Teknologi Menutup ”Jurang” Disparitas Layanan Kesehatan
Pemanfaatan teknologi bisa menjembatani jurang disparitas layanan kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Layanan kesehatan jarak jauh akan terus dikembangkan dan diperkuat di masa mendatang.
Pandemi Covid-19 semakin nyata menunjukkan adanya ketimpangan layanan kesehatan di Indonesia. Selain keberadaan dokter yang menumpuk di kota besar; sejumlah fakta juga menunjukkan fasilitas layanan kesehatan, alat penunjang medis seperti alat bantu napas atau ventilator, dan laboratorium pemeriksaan, terbilang minim di sejumlah daerah.
Tidak hanya ihwal kuantitas, kualitas layanan kesehatan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya juga menjadi masalah. Kementerian Kesehatan mencatat, setidaknya sudah ada 10.168 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, tak semua puskesmas memiliki tenaga dokter yang mumpuni. Ini terutama di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, juga di pelosok Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hanya 4.029 puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga kesehatan, seperti dokter umum, dokter gigi, bidan, perawat, dan ahli gizi.
Data Konsil Kedokteran Indonesia per 25 Agustus 2020 menunjukkan, jumlah dokter di Indonesia kini mencapai 147.442 orang untuk melayani sekitar 270.000.000 penduduk atau dengan rasio 1:1.831 antara jumlah dokter dan jumlah penduduk. Jumlah ini sudah ideal dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan satu dokter melayani 2.500 penduduk atau 40 dokter untuk 100.000 penduduk.
Baca juga: Disparitas Layanan Jadi Kendala
”Rasio dokter dengan penduduk di Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk jika dibandingkan negara lain. Namun, yang menjadi masalah adalah distribusinya yang tidak merata. Kondisi ini semakin timpang pada distribusi dokter spesialis,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih, pekan lalu.
Pada Januari 2019, rasio dokter di Indonesia mencapai 50,2:100.000. Namun, ada 17 provinsi yang rasionya masih di bawah target WHO, antara lain Sulawesi Barat dengan rasio 11,2:100.000, disusul Nusa Tenggara Timur 17:100.000, dan Maluku 20:100.000. Kesenjangan ini nampak jika dibandingkan dengan rasio dokter di DKI Jakarta sebanyak 180:100.000 dan Sulawesi Utara 110:100.000 penduduk.
Disparitas kualitas dan kuantitas pelayanan tersebut menjadi masalah mendasar dalam penyediaan layanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat Indonesia. Padahal, jaminan kesehatan merupakan faktor penentu yang menunjang peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini juga yang menyebabkan angka kematian ibu dan bayi serta persoalan gizi buruk masih tinggi.
Solusi teknologi
Menurut Wakil Direktur Riset dan Inovasi Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko, kemajuan teknologi informasi bisa menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi persoalan disparitas layanan kesehatan di Indonesia. Salah satunya melalui penggunaan layanan kesehatan jarak jauh atau telemedicine.
”Penggunaan teknologi bukan untuk menggantikan pelayanan dari tenaga kesehatan melainkan membantu pelayanan yang ada terutama untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Pasien pun bisa semakin diberdayakan,” katanya.
Ia mencontohkan, layanan jarak jauh yang telah dikembangkan saat ini ialah TeleMed POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). Melalui teknologi ini, waktu kunjungan ibu hamil ke dokter kandungan secara langsung bisa dikurangi. Jika biasanya kunjungan bisa sampai enam kali sejak pemeriksaan pertama sampai persalinan, kunjungan bisa dikurangi hanya menjadi tiga kali.
Baca juga: Layanan Kesehatan Jarak Jauh Meningkat 600 Persen di Masa Pandemi
Meski demikian, layanan konsultasi jarak jauh ini tetap harus dilakukan dengan landasan profesionalisme dan kehati-hatian. Itu, antara lain, dengan memberikan penjelasan yang sistematik dan mudah dimengerti pasien dan hanya melayani kasus non-gawat darurat.
Selain itu, inovasi teknologi lain yang juga dikembangkan ialah melalui teleCTG (cardiotocography). Teknologi inovasi ini dapat memudahkan bidan di daerah terpencil dan terbatas melakukan pemeriksaan kehamilan.
Alat TeleCTG berfungsi sama dengan mesin CTG, yakni memantau denyut jantung janin, memantau kondisi rahim ibu, dan menghitung gerakan janin. Bedanya, alat ini berbentuk portabel sehingga mudah dibawa.
Teknologi ini dapat membantu kinerja bidan di daerah terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai. Setidaknya, apabila ditemukan adanya gangguan ataupun faktor risiko pada ibu hamil, intervensi bisa lebih cepat diberikan. Harapannya, angka kematian ibu dan anak bisa ditekan.
Meski demikian, pemanfaatan teknologi untuk mendukung peningkatakan akses dan kualitas kesehatan di Indonesia belum bisa optimal. Sejumlah kendala, terutama terkait akses listrik dan internet yang belum merata.
Daeng M Faqih menyampaikan, berbagai sarana dan prasana harus disiapkan untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan berbasis teknologi informasi yang baik. Setidaknya, pemerintah memastikan infrastruktur internet bisa memadai di seluruh wilayah Indonesia.
Sistem pelayanan kesehatan jarak jauh juga dinilai berpotensi besar untuk mengatasi persoalan disparitas di Indonesia. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk menjangkau masyarakat yang terbatas dalam mengakses layanan kesehatan.
”Penguatan pelayanan kesehatan terkomputerisasi juga diperlukan. Kapasitas tenaga kesehatan terkait literasi teknologi pun perlu ditingkatkan. Namun, hal lain yang juga penting adalah menyiapkan aturan yang spesifik terkait batasan dan etika dalam layanan telemedicine,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang layanan kesehatan jarak jauh di Indonesia. Kementerian Kesehatan telah memasukkan program layanan jarak jauh dalam rencana strategis pada 2020-2024. Sejumlah aturan juga telah disiapkan.
Pandemi Covid-19
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatatkan adanya lonjakan kunjungan ke aplikasi layanan kesehatan jarak jauh hingga 600 persen selama masa pandemi Covid-19. Kondisi ini disebabkan kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan berkurang untuk meminimalkan transmisi virus Sars-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Alex K Ginting menuturkan, Kementerian Kesehatan telah mengimbau rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mengembangkan dan menggunakan pelayanan kesehatan jarak jauh. Hal itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 303 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Isinya mengatur agar layanan kesehatan jarak jauh bisa dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan mutu dan keselamatan pasien. Keamanan dan kerahasiaan data pasien juga harus dijaga dengan baik.
”Layanan telemedicine ini hanya bisa dilakukan oleh dokter untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah, dan mengevaluasi kondisi kesehatan pasien. Itu dilakukan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi (STR),” katanya.
Infrastruktur internet
Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G Plate menuturkan, peningkatan penggunaan teknologi layanan kesehatan jarak jauh harus dimanfaatkan sebagai momentum transformasi digital di bidang kesehatan. Pemerintah memiliki lima program prioritas untuk mempercepat hal ini.
Program tersebut, antara lain, membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi dengan layanan sinyal 4G di 12.548 desa/kelurahan serta 150.000 titik layanan publik yang belum terjangkau layanan internet.
Dengan demikian, akses internet dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat. Internet tidak lagi sekadar kemewahan, tetapi juga mendorong perbaikan akses kesehatan yang selama ini tidak diterima oleh sebagaian masyarakat, terutama di wilayah pelosok.
Program prioritas lainnya ialah pembangunan sumber daya manusia di bidang digital yang memiliki kompetensi literasi digital yang unggul. Ini termasuk pada tenaga kesehatan yang memanfaatkan layanan kesehatan berbasis digital.
Baca juga: Pengobatan Makin Bersifat Individu di Masa Depan
Pemerintah juga berupaya untuk memperkuat ekosistem digital dengan memfasilitasi berbagai program, seperti pengembangan perusahaan perintis untuk layanan kesehatan digital. Selain itu, aturan pendukung ekosistem digital, yaitu Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, juga dipercepat.
”Percepatan transformasi digital nasional tentu mampu memperluas dan memperbaiki kualitas layanan telemedicine, bahkan diharapkan dapat menjangkau daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Dalam jangka pendek, layanan ini juga dapat membantu penanganan Covid-19 secara lebih luas,” kata Jhonny.
Baca juga: Covid-19 Mengakselerasi Digitalisasi Layanan Kesehatan