Laju pemanasan bumi akibat krisis perubahan iklim masih terus berlangsung pada masa pandemi. Di sisi lain, komitmen Indonesia dan dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca masih belum cukup mengurangi penambahan suhu.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca, tetapi dikhawatirkan hanya akan berlangsung sementara. Laju pemanasan global tetap berlangsung di tengah pandemi, bahkan banyak negara dikhawatirkan tidak bisa memenuhi target nasional penurunan emisinya.
”Data di China, saat awal pandemi dan warga diminta di rumah, emisi karbon di negara mereka berkurang 25 persen dan udara menjadi lebih bersih. Pabrik-pabrik yang menggunakan bahan bakar batu bara berkurang operasinya hingga 40 persen,” kata Deddy Hadriyanto, pembina Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia, dalam diskusi daring, Selasa (14/7/2020).
Menurut Deddy, mengacu data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), penurunan cemaran partikulat halus atau PM 2,5 juga terjadi secara signifikan di sejumlah kota di Indonesia. ”Bahkan, penurunan PM 2,5 di Jakarta selama dua bulan masa PSBB (pembatasan sosial berskala besar) mencapai 45 persen,” katanya.
Kabar baik lain, ujar Deddy, Indonesia baru-baru ini mendapatkan dana dari Norwegia sebesar Rp 840 miliar sebagai kompensasi karena dianggap berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Selama 10 tahun terakhir, pengurangan emisi dari sektor ini dinilai mencapai 17 juta ton.
”Ini satu sisi keberhasilan, sekalipun nilai yang dibayar masih sangat rendah, yaitu hanya 5 dollar per ton. Padahal, dulu dicanangkan 12 dollar per ton,” katanya.
Deddy juga mengingatkan agar tak terlalu optimistis karena di sisi lain ada rencana pemerintah mencetak sawah di lahan gambut di Kalimantan, yang selama ini menjadi penyimpan karbon. ”Seharusnya, kita menjadikan momentum pandemi menuju tatanan hidup baru, bukan hanya dari aspek kesehatan, melainkan juga dalam mengatasi perubahan iklim,” katanya.
Ketua Umum APIK Indonesia Mahawan Karuniasa mengatakan, perubahan iklim saat ini melaju cepat dan memicu perubahan lingkungan global. Misalnya, Kutub Selatan telah memanas tiga kali lipat lebih cepat dan suhu di lingkar Arktik baru-baru ini dilaporkan mencapai 38 derajat celsius.
Harus ada aksi lebih serius karena peningkatan suhu pada 2019 sudah mencapai 1,1 derajat celsius.
”Harus ada aksi lebih serius karena peningkatan suhu pada 2019 sudah mencapai 1,1 derajat celsius karena batasan yang ditetapkan IPCC (Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) jangan sampai lebih dari 1,5 derajat celsius agar tidak terjadi bencana besar,” ucapnya.
Menurut Mahawan, agar peningkatan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat celsius, penambahan emisi karbon tidak boleh lebih dari 24 gigaton. Sedangkan untuk menahan agar suhu tidak meningkat lebih dari 2 derajat celsius, penambahan emisi harus di bawah 40 gigaton.
Padahal, jika Perjanjian Paris tentang pengurangan emisi dijalankan, bumi hanya bisa menahan laju penambahan emisi 53-56 gigaton. ”Masih ada kesenjangan cukup besar, oleh karena itu setiap negara harus meningkatkan ambisi dan kapasitas untuk mengurangi emisinya,” katanya.
Bergeser
Emma Rachmawati, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, mengatakan, target penurunan emisi di Indonesia tahun ini dari sektor energi mengalami pergeseran dari triwulan satu dan dua ke triwulan tiga dan empat. Selain itu, target penurunan emisi sebesar 2.554 ton setara CO2 dari kegiatan pembangkit listrik tenaga surya dan bioenergi juga tidak akan tercapai.
”Walaupun secara total untuk sektor energi kemungkinan masih bisa penuhi target penurunan 22-25,4 persen, ditutup dari kegiatan lain,” ujarnya.
Sedangkan dari sektor limbah dan kehutanan baru akan dievaluasi. Untuk antisipasi tidak tercapainya target penurunan emisi nasional ini, menurut Emma, pemerintah akan memperbaiki pendataan, khususnya dari capaian provinsi. Selain itu, juga akan mendorong dunia usaha terlibat dalam upaya pengurangan emisi, dan hasilnya bisa tercatat.
Nur Marsipatin, Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional, mengatakan, secara global saat ini juga terjadi kendala dalam pemenuhan target penurunan emisi. Dari 195 negara, baru 11 negara yang melaporkan bisa memenuhi targetnya.
”Itu pun dari negara yang kontribusinya kecil. Selain itu, pandemi Covid-19 membuat konferensi perubahan iklim ditunda hingga 2021. Akibatnya, ada komitmen yang diundurkan,” ujarnya.