JAKARTA, KOMPAS – Para aktivis yang dikoordinir oleh Greenpeace Asia Tenggara mengokupasi kilang minyak kelapa sawit di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (25/9/2018) selama 12 jam. Aksi mereka untuk mendesak agar grup perusahaan kilang minyak tersebut, Wilmar yang berbasis di Singapura, serius memperbaiki praktik perkebunan yang tak lagi merusak hutan dan gambut.
Aksi itu berlangsung sejak pagi dan berakhir sore. Selain di kilang minyak, mereka juga menduduki kapal penyuplai minyak sawit selama 12 jam.
Greenpeace saat itu didukung 23 aktivis dari Thailand, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis, dan Australia serta empat personel grup band musik era 1990-an, Boomerang. Grup musik beraliran balads ini mengadakan konser di atas tangki dari pagi hingga pukul 11.00 waktu setempat.
“Wilmar belum menunjukkan niat baik. Respons mereka pun tidak bisa dibuktikan dan terkesan tidak melakukan apa-apa serta menutup mata akan kerusakan hutan yang terjadi pada rantai pasoknya,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Selasa.
Sebelum Greenpeace beraksi di wilayah PT Multi Nabati Sulawesi (PT MNS, Grup Wilmar) ini, organisasi lingkungan tersebut meluncurkan hasil investigasinya terkait deforestasi oleh 25 produsen minyak sawit utama. investigasi Greenpeace International mengungkapkan bahwa 25 produsen minyak sawit telah menggunduli 130.000 hektar hutan hujan sejak 2015. Wilmar juga membeli dari 18 kelompok minyak sawit; yang 3 di antaranya merupakan pemasok untuk kilang PT MNS tempat aksi berlangsung.
Tindakan kolaboratif
Terkait Aksi Greenpeace di Bitung, dalam pernyataan tertulis, Wilmar mendesak Greenpeace untuk mengambil tindakan kolaboratif dengan Wilmar dan industri kelapa sawit jika benar-benar ingin meningkatkan industri minyak sawit. "Aksi Greenpeace di kilang minyak sawit Wilmar di Bitung bukan hanya tindakan kriminal masuk tanpa izin dan vandalisme tetapi juga risiko keselamatan bagi para aktivis serta staf Wilmar," pernyataan Wilmar.
Terkait laporan investigasi tersebut, juga dalam jawaban tertulis, Wilmar menyatakan kekecewaan atas tuduhan Greenpeace (Kompas, 20 September 2018). Perusahaan ini menyatakan sedang bersungguh-sungguh mendorong pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
”Greenpeace tidak pernah melakukan konfirmasi kepada Wilmar sebelum menerbitkan laporan terbarunya sehingga kami tidak memiliki peluang untuk menggunakan hak jawab kami,” demikian tanggapan Wilmar.
Kiki Taufik mengatakan, kilang minyak sawit MNS di Bitung dipilih Greenpeace karena disinyalir menjadi penampung hasil sawit di Papua dan Kalimantan.
“Minyak Sawit yang diproduksi Wilmar ini telah terkontaminasi minyak sawit hasil dari praktik-praktik deforestasi di berbagai wilayah Indonesia termasuk di Papua. Kami mendesak Wilmar segera menepati janjinya dalam membersihkan rantai pasoknya dari para perusak hutan,” katanya.
Dalam aksinya, setelah mereka berhasil menduduki tangki timbun penyimpan minyak sawit setinggi 5 meter, para aktivis Greenpeace membentangkan spanduk bertuliskan ‘Drop Dirty Palm Oil’ setinggi 5 meter, kemudian musisi Boomerang memainkan lagu di atas tangki. Sementara, aktivis lainnya mengecat lambung kapal tangker bertuliskan ‘Stop Deforestation Now’ dan menempelkan pesan ‘Sawitmu Merusak Hutan.’
“Kondisi hutan Indonesia sangat menyedihkan, inilah yang membuat saya bersemangat terlibat dalam aksi damai ini. Semoga ini bisa menjadi peringatan terhadap perusahaan-perusahaan untuk lebih berhati-hati atas dampak lingkungan dari apa yang telah mereka perbuat,” kata vokalis band Boomerang Andi Babas dalam siaran pers Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menyerukan kepada Wilmar untuk menghentikan suplai kelapa sawit yang bersumber dari para perusak hutan, dengan mewajibkan semua kelompok produsen dalam rantai pasokannya untuk mempublikasikan data lokasi pabrik dan peta konsesi untuk seluruh operasi mereka, serta memutuskan hubungan dengan semua kelompok produsen yang nakal.