JAKARTA, KOMPAS – Perlindungan terhadap masyarakat adat terus mengalami hambatan dan tantangan. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat belum diselesaikan. Kebijakan Satu Peta pun tidak memihak pada masyarakat adat.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Direktorat Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri, Aferi S Fudail, mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat akan dilakukan pada Kamis (15/8/2018). Hal ini disampaikannya dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia.
“Pembahasan RUU Masyarakat Adat akan melalui tiga masa persidangan. Targetnya akan selesai dan dapat segera diterbitkan pada akhir tahun ini. Salah satu permasalahan yang akan dibahas adalah pendefinisian dari wilayah adat, tanah ulayat, masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan masyarakat hukum adat,” kata Aferi, di Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Sesuai dengan surat Presiden pada Maret 2018, pembahasan RUU Masyarakat Adat akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri sebagai koordinator pembahasan. Ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Upaya lain untuk melindungi hak masyarakat adat adalah melalui Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun, hanya sebagian kecil peta wilayah adat yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah atau surat keputusan (SK) bupati.
“Wilayah adat yang telah tercatat mencapai 9,65 juta hektar, yang terdiri dari 785 wilayah adat dari 18 provinsi di 33 kabupaten. Dari jumlah itu, baru 1,2 juta hektar atau 51 wilayah yang ditetapkan melalui perda atau SK bupati. Maka untuk sementara, peta wilayah adat tidak dapat dimasukkan ke dalam satu peta,” kata Aferi.
Satu Peta Rakyat Indonesia
Sebenarnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan “Satu Peta Rakyat Indonesia” sejak 2012 kepada pemerintah. Peta hasil kerja sama AMAN dan organisasi sipil di Indonesia telah diserahkan kepada Kemdagri, Kementerian LHK, Kementerian ATR, serta Badan Informasi Geospasial.
Menurut Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat, Kasmita Widodo, pemerintah seharusnya melihat peta wilayah adat yang dihasilkan masyarakat sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Namun, karena sebagian besar wilayah belum memiliki peraturan daerah atau SK bupati, peta wilayah adat pun tidak dapat disertakan dalam satu peta.
Padahal, peta wilayah adat berfungsi untuk koordinasi dan sinkronisasi keberadaan wilayah adat. Apabila peta wilayah adat tidak dimasukkan dalam satu peta, maka wilayah adat terancam digunakan untuk kepentingan pihak lain.
“Misalnya, ada perusahaan kelapa sawit yang hendak membuka usahanya di atas wilayah adat. Apabila tidak ada pengakuan terhadap wilayah adat, perampasan wilayah dan pengingkaran keberadaan masyarakat adat akan terus berlanjut,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi.
Dampak jangka panjang, jika wilayah adat dirampas, fondasi kemandirian dan kedaulatan pangan akan goyah. Sebab, jika tanah, hutan, dan laut direbut oleh pihak lain, masyarakat adat akan kehilangan wilayahnya untuk memproduksi pangan.
Rukka mengatakan, pemerintah pusat harus bertanggung jawab dalam membantu pemerintah daerah membuat peraturan daerah atau SK bupati. Apabila pemerintah lepas tangan, persoalan hak masyarakat adat tidak akan selesai. (Sharon Patricia)