Pencemaran Udara dan Asap Berpotensi Meningkatkan Penyebaran Covid-19
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selalu mengancam Kalimantan Barat setiap tahun. Pencegahan hendaknya diutamakan. Apalagi, pencemaran udara dan asap berpotensi meningkatkan penyebaran virus Covid-19.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selalu mengancam Kalimantan Barat setiap tahun. Pencegahan hendaknya diutamakan. Apalagi, pencemaran udara dan asap berpotensi meningkatkan penyebaran virus Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, dalam webinar tentang ancaman karhutla di masa pandemi, Kamis (13/8/2020), menyebutkan, berbagai pencemaran udara ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pencemaran tersebut, antara lain, debu dengan ukuran partikel kecil (PM 10 dan PM 2,5), gas SOx, NOx, dan COx yang dapat menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut.
”Di masa karhutla, ada beberapa literatur menunjukkan pencemaran udara dan asap berpotensi meningkatkan penyebaran virus Covid-19 dengan meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara pada kondisi aerosol yang diciptakan asap,” ungkap Wiendra.
Di masa karhutla, ada beberapa literatur menunjukkan pencemaran udara dan asap berpotensi meningkatkan penyebaran virus Covid-19 dengan meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara pada kondisi aerosol yang diciptakan asap.
Oleh sebab itu, respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami karhutla penting. Menurut Wiendra, pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran infeksi saluran pernapasan akut dan Covid-19.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menuturkan, hampir separuh dari kemerdekaan Indonesia dihabiskan untuk menangani karhutla. Namun, karhutla terus terjadi setiap tahun.
Untuk menangani karhutla, pencegahan merupakan jawabannya sebab penanggulangan selama ini tidak efektif. Apalagi, biaya yang dikeluarkan untuk pemadaman dari udara dan sebagainya tinggi dan belum tentu efektif.
Madani menemukan provinsi dengan kerentanan kebakaran hutan dan lahan tertinggi tahun ini yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 yang tinggi. Provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Jambi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, sebagian besar kebakaran lahan terjadi karena ulah manusia. Menghadapi kebakaran lahan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya karena tahun ini ada Covid-19.
”Perlu ada upaya serius dan lebih optimal untuk menyampaikan kepada seluruh masyarakat. Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ucap Doni.
Fokus BNPB tahun ini lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan langkah terbaik.
Pencegahan
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan, upaya pencegahan karhutla dilakukan melalui program desa mandiri. Dalam indeks desa membangun (IDM) ada dimensi ketahanan lingkungan. ”Pada dimensi ketahanan lingkungan itu, upaya pencegahan kebakaran lahan bisa dilakukan di level desa,” ujarnya.
Dalam dimensi ketahanan lingkungan bahkan diukur dari ada atau tidaknya pencemaran udara di suatu desa. Selain itu, potensi rawan bencana dan tanggap bencana juga bagian dari hal itu.
Dari perkembangan IDM setiap desa, bisa diprediksi potensi karhutla. Jika dimensi ketahanan ekonomi di suatu desa rendah, tetapi dimensi ketahanan lingkungannya tinggi, perlu diwaspadai karena ada potensi kerusakan pada lingkungan. ”Artinya, ada potensi kerusakan lingkungan di sana,” ungkap Sutarmidji.
Desa mandiri dinilai bisa efektif sebagai salah satu upaya pencegahan kebakaran lahan karena komprehensif menjawab masalah di desa, termasuk kebakaran lahan. Pendamping desa memantau perkembangan desa.
Pada 2018 hanya ada satu desa mandiri dari 2.031 total desa di Kalbar. Pada 2019 sudah ada 87 desa mandiri. Pada 2020 ada 214 desa mandiri, 332 desa maju, 907 desa berkembang, 566 desa tertinggal, dan 12 desa sangat tertinggal.
Pantauan Kompas, dalam beberapa hari ini, meskipun ada titik panas, belum ada kabut asap. Jumlah titik panas menurun. Berdasarkan laporan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sejak Rabu (12/8/2020) pukul 07.00 hingga Kamis (13/8/2020) pukul 07.00 di Kalbar terdapat 258 titik panas. Jumlah titik panas tersebut jauh berkurang dari hari sebelumnya yang mencapai ribuan.
Kemudian, terkait perkembangan Covid-19, berdasarkan data dari Satuan Tugas Nasional hingga Kamis, 13 Agustus, secara kumulatif terdapat 439 kasus konfirmasi di Kalbar. Sebanyak 395 di antaranya sudah sembuh dan empat orang meninggal.