Informasi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dinilai amat penting untuk mengurangi risiko kecelakaan laut yang dialami nelayan. Info itu juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan tangkapan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Informasi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dinilai amat penting untuk mengurangi risiko kecelakaan laut yang dialami nelayan. Selain itu, info itu juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan tangkapan dan budidaya ikan nelayan.
Hal itu mengemuka dalam acara Sekolah Lapang Cuaca Nelayan yang digelar Stasiun Meteorologi Maritim Lampung secara daring, Rabu (30/9/2020), di Bandar Lampung. Acara itu diikuti oleh sekitar 100 peserta yang terdiri dari nelayan tangkap, nelayan pembudidaya, dan penyuluh perikanan.
Kepala Pusat Meteorologi Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Eko Prasetyo mengatakan, informasi kondisi gelombang dan angin kencang di wilayah perairan amat penting bagi nelayan. Dengan informasi itu, nelayan diharapkan dapat menyiapkan mitigasi sehingga menekan risiko kecelakaan laut.
”Nelayan perlu mengecek kondisi perahu apakah aman berlayar dengan ketinggian gelombang tertentu,” kata Eko.
Selain itu, nelayan juga perlu memperhatikan informasi kecepatan dan arah angin yang disediakan oleh BMKG. Dengan begitu, nelayan bisa memprediksi daerah tangkapan ikan yang kondisi cuacanya mendukung.
Eko mencontohkan, kondisi angin yang terlalu kencang dapat menyulitkan nelayan menebar jaring. Tangkapan nelayan juga tidak akan optimal. Kondisi itu tentu tidak menguntungkan karena biaya operasional yang harus dikeluarkan bisa lebih besar.
Dia menambahkan, nelayan juga rentan terdampak bencana, seperti banjir rob atau tsunami karena bermukim di kawasan pesisir. Untuk itu, nelayan harus selalu memantau informasi cuaca dan peringatan dini bencana dari BMKG.
Peneliti Madya dari Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Suci Antoro, mengatakan, nelayan pembudidaya juga perlu mewaspadai fenomena red tide atau ledakan populasi plankton. Menurut dia, fenomena yang sering terjadi pada musim pancaroba seperti sekarang ini dipicu adanya interaksi kecepatan angin, suhu, nutrisi, dan salinitas di perairan.
Dia menjelaskan, kondisi iklim yang semakin tak menentu membuat fenomena ledakan plankton lebih sering terjadi. Beberapa tahun terakhir, fenomena ledakan plankton tidak hanya terjadi saat pancaroba, tetapi juga saat musim hujan atau kemarau. Fenomena itu bisa terjadi selama 1-2 jam atau berhari-hari saat kondisi arus tenang. Fenomena ini merugikan nelayan budidaya karena menyebabkan kematian massal ikan.
Kondisi iklim yang semakin tak menentu membuat fenomena ledakan plankton lebih sering terjadi. (Suci Antoro)
Ke depan, BMKG diharapkan tidak hanya memberikan informasi terkait cuaca dan peringatan dini cuaca, tetapi juga prediksi soal fenomena ledakan plankton. Dengan informasi itu, nelayan budidaya bisa melakukan mitigasi sehingga dapat menekan kerugian.
Selama ini, kata dia, peneliti BBPBL dan nelayan keramba jaring apung selalu memanfaatkan informasi cuaca dari BMKG. Informasi itu sangat penting untuk pemilihan lokasi, mengetahui kualitas lingkungan, pengaturan pola tanam, hingga mengatur kebutuhan biologis biota.
Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Lampung Andi Cahyadi menuturkan, pihak berkolaborasi dengan BBPBL Lampung untuk mengkaji fenomena red tide di pesisir Lampung. Fenomena itu menjadi perhatian karena kerap berulang dan merugikan nelayan.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Bayu Witara mengatakan, kegiatan sekolah lapang cuaca diharapkan dapat meningkatkan kapasitas nelayan. Ke depan, nelayan di Lampung diharapkan bisa memanfaatkan informasi cuaca untuk menekan risiko kecelakaan dan meningkatkan pendapatan.