Dorongan pemerintah daerah masih rendah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan kebijakan bahwa pengakuan masyarakat adat cukup dari surat keputusan kepala daerah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah masih belum memberikan perhatian secara maksimal terkait pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Keberpihakan pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan akan masyarakat adat di wilayahnya bisa menjadi titik awal menuju terjaminnya hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas dan kurang diakui negara.
Kepala Seksi Penataan Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Wirahman Dwi Bahri menyatakan, Kemendagri telah memfasilitasi rujukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 96 dan 97 mengamanatkan pemerintah pusat hingga daerah melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi desa adat.
Wirahman mengakui bahwa dorongan pemerintah daerah masih rendah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai aturan pelaksana UU No 6/2014, pengakuan masyarakat adat cukup dari surat keputusan kepala daerah.
Kondisi tersebut membuat Kemendagri menerbitkan surat edaran perihal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat pada 16 April 2018. Surat edaran ini diterbitkan untuk mendorong pemda melakukan identifikasi terkait keberadaan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing.
”Untuk mendorong masyarakat hukum adat memiliki kewenangannya sendiri, kami menerbitkan kembali surat edaran perihal penetapan desa dan desa adat pada 2019. Kami membuka ruang kepada pemda agar mengenali desa-desa yang eksis di wilayahnya serta sudah memiliki kode desa dan bercirikan adat untuk segera ditetapkan,” katanya dalam diskusi daring, Rabu (9/9/2020).
Terkait dengan RUU Masyarakat Adat, Wirahman menilai sejumlah ketentuan cukup menguatkan dengan aturan yang tertuang dalam UU No 6/2014 soal fasilitasi pengakuan jika masyarakat hukum adat berada di lintas kabupaten/kota atau provinsi. Namun, harus ada penjelasan yang mengaitkan substansi setiap pasal agar ketentuan dalam kedua UU tersebut tidak bertabrakan.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait sejumlah isu dalam RUU Masyarakat Adat yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Beberapa di antaranya terkait Pasal 34 tentang pembuatan konsep peningkatan sumber daya manusia masyarakat adat melalui pendidikan yang sesuai dan Pasal 34 tentang upaya dalam persoalan pengakuan kepercayaan sebagai agama leluhur masyarakat adat.
Direktur Pengaturan Pendaftaran Hak Tanah, Ruang, dan PPAT Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Husaini mengatakan, dalam mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat, Kementerian ATR/BPN akan membentuk direktur pengaturan tanah ulayat untuk membidangi urusan terkait tanah ulayat.
Pasal berbahaya
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, pada dasarnya pembentukan RUU Masyarakat adat bertujuan membangun jembatan antara negara dan masyarakat adat sekaligus memastikan tidak ada lagi perampasan wilayah adat secara paksa, kriminalisasi, hingga kesenjangan.
Namun, Rukka memandang draf RUU Masyarakat Adat saat ini masih jauh dari harapan dan tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat adat. Isi draf masih mengatur pasal-pasal yang berbahaya bagi eksistensi ataupun kehidupan masyarakat adat, salah satunya aturan terkait evaluasi.
”Masyarakat adat tidak dibentuk negara sehingga negara tidak punya otoritas mengevaluasi, apalagi menghapusnya. Ada dan tiadanya masyarakat adat itu proses alamiah dan bukan dikendarai oleh hukum negara. Adanya pasal evaluasi justru bertentangan atau tidak sejalan dengan semangat pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Beberapa isu krusial juga tidak diatur dalam draf RUU Masyarakat adat, seperti perlindungan terhadap perempuan adat dan haknya. Selain itu, dalam draf juga tidak ada aturan untuk memastikan dilakukannya pemulihan terhadap pelanggaran hak masyarakat adat di masa lalu, baik oleh negara maupun pihak lain.
Oleh karena itu, Rukka mendorong draf RUU Masyarakat Adat perlu secara tegas menambahkan klausul tentang restitusi dan rehabilitasi. Aturan tersebut dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan presiden atau peraturan pemerintah.
”Untuk mengatasi sektoralisme, pelaksanaan Undang-Undang Masyarakat Adat ini perlu melalui lembaga yang permanen dan independen. Kita perlu ada Komnas Masyarakat Adat agar masalah-masalah sektoral dan pengaturan secara parsial terhadap masyarakat adat bisa diselesaikan,” ujarnya.