Tes dan Pelacakan Kontak Masih Lemah

Sejumlah warga masih mengeluhkan akses tes usap meski memiliki risiko tinggi riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19. Soal pelacakan pun masih tak optimal sehingga bisa memperparah penularan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Warga berjalan-jalan di luar kawasan Monumen Nasional, Jakarta, saat hari libur, Minggu (23/8/2020). Dalam masa adaptasi normal baru, justru terlihat penerapan protokol kesehatan yang mengendur di masyarakat.

JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19 masih kesulitan mendapatkan pemeriksaan. Tidak optimalnya pelacakan kasus dan pemeriksaan membuat upaya memutus rantai penularan sulit dilakukan sehingga wabah terus membesar.

Keluhan tentang kesulitan tes dan tidak berjalannya pelacakan kontak ini disampaikan warga dari sejumlah daerah. Yohanes, warga Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengatakan sulitnya mendapatkan pemeriksaan untuk Covid-19, sekalipun bagi orang yang punya gejala.

”Sebelumnya kakak demam tinggi, periksa ke dokter tiga kali didiagnosis gejala tipes. Minta tes (usap) ke puskesmas ditolak, alasannya mereka tidak bisa memfasilitasi,” kata Yohanes.

Lalu, kakaknya melakukan tes mandiri di rumah sakit swasta pada 19 Agustus. Awalnya, disuruh tes cepat antibodi dan hasilnya reaktif, sebelum kemudian dites usap dengan hasil positif. ”Untuk tes harus bayar Rp 1,45 juta. Dugaannya, tertular setelah pertemuan di Sarinah karena dua temannya juga positif,” katanya.

Baca juga: Covid-19 di Indonesia seperti Fenomena Gunung Es

Walaupun memiliki keluhan demam dan sakit batuk, rumah sakit menolak merawat kakaknya, kecuali dengan biaya sendiri. ”Kakak kemudian disarankan isolasi mandiri. Saat ini masih mencoba mencari rumah sakit pemerintah karena khawatir ada masalah di paru-paru,” kata Yohanes.

Sebagai orang yang memiliki kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19, Yohanes sudah kesulitan untuk mendapatkan tes usap juga. ”Saya tinggal di rumah bersama kakak, jadi khawatir tertular juga. Sudah ke Puskesmas Citeureup, Puskesmas Cibinong, dan RSUD Cibinong, semuanya menolak melakukan tes usap,” ujarnya.

Lain lagi kisah Maryani, warga Cibinong, Kabupaten Bogor, yang tidak mendapatkan kejelasan hasil tes ibunya, yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit dengan dugaan Covid-19 sejak 14 Agustus. ”Ibu baru dites (usap) tanggal 18 Agustus, setelah sebelumnya dari hasil rontgen diduga Covid-19. Sebelumnya, ibu dibawa ke rumah sakit karena kaki bengkak dengan diagnosis infeksi bakteri. Sampai sekarang tidak jelas hasil tesnya,” ucapnya.

Maryani mengeluhkan dengan lamanya hasil tes ini. ”Kalau ibu positif, kan, keluarga berisiko juga. Tetapi, ini tidak ada arahan harus bagaimana, hasil tes ibu juga tidak jelas. Katanya rumah sakit antreannya masih panjang,” katanya.

Irma Hidayana dari Laporcovid-19.org mengatakan menerima banyak laporan warga yang kesulitan mendapatkan tes dan tidak dilakukannya penelusuran kontak. Misalnya, salah satu pasien di Gresik, Jawa Timur, melaporkan hingga dua minggu setelah positif, keluarga yang tinggal serumah tidak dites, padahal sudah mengajukan ke puskesmas terdekat.

Baca juga: Perkantoran Menjadi Sumber Kluster Baru

Menurut Irma, dengan semakin tingginya aktivitas warga dan tempat kerja mulai dibuka, seharusnya kemampuan survelains, termasuk tes, pelacakan, dan isolasi pasien, ditingkatkan. Begitu ada kasus harus segera diisolasi dan jika bergejala harus segera dirawat.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, mengatakan, perusahaan cenderung menutupi jika ada karyawannya positif sehingga mempersulit pelacakan kasus. Di sisi lain, ada persoalan stigma yang membuat cenderung tidak terbuka.

Begitu tahu positif, sama perusahannya dilarang cerita dan hanya disuruh isolasi mandiri saja. (Dicky Pelupessy)

”Kebetulan ada paman saya yang tinggal di Cilincing (Jakarta Utara) dinyatakan positif Covid-19. Kemungkinan tertular dari tempat kerja karena di perusahaannya ada yang lain yang juga positif. Begitu tahu positif, sama perusahannya dilarang cerita dan hanya disuruh isolasi mandiri saja,” katanya.

Meski demikian, isolasi mandiri ini sulit dilakukan karena kondisi rumah yang tidak memungkinkan. Dicky harus membantu menghubungi kenalan sehingga pamannya bisa dirawat di Wisma Atlet. ”Agar keluarganya dites juga butuh perjuangan karena puskesmas setempat awalnya tidak responsif,” katanya.

Kunci penanganan

Epidemiolog Indonesia dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, tes yang memadai, penelusuran kontak yang cepat, dan isolasi menjadi kunci menangani wabah ini. Dengan tidak dijalankannya hal ini secara maksimal, upaya memutus rantai penularan sulit dilakukan.

Menurut Dicky Budiman, sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), semua kontak dekat pasien yang positif seharusnya bisa ditemukan dan diisolasi maksimal dalam waktu 72 jam. Ini menuntut kemampuan tes dan penelusuran kontak yang intensif. ”Negara-negara lain, yang bisa mengendalikan pandemi, ini semuanya melakukan hal ini, tetapi di Indonesia jadi titik lemah,” katanya.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia bertambah 2.037 orang sehingga total menjadi 153.535 orang positif Covid-19. Sedangkan jumlah korban jiwa bertambah 86 orang sehingga total menjadi 6.680 orang.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Mural dan tulisan dengan nuansa semarak perayaan peringatan kemerdekaan menghiasi jembatan Jalan Tomang Raya, Jakarta, Rabu (19/8/2020). Mural dengan tema Covid-19 dan perayaan kemerdekaan banyak menghiasi sudut-sudut kota atauupun gang perkampungan.

Penambahan kasus harian ini diperoleh dengan memeriksa 17.416 orang. Jumlah tes ini menunjukkan peningkatan dalam seminggu terakhir, tetapi masih jauh dari target 30.000 pemeriksaan per hari. Secara global, jumlah tes di Indonesia per 1.000 populasi juga masih sangat kecil, hanya peringkat ke-162 di dunia.

Dicky mengatakan, India saat ini sudah bisa melakukan tes hingga 900.000 per hari dari 1.500 jaringan laboratorium. Saat ini pemerintahnya menargetkan bisa melakukan tes hingga 1 juta orang per hari. Bahkan, Filipina yang ekonominya tidak lebih baik dari Indonesia juga berhasil melakukan tes dua hingga tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia.

”Kita harus membenahi tes dan tracing (pelacakan kontak) ini kalau mau atasi pandemi. Jangan hanya menggaungkan vaksin, yang belum pasti. Uji klinis fase ketiga juga bisa mengalami kegagalan, seperti terjadi dengan vaksin HIV/AIDS,” katanya.