Pemerintah Indonesia masih menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi dengan menjalankan pembangunan rendah karbon. Ini akan tetap menjadi haluan meski pandemi Covid-19 mengubah struktur pembiayaan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi pandemi membuat sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengubah alokasi anggaran pada upaya penanganan Covid-19 dan mempercepat pemulihan ekonomi. Namun, pembangunan rendah karbon tetap menjadi prioritas pemerintah guna mencapai target penurunan emisi pada 2030 mendatang.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam menyampaikan, saat ini Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam upaya penurunan emisi global. Hal ini terlihat dari angka kumulatif penurunan emisi pada 2019 yang telah mencapai 23,46 persen.
Kondisi pandemi Covid-19, diakui Medrilzam, telah mengubah cara hidup masyarakat hingga kebijakan pembangunan di semua negara, tak terkecuali Indonesia. Sebagian besar program pembangunan Indonesia pada 2020 telah bergeser dan fokus ke sektor kesehatan, seperti jaring pengaman sosial dan peningkatan stabilitas ekonomi.
”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tidak bisa diselesaikan sepenuhnya karena pergeseran prioritas ini, termasuk pembangunan rendah karbon,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pembiayaan Alternatif untuk Pembangunan Rendah Karbon”, Rabu (19/8/2020).
Terkait hal ini, Medrilzam menyatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menurunkan emisi dan melakukan pembangunan rendah karbon. Bappenas juga terus mengembangkan konsep dan implementasi pembangunan rendah karbon untuk menghadapi krisis global.
Pada 2021, Indonesia tetap fokus pada percepatan pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Namun, di sisi lain, pemerintah juga mengimplementasikan pembangunan rendah karbon melalui 42 program prioritas strategis, di antaranya Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), jalur kereta Parepare, kereta cepat Jakarta-Semarang dan Jakarta-Bandung, serta pemulihan daerah aliran sungai (DAS) kritis.
Saat ini kami sedang dalam proses mengidentifikasi dan memetakan pendanaan yang ada untuk pembangunan rendah karbon ini. (Medrilzam)
”Saat ini kami sedang dalam proses mengidentifikasi dan memetakan pendanaan yang ada untuk pembangunan rendah karbon ini. Kami juga mengidentifikasi insentif langsung yang diberikan pemerintah terkait dengan berbagai kegiatan, seperti subsidi angkutan umum, geotermal, dan kehutanan sosial,” tuturnya.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso menilai, kerentanan ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim cukup besar. Sebab, hampir 80 persen perubahan iklim akan meningkatkan risiko bencana, seperti banjir, longsor, dan abrasi.
Kondisi ini membuat pemerintah melakukan inovasi untuk mendukung kebijakan ekonomi ramah lingkungan dengan menerbitkan obligasi hijau atau green sukuk. Hingga 2020, tiga seri green sukuk telah diterbitkan. Penerbitan green sukuk seri pertama pada 2018 membuat Indonesia mendapatkan dana sekitar 1,25 miliar dollar AS.
”Pemerintah meminta semua pemangku kepentingan untuk menetapkan kerangka kebijakan anggaran untuk jangka panjang. Dengan sejumlah kolaborasi, hubungan antara kebijakan fiskal dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dapat dilakukan dengan berbagai saluran pembiayaan,” katanya.
Chief Executive Officer Carbon Market Institute (CMI) John Connor menyatakan, Indonesia menjadi negara di kawasan Asia Pasifik dengan tingkat penurunan emisi tertinggi kedua setelah Australia. Sebagian besar kontribusi penurunan emisi tersebut berkaitan dengan restorasi lahan gambut dan konservasi mangrove.
”Banyak investor tertarik di Indonesia karena komitmen penurunan emisi ini. Tetapi, ada tantangan signifikan terkait kurangnya data dan laju deforestasi yang cepat. Investor juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti ekosistem karbon yang dapat dan tidak dapat dipulihkan,” ujarnya.