Krisis iklim kian menghantui warga dunia. Selain mempercepat siklus cuaca ekstrem, krisis iklim memicu beragam bencana, seperti banjir besar di Jakarta dan kebakaran hutan di Australia.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat sebagian wilayah Indonesia dilanda hujan dengan intensitas tertinggi sepanjang sejarah, negara tetangga kita Australia mengalami kekeringan dan kebakaran hutan hebat. Dua peristiwa ekstrem ini diperkirakan bakal semakin sering terjadi ke depan seiring dengan perubahan iklim yang sudah mencapai tahap krisis iklim.
”Banyak kejadian iklim yang memecahkan rekor ekstrem,” kata peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Supari, di Jakarta, Minggu (5/1/2020).
Data BMKG menunjukkan, curah hujan di Bandara Halim yang mencapai 377 milimeter pada 31 Desember 2019-1 Januari 2020 lalu merupakan yang tertinggi di Jakarta dan sekitarnya sejak dilakukan pencatatan oleh Belanda pada tahun 1866. Sebelumnya, rekor curah hujan tertinggi terukur 367 mm per hari di Sunter pada 11 Februari 2015 dan 340 mm per hari di Pondok Betung pada 2 Februari 2007. Dari ketiga kejadian ekstrem ini selalu diikuti banjir besar di Jakarta.
Peneliti iklim dari Tropical Marine Science Institute, National University of Singapore, Jiangdong Liu, meneliti tentang hujan eksrem yang memicu banjir di Jakarta pada 2007 dan dipublikasikan di jurnal Natural Hazard pada 2014. Perhitungan berdasarkan analisis periode ulang berdasarkan skala regional menyebutkan, kembalinya hujan ekstrem seperti pada Februari 2007 adalah 300-an tahun. Namun, hujan ekstrem, bahkan dengan intensitas lebih tinggi, terjadi jauh lebih cepat dari prediksi.
Menurut Supari, hujan ekstrem di Indonesia sebelumnya biasanya dipengaruhi oleh kombinasi Madden Julian Oscilation (MJO) atau aliran udara sepanjang khatulistiwa yang membawa siklus basah dan kering bergantian, terjadinya siklon tropis atau tekanan rendah di dekatnya, menguatnya La Nina, atau adanya pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan atau disebut sebagai Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ). Ternyata faktor-fakor di atas cenderung nihil, kecuali adanya ITCZ.
”Perubahan iklim menyebabkan jeda antarkejadian ekstrem makin lama makin pendek. Misalnya pada kondisi iklim jaman dulu hujan 200 mm per hari itu periode ulangnya adalah 100 tahun. Nah di kondisi iklim sekarang hujan sebesar itu periode ulangnya menjadi 50 tahun-an atau bisa lebih cepat lagi,” katanya.
Rekor tertinggi
Peneliti yang juga Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menambahkan, kondisi iklim dunia saat ini ditandai dengan tercapainya sejumlah rekor, yang belum pernah dialami di masa lalu. ”Sejak Juni tahun lalu indek IOD+ (Indian Ocean Dipole positif) menguat dan ternyata yang terkuat dalam sejarah 150 tahun pengukuran suhu muka laut Samudera Hindia,” katanya.
Fenomena IOD+ ditandai dengan mendinginnya suhu muka air laut barat Sumatera hingga selatan Jawa, sebaliknya suhu muka air laut di timur Afrika menghangat. Kondisi ini menyebabkan tingginya penguapan air di sekitar perairan Afrika yang memicu hujan lebat dan banjir sepanjang tahun 2019 lalu di wilayah tersebut. Sebaliknya, wilayah Indonesia dan Australia sejak Juli mengalami kurang hujan.
”IOD+ yang mencapai rekor inilah yang memicu kekeringan dan kebakaran hutan meluas di Indonesia dan Australia,” kata Siswanto.
Tahun lalu, Indonesia juga mengalami kekeringan dan kebakaran hutan terluas setelah 2015. Durasi musim kemarau 2019 di Indonesia secara umum lebih panjang dari normalnya. Sebanyak 46 persen dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami musim kemarau lebih panjang hingga 2 bulan dari normalnya.
Sementara itu, data Biro Meteorologi Australia (Bureau of Meteorology) menunjukkan, suhu rata-rata pada tahun 2019 merupakan yang terpanas di negeri tersebut, mencapai 1,5 derajat celsius di atas rata-rata jangka panjang yang diambil antara tahun 1961 dan 1990. Tahun terpanas kedua adalah 2013, diikuti oleh 2005, 2018, dan 2017.
Siswanto mengatakan, sejak akhir Desember 2019, IOD+ sudah menurun dan mengarah pada kondisi netral. Hal itu mengindikasikan suhu permukaan laut di Samudera Hindia sudah kembali menghangat, terutama di sekitar wilayah perairan indonesia sehingga menyuplai kandungan uap air yang besar di atmosfer.
”Kondisi ini yang kemudian memicu hujan lebat yang lalu. Dalam beberapa hari ke depan, apabila ada aliran monsun Asia lebih kuat dari biasanya, ITCZ, atau MJO, peluang hujan lebat bisa kembali berulang,” katanya.