Penelitian menunjukkan, membuka kembali sekolah terlalu dini di negara berkembang lebih merugikan. Manfaat penutupan sekolah di negara berkembang jauh lebih besar daripada di negara maju.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah di tengah pandemi bisa berdampak sangat berbeda, tergantung dari kemampuan tes, pelacakan kontak, dan isolasi kasus secara cepat. Di negara berkembang, seperti Indonesia, pembukaan sekolah ini memicu bencana ledakan wabah tak terkendali sehingga bakal merugikan ekonomi.
Menurut data UNESCO, lebih dari 100 negara saat ini menerapkan penutupan sekolah secara nasional karena Covid-19 sehingga memengaruhi lebih dari 60 persen siswa di dunia. Namun, banyak negara mulai membuka kembali sekolah dasar. Salah satu alasan utamanya adalah untuk menggerakkan kembali ekonomi, selain berbagai kesulitan lain.
”Kalau dari aspek kesehatan anak, jelas kami tidak setuju pembukaan sekolah saat ini. Bahkan, kalangan ekonom dunia juga tidak setuju. Penelitian di Forum Ekonomi Dunia menunjukkan, membuka kembali sekolah terlalu dini di negara berkembang lebih merugikan,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Anak Indonesia (PDAI) Aman Pulungan dalam diskusi di Jakarta, Senin (17/8/2020).
Studi oleh Titan Alon, ekonom dari University of California San Diego, dan tim yang diorganisasi National Bureaue of Economic Research dan kemudian dipublikasikan di Forum Ekonomi Dunia pada 10 Agustus 2020 menyebutkan, negara berpenghasilan rendah lebih berisiko jika buru-buru membuka sekolah.
Menunda pembukaan sekolah dapat menjadi kekuatan ampuh untuk menyelamatkan nyawa, dengan mengurangi risiko anak-anak terinfeksi di sekolah, dan pada gilirannya menyebarkan virus di dalam keluarga.
”Satu-satunya alasan terbesar untuk menunda pembukaan kembali sekolah adalah untuk membantu menghentikan penyebaran Covid-19. Studi kami memperkirakan bahwa menunda pembukaan sekolah dapat menjadi kekuatan ampuh untuk menyelamatkan nyawa, dengan mengurangi risiko anak-anak terinfeksi di sekolah, dan pada gilirannya menyebarkan virus di dalam keluarga,” tulis Titan.
Disebutkan, beberapa masalah yang bisa meningkatkan risiko jika sekolah dibuka di antaranya banyaknya anak-anak yang tinggal satu rumah dengan lanjut usia, selain kesulitan dalam tes Covid-19 dan penerapan jarak sosial di sekolah. Beberapa masalah ini akan menyebabkan penularan Covid-19 semakin meluas dan sulit diatasi, menimbulkan lebih banyak korban, sehingga memperdalam dampak ekonomi.
”Dari perspektif kebijakan, kesimpulan utamanya adalah bahwa manfaat penutupan sekolah di negara berkembang jauh lebih besar daripada di negara maju,” tulis Titan.
Epidemiolog dari Laporcovid19.org, Iqbal Elyazar, mempertanyakan dasar ilmiah dari pembukan kembali sekolah tatap muka. ”Apakah tim pakar pemerintah sudah memiliki kajian secara jujur berapa anak-anak dan guru yang berpotensi terinfeksi dan meninggal jika sekolah tatap muka dibuka?” katanya.
Dari aspek epidemiologi, menurut Iqbal, pembukaan kembali sekolah sangat berisiko karena wabah masih belum terkendali. Zonasi penularan yang ditetapkan pemerintah tidak bisa dijadikan acuan karena tidak didasari pada data kecukupan jumlah tes. Selain itu, pembatasan mobilitas antarzona juga tidak ada.
Menurut Iqbal, kajian terbaru di San Francisco menyebutkan, pembukaan sekolah tidak hanya mengancam nyawa anak-anak, tetapi juga guru-guru di sekolah. Pembukaan sekolah menengah atas akan meningkatkan infeksi guru hingga 40 persen. Sementara di sekolah menengah pertama akan meningkatkan risiko infeksi pada guru sebesar 37 persen. ”Apakah ini pernah dihitung di Indonesia?” kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, alasan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan 75 tahun lalu adalah melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan, dan mencerdaskan bangsa. ”Urutannya lindungi, sejahterakan, dan cerdaskan. Apakah keputusan pembukaan sekolah ini melindungi atau bahkan membahayakan? Satu nyawa anak sama dengan nilainya dengan nyawa presiden atau menteri. Semuanya berhak dilindungi,” katanya.
Sangat rentan
Aman menyebutkan, anak-anak di Indonesia memiliki kerentanan terinfeksi dan meninggal karena Covid-19 sangat tinggi. Data yang dimiliki IDAI dari seluruh Indonesia pada Maret hingga 10 Agustus 2020 terdapat 11.708 anak suspek Covid-19 yang 318 di antaranya meninggal. Sementara yang terkonfirmasi positif Covid-19 ada 3.928 anak dan 59 di antaranya meninggal.
Selain kerentanan kesehatan anak di Indonesia sebelum pandemi, tingginya korban anak di Indonesia juga karena komorbid selain keterlambatan penanganan, di antaranya karena keterlambatan tes dan pelacakan. ”Sebelum pandemi, pneumonia dan diare menjadi penyebab utama kematian anak-anak, ada juga yang TBC. Padahal, Covid-19 ini gejalanya di antaranya pneumonia dan diare sehingga dianggap sakit biasa. Karena itu, sistemnya terlambat menangani,” katanya.
Menurut Aman, sebanyak 10 persen merupakan anak dengan usia 0-28 hari, 32 persen berusia 29 hari-11 bulan 29 hari. Kemudian 24 persen berusia 1-5 tahun, 14 persen usia 6-9 tahun dan sisanya 20 persen berusia 10-18 tahun ”Kalau sekolah dibuka, yang meninggal usia 10 tahun ke atas ini akan banyak, ada 20 persen. Ini adalah anak yang sulit untuk diatur pakai masker atau cuci tangan. Ini kalau mau sekolah dibuka,” kata Aman.