Perubahan Skema Mempercepat Proses Penilaian Amdal
Perubahan sejumlah ketentuan amdal dalam RUU Cipta Kerja diklaim bisa mempercepat proses penilaian. Di sisi lain, langkah ini malah dinilai meningkatkan ancaman kerusakan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah skema penilaian dan persetujuan pada analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal. Perubahan skema ini diklaim pemerintah dapat membantu dan mempercepat proses penilaian lingkungan yang kerap macet di sejumlah daerah karena keterbatasan sumber daya manusia.
Berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja terbaru versi 812 halaman, sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sejumlah pasal diubah dan dihapus. Dari sejumlah pasal yang diubah tersebut, ketentuan terkait proses amdal menjadi sorotan publik.
Sorotan tersebut di antaranya pada proses penyusunan amdal yang menghilangkan peran Komisi Penilai Amdal dan digantikan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.
Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ary Sudijanto, Rabu (14/10/2020), dalam telekonferensi pers menjelaskan perubahan itu dilakukan untuk memfasilitasi penilaian amdal di sejumlah daerah yang sangat terbatas.
”Dalam UU No 32/2009, Komisi Penilaian Amdal yang dibentuk oleh gubernur, bupati, dan wali kota itu hanya satu, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sementara kondisinya saat ini di beberapa daerah, termasuk di pusat, terjadi overload (kelebihan) beban penilaian amdal. Kami di pusat tahun kemarin saja ada 80 dokumen yang dinilai,” ujarnya.
Berdasarkan catatan KLHK, setiap tahun, lebih dari 40 dokumen amdal di sejumlah daerah menunggu untuk dinilai. Daerah yang terjadi penumpukan proses penilaian dokumen amdal itu di antaranya Bekasi (57 dokumen), Batam (43), DKI Jakarta (79), dan Jawa Tengah (42). Kondisi ini dinilai menyebabkan penilaian amdal berlangsung lama.
Alasan lain pengubahan skema ini karena banyak daerah yang kerap menerjemahkan sendiri pedoman norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) penilaian amdal. Sebagian besar daerah juga berinisiatif dan berinovasi membuat aturan sendiri sehingga penilaian menjadi berbeda. Melalui penerapan sistem uji kelayakan oleh Lembaga Uji Kelayakan, diharapkan dapat tercipta standardisasi sistem.
Ary mengatakan, nantinya pemerintah pusat akan menilai amdal melalui tim-tim yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan. Tim tersebut terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli yang bersertifikat. Tim juga dibentuk melalui usulan dari gubernur, bupati, dan wali kota.
”Ini diharapkan bisa mengatasi bottleneck (kemacetan) karena dari seluruh daerah di Indonesia, baru 205 kabupaten/kota yang memiliki Komisi Penilaian Amdal atau 35 persen. Daerah lain tidak memiliki Komisi Penilaian Amdal karena tidak memenuhi kriteria atau persyaratan pembentukan akibat tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai,” ungkapnya.
Selain itu, Lembaga Uji Kelayakan juga akan mengumpulkan para ahli untuk membantu setiap daerah menilai amdal. Ary pun menegaskan, tim dari Lembaga Uji Kelayakan akan membantu menteri, gubernur, bupati, dan wali kota dalam melaksanakan penerbitan persetujuan lingkungan. Ini juga menegaskan bahwa pemda tetap dilibatkan dalam proses penerbitan persetujuan lingkungan.
”Jumlah tim uji kelayakan akan disesuaikan dengan beban kerja di setiap daerah. Jadi, bisa saja satu provinsi memiliki lebih dari satu tim uji kelayakan. Di sini juga akan dibentuk tim uji kelayakan ad hoc untuk kegiatan khusus,” katanya.
Beban terpusat
Sebelumnya, sejumlah organisasi lingkungan dan akademisi mengkritisi pengubahan ketentuan terkait substansi lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerja. Mereka menilai pengubahan pasal-pasal tersebut akan melemahkan secara sistematis dan terstruktur pada sejumlah proses penilaian dan penyusunan amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), serta perizinan lingkungan.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati memandang, perubahan skema ini akan membuat beban kerja pemerintah pusat jauh melampaui kemampuan karena proyek yang berdampak pada lingkungan hidup terjadi di daerah. Pada akhirnya hal ini malah berpotensi mempercepat laju kerusakan ataupun pencemaran lingkungan hidup.
Ia juga menilai perubahan ketentuan ini berpotensi menjauhkan akses informasi, baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah, dalam menyusun amdal. Tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan yang sebelumnya ada dalam Komisi Penilai Amdal mengurangi ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki dan memasifkan partisipasi semu yang manipulatif.
Dalam siaran pers, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan KLHK telah membentuk tim penyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk RPP Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, RPP Bidang Kehutanan, serta RPP Bidang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif. (ICH)