JAKARTA, KOMPAS – Implementasi Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit diharapkan menjadi permulaan untuk menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dan korporasi pengelola perkebunan kelapa sawit. Pemerintah didorong untuk memprioritaskan dua hal, yaitu mengevaluasi perizinan kebun kelapa sawit dan membuka akses partisipasi bagi masyarakat.
“Evaluasi perizinan harus segera dilakukan. Sebab, masih sering ditemui sejumlah pelanggaran di lapangan. Ini memicu konflik,” kata Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Khalisah Khalid di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Beberapa pelanggaran yang dimaksud antara lain adalah ditemukannya titik api di lapangan dan luas kebun yang melampaui izin yang diterbitkan. Selain itu, pernah ditemukan praktik produksi di kebun kelapa sawit yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menelaah lagi izin-izin yang telah diterbitkan, baik di dalam, maupun di luar kawasan hutan. Menurut Khalisah, evaluasi perizinan juga layak dilakukan di area penggunaan lain (APL) yang memiliki potensi konflik yang tinggi. Setelah dievaluasi, audit lingkungan dapat dilakukan.
“Di saat inilah keterbukaan informasi menjadi penting bagi publik, terlebih dalam mengakses Hak Guna Usaha (HGU). Dengan ini, publik dapat menjalankan fungsinya untuk mengawasi fakta yang ada di lapangan,” kata Khalisah.
Komunikasi dengan kepala daerah juga dianggap penting dalam pelaksanaan instruksi presiden. Itu karena sejumlah izin perkebunan kelapa sawit diterbitkan oleh kepala daerah.
Pelaksanaan evaluasi perizinan harus disertai dengan sistem penegakan hukum yang baik pula. Sanksi tegas diperlukan bagi pihak yang melanggar HGU, seperti dengan denda. Khalisah mengatakan, selama ini, para pelanggar hanya mendapat sanksi administratif yang tidak memberikan efek jera.
Implementasi instruksi presiden juga dapat menjadi momentum bagi perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Setelah berlangsung selama lebih kurang satu abad, masih banyak masyarakat yang kehilangan haknya atas lahan untuk perkebunan sawit. Hal serupa terjadi pada konflik agraria antara warga Desa Polanto Jaya, Kabupaten Donggala, Kecamatan Rio Pakava, Sulawesi Tengah dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit setempat.
“Pemerintah harus melihat secara kontekstual bagaimana kejadian sebenarnya di lapangan,” kata Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah Mohamad Hasan di Jakarta.
Reforma agraria
Ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat dan korporasi menjadi salah satu masalah agraria di Indonesia. Presiden telah berkomitmen untuk menandatangani peraturan presiden yang mengatur tentang reforma agraria dalam waktu dekat. Peraturan presiden diharapkan dapat memberi payung hukum bagi masalah tersebut dan untuk percepatan reforma agraria. Namun, pelaksanaannya harus memperhatikan penyelesaian konflik agraria yang terjadi.
"Reforma agraria yang ingin dicapai pemerintah tidak akan bisa berjalan jika konflik agraria tidak dilihat sebagai permasalahan dasar. Konflik ini harus segera diselesaikan," kata Khalisah.
Menurutnya, ada tiga obyek untuk melakukan reforma agraria, yaitu tanah dengan HGU telantar, tanah eks HGU, dan tanah dengan HGU yang berkonflik dengan masyarakat. Ia menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak diperlukan lagi. Itu karena secara historis, kelapa sawit bukan merupakan komoditi unggulan. Selain itu, kelapa sawit juga dianggap merugikan secara ekologis.
“Sebenarnya, moratorium dalam instruksi presiden tidak cukup karena itu sifatnya sementara. Kami minta agar izin perkebunan kelapa sawit dihentikan karena ini merugikan masyarakat. Lahan kelapa sawit seluas 20 juta hektar sudah cukup. Tidak perlu ditambah lagi,” kata Manajer Hukum Lingkungan dan Litigasi Walhi Ronald M Siahaan. (SEKAR GANDHAWANGI)