JAKARTA, KOMPAS – Menjaga lingkungan bisa dilakukan dengan cara sederhana di dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibiasakan, perilaku tersebut bisa berdampak kepada pengurangan emisi karbon dan pengurangan sampah plastik.
Direktur Komunikasi Organisasi World Wild Fund (WWF) Indonesia, Elis Nurhayati, menyebutkan tiga hal sederhana yang bisa orang lakukan untuk menjaga lingkungan. “Pertama, biasakan naik transportasi umum. Ini bisa membantu mengurangi emisi karbon,” kata Elis ketika ditemui saat perayaan ulang tahun WWF Indonesia yang ke-56 di Jakarta.
Dengan mengurangi intensitas penggunaan kendaraan pribadi, emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bisa berkurang. Ini diharapkan mampu membantu peningkatan mutu udara. Selain itu, hal ini juga berkontribusi dalam penghematan bahan bakar minyak.
Kedua, mengurangi penggunaan tisu dengan membawa handuk kecil saat beraktifitas. Fungsi tisu yang sekali pakai bisa digantikan dengan handuk kecil yang bisa digunakan beberapa kali. Elis mengatakan, bahan baku tisu adalah kulit kayu. Jika penggunaan tisu tidak dikontrol, hal itu mengancam penebangan pohon semakin luas.
Ketiga, orang bisa membiasakan diri membawa botol minum sendiri. Hal ini dilakukan untuk membantu mengurangi sampah plastik dari air kemasan yang dibeli. Ini penting dibiasakan karena Indonesia menjadi negara terbesar kedua yang membuang sampah plastik ke laut, yakni sekitar 9 juta ton (Kompas, 20/8/2018).
Ketiga hal tersebut, menurut Elis bisa diterapkan siapa saja. Bagi orang yang memiliki akun media sosial, disarankan untuk mengikuti berbagai akun yang memiliki fokus terhadap konservasi lingkungan. Hal itu bisa membantu menambah pengetahuan terkait pentingnya konservasi lingkungan melalui informasi yang mudah dimengerti.
Tantangan
WWF Indonesia memulai kiprahnya di Indonesia sejak tahun 1962. Sedangkan, legalitas berupa badan hukum WWF Indonesia terbit pada 11 September 1998. Tantangan WWF Indonesia saat ini adalah menekan penebangan hutan untuk pembangunan jalan dan perkebunan sawit.
CEO WWF Indonesia, Rizal Malik, mengatakan, devisa dari kelapa sawit perlu dipertahankan. Namun, cara memproduksi kelapa sawit perlu ditinjau kembali sehingga tanpa memperluas penebangan pohon di hutan. “Itu bisa dilakukan salah satunya dengan menaikkan produktifitas tanpa merambah hutan,” kata Rizal.
Kami mengkritik cara industri kelapa sawit yang mengelola industri dengan tidak berkelanjutan. Penegakan hukum bagi industri kelapa sawit yang melanggar peraturan, kerap mengalami kendala karena sudah didiamkan bertahun-tahun di kawasan taman nasional.
“Ada yang sudah didiamkan selama 20 tahun sehingga masalahnya tidak lagi sederhana. Ada kepentingan dan persoalan di sana sehingga penyelesaiannya tidak bisa semata-mata dengan penegakkan hukum. Perlu negosiasi dan pendekatan kepada masyarakat,” ujar Rizal. (SUCIPTO)