Rencana Pemberian Hak Guna Usaha 90 Tahun Dinilai Mengada-ada
RUU Cipta Kerja seolah membawa Indonesia kembali pada masa penjajahan Belanda yang menempatkan tanah sebagai milik negara. Pemerintah dan DPR diingatkan bahwa negara ”hanya” menguasai sumber daya agraria bukan memiliki.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberian hak guna usaha selama 90 tahun dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tak sesuai konstitusi dan mengabaikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Alasan memberikan masa berlaku hak atas tanah yang melebihi rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia tersebut untuk menarik investor dinilai mengada-ada.
Menurut sejumlah survei, di antaranya World Economic Forum, keengganan investor menanamkan modal di Indonesia karena faktor korupsi dan hambatan birokrasi/administrasi. Kesulitan perpanjangan/pembaruan izin hak atas tanah, di antaranya hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai, bisa dilakukan dengan mempermudah prosedur, bukan memperpanjang masa berlakunya.
Ini mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta secara daring, Sabtu (13/6/2020), yang khusus menyoroti pemberian izin hak atas tanah, dalam hal ini HGU, otomatis selama 90 tahun dalam Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Diskusi menghadirkan Andi Tenrisau (Staf Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah), Joko Supriyono (Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI), Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA), Arteria Dahlan (Komisi III dan Anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR), dan Maria SW Sumardjono (Guru Besar Fakultas Hukum UGM).
Pada Pasal 127 RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law dinilai menimbulkan norma baru. Ini karena tanah yang berstatus hak pengelolaan (HPL) bisa diterbitkan hak atas tanah, yaitu HGU, HGB, dan hak pakai. Hak pengelolaan menurut UU Pokok Agraria digunakan pada dimensi publik, bukan ditarik pada perdata.
HGU di HPL itu tidak ada di pemikiran mana pun.
”HGU di HPL itu tidak ada di pemikiran mana pun, kecuali ada agenda mengganti UU Pokok Agraria demi investasi. Tidak ada jalan pemikiran seperti itu, apalagi diberikan selama 90 tahun,” kata Maria Sumardjono.
Ia pun mengingatkan pemerintah dan DPR untuk selalu kembali pada konstitusi saat pembuatan perundangan. Termasuk di antaranya adalah melihat putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Maria menunjukkan Putusan MK 21 dan 22 Tahun 2007 telah mengabulkan uji materi (judicial review) atas UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memberikan masa berlaku HGB selama 95 tahun (diberikan dan diperpanjang sekaligus selama 60 tahun dan selanjutnya diperbarui 35 tahun). Ia mengatakan, dalam penjelasan Putusan MK tersebut Hakim Konstitusi fokus pada jangka waktu, bukan melihat status tanah atau hak tersebut.
Andi Temasau pada awal diskusi berpendapat Putusan MK 21 dan 22 berlaku pada tanah negara. Sementara obyek hukum dalam RUU Cipta Kerja adalah HPL. ”Tapi (sudah) diluruskan Prof Maria, ini jadi catatan penting,” katanya.
Maria Sumardjono mempertanyakan penerima manfaat dari pemberian HGU selama 90 tahun tersebut. Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir orang.
Ia mengatakan, UU Pokok Agraria memberikan hak-hak atas tanah secara kumulatif. Semisal pada badan hukum diberikan hak guna usaha 35 tahun lalu dapat diperpanjang 25 tahun dan selanjutnya diperbarui selama 35 tahun. Bukan otomatis selama 90 tahun.
Pemberian secara kumulatif tersebut bertujuan untuk memberi ruang kontrol dan evaluasi bagi pemerintah terhadap pemegang HGU. Selanjutnya, hasil evaluasi pada HGU-HGU telantar bisa menjadi ruang bagi pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, yaitu redistribusi lahan. ”Boro-boro 90 tahun, yang saat ini saja (UU PA) sulit masuk dalam TORA,” katanya.
Ia menyarankan pemerintah agar meningkatkan minat investor dengan memberikan kemudahan administrasi dan memberantas pungli, seperti masukan dari Ombudsman. Keluhan pengusaha seperti disampaikan Joko Supriyono, pelaku bisnis kesulitan mengurus HGU maupun perpanjangannya karena banyak izin dan prosedur.
Maria Sumardjono menyarankan langkah yang pernah dilakukan pada tahun 1993 oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang memberikan kemudahan perpanjangan HGU di Riau (Batam).
Perpanjangan izin HGU dipermudah dengan meminta pelaku usaha melakukan permohonan dua tahun sebelum izin berakhir, pertimbangan kepala kantor pertanahan setempat (tanpa perlu diperiksa panitia pemeriksaan tanah), dan BPN mengeluarkan surat keputusan yang menjamin perpanjangan.
Jaminan perpanjangan ini yang kemudian dipakai dalam Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
”Yang halal adalah memberikan jaminan pembaruan dan perpanjangan sekaligus dalam surat keputusan. Kalau memberikan HGU 90 tahun itu adalah cara berpikir sesat karena kontrol negara ada saat melakukan evaluasi,” katanya.
Maria Sumardjono pun menyebutkan, RUU Cipta Kerja ini seolah ingin membawa Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu, prinsipnya setiap tanah, termasuk tanah jajahan, yang tak dapat ditunjukkan bukti kepemilikannya, tanah dimiliki negara. Lalu Pemerintah Belanda yang mewakili negara sebagai pemilik tanah memberikan tanah dengan hak-hak barat, termasuk pengelolaan selama 75 tahun untuk mengundang investor perkebunan besar.
Di hukum agraria nasional, negara menguasai (bukan memiliki) sumber daya agraria seperti bunyi Pasal 33 UUD 1945. Definisi menguasai tersebut menurut tafsir MK adalah mengatur, membuat kebijakan, mengawasi, dan mengelola.