Penghitungan Emisi Individu Dapat Melalui Aplikasi
World Resources Institute Indonesia mengembangkan aplikasi Android bernama Emisi yang dapat diunduh dan digunakan masyarakat sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat terhadap isu perubahan iklim sudah banyak terlihat dengan adanya berbagai macam gerakan untuk mengurangi emisi. Salah satu kontribusi nyata yang dapat dilakukan adalah dengan menghitung emisi yang dikeluarkan selama perjalanan.
Penanggung jawab program pengimbangan emisi World Resources Institute (WRI) Indonesia, Nanda Noor, dalam webinar, Senin (17/8/2020), mengemukakan, pihaknya mengembangkan aplikasi Android bernama Emisi yang dapat diunduh dan digunakan masyarakat sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim.
Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat mempelajari sumber emisi, mencatat perubahan emisi individu per hari, melakukan aksi untuk mengurangi emisi secara langsung, dan merestorasi hutan sesuai kebutuhan daerah.
Dalam aplikasi emisi, pengguna juga dapat melakukan aksi penanaman pohon yang dimulai dengan pengumpulan dana. Mitra WRI akan melakukan transfer langsung dana tersebut untuk penanaman pohon dan memberikan informasi terkait status pohon, seperti tinggi, besar, hingga kesehatan.
”Kami akan melakukan pemantauan secara independen dan melakukan penghitungan emisi yang langsung diserap dari pohon tersebut. Setelah itu, laporan emisi dan aksi iklim diinformasikan kembali ke pengguna,” ujarnya.
Manajer Bisnis dan Komoditas Berkelanjutan WRI Indonesia Andika Putraditama mengatakan, adanya emisi yang dilepaskan ke atmosfer membuat suhu rata-rata permukaan bumi lebih tinggi 2,12 derajat celsius. Deforestasi atau penggundulan hutan menjadi salah satu faktor dalam menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang dapat memperparah krisis iklim.
Peningkatan dua derajat bagi ekosistem Bumi dampaknya sangat signifikan.
”Peningkatan dua derajat celsius bagi ekosistem bumi dampaknya sangat signifikan. Dari hasil riset, kenaikan suhu dua derajat celsius secara terus-menerus akan meningkatan risiko paparan panas ekstrem bagi 37 persen penduduk bumi dan peningkatan permukaan air laut,” ujarnya.
Penasihat senior kesehatan masyarakat Yayasan Alam Sehat Lestari, Monica Nirmala, menyatakan, hidup selaras dengan alam perlu menjadi sebuah protokol kesehatan di era normal baru. Sebab, kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari lingkungan hidup dan sosial, seperti udara yang dihirup, makanan, hingga kondisi orang-orang sekitar.
Agama dan budaya
Peneliti di International University Liaison Indonesia, Ben Laksana, menyatakan, pendekatan melalui nilai-nilai agama dapat berpotensi membantu semua pihak dalam melestarikan lingkungan. Namun, pendekatan agama ini harus dirangkai dalam sebuah media yang tepat. Sebab, pemahaman agama yang sering kali ditekankan ialah manusia harus menguasai dibandingkan melindungi alam.
”Kalau ditekankan pemahaman bahwa Tuhan menciptakan alam ini untuk dikuasai, maka ujung-ujungnya adalah eksploitasi. Tetapi hal ini akan berbeda bila ditekankan bahwa alam diciptakan untuk dilindungi,” ujarnya.
Selain agama, pendekatan budaya juga dapat membantu melestarikan lingkungan. Akan tetapi, pendekatan budaya ini tidak bisa disamaratakan karena setiap daerah memiliki budaya lokal yang berbeda-beda.
Contoh pendekatan budaya dalam melestarikan lingkungan dapat dilihat dari cara hidup masyarakat hutan, seperti orang Rimba di Jambi dan suku Baduy di Banten. Mereka menjaga dan melestarikan hutan karena alam sangat penting bagi keberlangsungan hidup.
Cara hidup dan pandangan masyarakat adat tersebut, dinilai Ben, cukup sulit diterapkan masyarakat perkotaan. Sebab, budaya masyarakat perkotaan sudah banyak tercampur dengan banyak hal sehingga tidak memiliki hubungan khusus dengan alam.