Memadukan Kearifan Lokal Perikanan
Nilai-nilai kearifan lokal yang berakar di masyarakat pesisir Indonesia perlu diakui dan dipadukan dalam tatanan kebijakan formal. Hal ini agar peraturan yang berlaku dapat menjaga kelimpahan sumber daya perikanan.
Kearifan lokal berupa peraturan adat memiliki ikatan besar dalam kehidupan sosial masyarakat, tak terkecuali dalam pengelolaan perikanan. Aceh merupakan daerah dengan kearifan lokal yang relatif masih sangat kuat. Mereka mengenal istilah Panglima Laot.
Pengajar hukum adat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Adli Abdullah memaparkan, keberadaan Panglima Laot tercatat dalam catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh yang saat tu masih bernama Pasai pada 1292. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam abad ke-16 dan 17, Panglima Laot berfungsi memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan. Panglima Laot juga memobilisasi masyarakat nelayan untuk dikirim berperang melawan Portugis.
Tiga abad berselang, Panglima Laot tetap bertahan mengawal hukum adat laut dan perikanan di Aceh. Hukum adat laut ini tumbuh dari cara pandang dan kebudayaan masyarakat pesisir Aceh. Kearifan ini menjadi dasar Panglima Laot dalam melakukan pengabdian kepada nilai religius dan sekaligus menjalankan kewajiban membina hubungan dengan lingkungan.
Dalam praktik khususnya, Panglima Laot tidak hanya mengatur tentang larangan akan kegiatan-kegiatan yang berujung pada kerusakan lingkungan, tetapi juga dalam pengelolaan penangkapan ikan. Dalam menegakkan seluruh aturan dari hukum adat laut, Panglima Laot diberikan kewenangan untuk memiliki peradilan adat laut tersendiri.
Jika ada permasalahan yang terjadi di masyarakat nelayan, konflik dalam tata cara penangkapan ikan, merusak terumbu karang, dan hal lain yang mengganggu sustainable fisheries. (Adli Abdullah)
“Jika ada permasalahan yang terjadi di masyarakat nelayan, konflik dalam tata cara penangkapan ikan, merusak terumbu karang, dan hal lain yang mengganggu sustainable fisheries (perikanan berkelanjutan), mereka bisa diadili secara adat,” tuturnya dalam webinar bertajuk “Penguatan Pengelolaan Perikanan melalui Praktik Kearifan Lokal”, yang diselenggarakan Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelauran serta IPB University, Selasa (18/8/2020).
Selain itu, hukum adat laut juga menerapkan aturan pantang laut. Peraturan ini berisi larangan berlayar di hari-hari tertentu. Sejumlah alasan diterapkannya pantang laut yaitu mulai dari alasan keagamaan, reparasi alat-alat tangkap nelayan, hingga pertimbangan ekologis sehingga memungkinkan biota laut melakukan pemijahan.
“Tsunami di Aceh (2004) membuat banyak tokoh-tokoh karismastik Panglima Laot meninggal sehingga kearifan yang mereka miliki hilang dan tidak terwariskan. Tetapi kami mulai mendokumentasikan kearifan dan hukum adat sehingga siapapun dapat membacanya. Namun, hukum adat itu memiliki sifat mengikuti perkembangan zaman,” katanya.
Kedudukan Panglima Laot telah diakui dan dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua aturan tersebut telah menegaskan bahwa Panglima Laot merupakan lembaga adat di Aceh yang membuat keputusan hukum adat laut dan berlaku bagi nelayan di seluruh Aceh dengan fungsi, tugas, serta kewenangannya sendiri.
Meski secara normatif kedudukannya cukup kuat, menurut Adli, Panglima Laot cukup tertekan saat berhadapan dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan investasi. Ia pun berharap agar pemerintah tidak menjadikan orientasi eksploitasi perikanan khususnya di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 571 dan 572 sebagai satu-satunya jawaban pembangunan.
Sasi laut
Selain Aceh, kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan juga terdapat di beberapa perairan Sulawesi, Maluku, dan Papua yang dikenal dengan istilah sasi laut. Pada dasarnya, sasi merupakan tradisi dan kesepakatan masyarakat yang mengatur tentang tata cara penangkapan hingga pengelolaan ikan pada komunitas atau wilayah adat tertentu.
Guru besar bidang manajemen sumberdaya perairan Universitas Halu Oleo, Kendari, La Sara menjelaskan, di wilayah Pulau Kadatua, Sulawesi Tenggara, hingga tahun 1990-an, masyarakat lokal masih melakukan pelarangan pengambilan siput lola (Conus sp) pada musim tertentu. Larangan ini berkembang luas di daerah Wabula (Buton), Pulau Siompu (Buton Selatan), dan Kadiye Liya (Wakatobi).
Keberadaan praktik lokal yang dijalankan masyarakat membuat ketiga pemerintah kabupaten (pemkab) tersebut mengeluarkan peraturan perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis masyarakat hukum adat. Tiga peraturan bupati yang dikeluarkan menunjukkan keinginan masyarakat untuk berperan besar menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir.
Di tingkat provinsi juga dikeluarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP). Pergub ini dipandang sebagai upaya pemprov memadukan kearifan lokal dan pengelolaan sumber daya perikanan maju yang berkelanjutan di setiap daerah demi kesejahteraan nelayan.
Dalam pergub ini, nelayan kecil diberikan akses mengelola sumber daya perairan yang selama ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat juga dapat menetapkan kawasan perairan larang ambil dan mengawasi serta mengevaluasi perkembangan sumber daya perikanannya secara mandiri.
Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua Roni Bawole menyatakan, di wilayah Papua, terdapat sejmlah sasi yang ditetapkan dari adat, gereja dan masjid, kampung, hingga setiap marga. Jenis target biota laut yang diatur juga beragam mulai dari teripang, bia (kerang), lola, dan ikan.
Tradisi sasi di Papua ini memiliki dampak yang cukup signifikan. Dari sejumlah penelitian mengungkapkan penerapan sasi yang dianggap sebagai upaya konservasi ini dapat memulihkan stok biota laut khususnya teripang hingga dua kali lipat selama periode 2009-2012.Sasi juga dapat mengurangi tingkat eksploitasi karena menutup ikan dari penangkapan dan melarang bagan dari luar untuk beroperasi.
Menurut La Sara, semua provinsi di Indonesia dapat mengatur wewenang pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisirnya dan pulau-pulau kecilnya sendiri sesuai UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Namun, pengelolaan tersebut terkadang sulit dilaksanakan terpadu dan umumnya bersifat sektoral.
“Banyak kasus bahwa penerapan pengelolaan formal sering berbenturan dengan hukum adat yang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat adat," kata dia. Ini karena wilayah pesisir dan laut yang dikelola masyarakat umumnya unik, sakral, dipatuhi secara turun menurun, dan diawasi saat tertentu.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelaraskan aturan adat dengan kebijakan yang lebih tinggi menurut Roni, yaitu dengan melibatkan perwakilan masyarakat adat dalam komite eksekutif WPP. Selama ini, hanya masyarakat adat yang belum dilibatkan dalam komite eksekutif WPP. Padahal, pihak lain mulai dari pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, akademisi, dan penegak hukum turut dilibatkan dalam komite.
“Authority stock (otoritas penentu stok ikan) tetap ada di pemerintah, tetapi hal itu bisa didelegasikan ke masyarakat sehingga kontrol, MSY (hasil tangkapan terbesar), dan penangkapan bisa dilakukan. Lalu pengembangan kapasitas kelembagaan adat juga perlu didorong,” katanya.
Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia Noviar Andayani mengatakan, nilai-nilai kearifan lokal harus diakui peran dan fungsinya. Pengakuan tersebut dapat dilakukan dengan mendukung dan memperkuat kelembagaan. Kearifan lokal juga ditempatkan sebagai sumber daya masyarakat yang dapat menjadi nilai penting dalam penyusunan kebijakan.
“Kearifan dan pengetahuan lokal merupakan sistem nilai dan tata kelola sumber daya alam bahari yang melembaga. Akan sangat menarik jika sistem tradisional ini yang berakar dan tumbuh di seluruh nusantara bisa diselaraskan dengan sistem pengetahuan moderen untuk membangun sistem dan pengelolaan sumber daya alam bahari secara nasional,” ujarnya.
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University Luky Adrianto menambahkan, perguruan tinggi sebagai salah satu pilar utama pembangunan berkelanjutan perlu menjaga kearifan lokal tersebut. “Luas laut kita sangat besar sehingga diperlukan dukungan sains dan pengetahuan yang cukup untuk mengawal ini,” katanya.
Secara konstitusi, kearifan lokal disebut dan diakui dalam perubahan kedua UUD 1945 pada Pasal 18 Bab IV. Implementasi di sektor perikanan pun diatur Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Di situ disebutkan, pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Baca juga: Kearifan Lokal Hanya Menjadi Bumbu Pelengkap Kebijakan