangun hubungan yang lebih berkualitas dengan anggota keluarga yang lain. Sementara dengan teman atau keluarga yang jauh bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang masif digunakan selama pandemi.
Upaya meningkatkan ketangguhan mental juga bisa dilakukan dengan fokus untuk mengendalikan atau mengontrol hal-hal yang bisa kita kendalikan langsung. Sementara hal-hal yang berada di luar kendali kita, sebaiknya ditanggapi dengan sikap pasrah. Serumit apa pun persoalan yang saat ini terjadi harus diyakini akan ada jalan keluar dan akhirnya.
Berbagai persoalan kesehatan jiwa yang muncul selama pandemi ini menunjukkan kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, sejak sebelum pandemi, kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata. Layanan dan akses kesehatan jiwa yang ada pun terbatas.
Saat ini, hanya ada 1.053 psikiter atau dokter spesialis kedokteran jiwa dan 2.800-an psikolog klinis di Indonesia. Jumlah itu tentu sangat kurang untuk melayani 270 juta jiwa penduduk. Mereka pun umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar.
Karena itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Siti Khalimah mengajak semua pihak untuk meningkatkan investasi dan akses terhadap layanan kesehatan jiwa yang lebih besar. Selain peningkatan layanan kesehatan jiwa di berbagai fasilitas dasar dan jaminan pembiayaan universal bagi penyandang masalah kejiwaan, penghapusan stigma juga menjadi tantangan besar.
Berbagai upaya itu tidak mungkin dilakukan tenaga kesehatan sendiri karena persoalan kesehatan jiwa bukan masalah kesehatan semata. Keterlibatan kelompok masyarakat, melalui tokoh masyarakat ataupun tokoh agama, juga diperlukan untuk membangun kesadaran pentingnya kesehatan jiwa dalam membangun masyarakat sejahtera.