Penurunan Tanah Perparah Banjir Rob di Pantai Utara Jawa
Fenomena pasang surut dinilai bukan faktor utama yang menyebabkan parahnya banjir rob di pesisir utara Jawa Tengah pada 23 Mei 2022.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena pasang surut dinilai bukan faktor utama yang menyebabkan parahnya banjir rob di pesisir utara Jawa Tengah pada 23 Mei 2022. Bencana ini terutama disebabkan oleh turunnya daratan di pesisir Jawa Tengah yang mencapai 10-20 sentimeter per tahun dan pada saat kejadian terjadi gelombang tinggi dan angin kencang serta jebolnya tanggul.
Analisis mengenai banjir rob di Semarang ini disampaikan Heri Andreas, ahli geodesi yang juga dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), saat menjadi pembicara dalam rapat koordinasi kebencanaan yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jumat (27/5/2022).
Heri mengatakan, pada 23 Mei 2022, ketika terjadi banjir rob di Semarang, Pekalongan dan Demak, juga wilayah Jakarta relatif aman. Padahal, Jakarta juga berada di pantai utara Jawa yang mengalami kondisi pasang surut mirip dengan Semarang dan sekitarnya.
Mengacu data prediksi pasang surut dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menurut Heri, pada 23 Mei 2022, pesisir Semarang dan sekitarnya dalam kondisi pasang normal dengan tinggi maksimum 1,1 meter (m). ”Jadi faktor utama banjir rob tidak terkait dengan pasang surut,” katanya.
Menurut Heri, faktor penurunan lahan di Semarang, Pekalongan, dan Demak merupakan faktor utama banjir rob pada 23 Mei lalu. Gelombang tinggi yang mencapai 1,2 meter dan kemudian tanggul jebol memperparahnya. ”Jakarta yang juga berada di pantura tidak ada gelombang tinggi, selain tanggulnya sudah lebih kokoh, sehingga tidak mengalami banjir rob,” kata Heri.
Penurunan daratan di Semarang, Pekalongan, dan Demak ini, menurut Heri, telah mencapai 10-20 sentimeter (cm) per tahun. ”Dalam beberapa kasus, jebolnya tanggul juga terkait dengan laju land subsidence (penurunan tanah) yang terlalu cepat,” katanya.
Dalam beberapa kasus, jebolnya tanggul juga terkait dengan laju land subsidence (penurunan tanah) yang terlalu cepat.
Heri juga memperkuat analisisnya berdasarkan data sejarah, banjir rob belum terjadi di pantai utara Jawa, termasuk Semarang, Demak, Pekalongan, dan Jakarta pada 1980-an, 1990-an, atau bahkan awal tahun 2000-an. Padahal, fenomena pasang surut, termasuk kondisi perigi, telah ada sejak dulu.
Berbeda dengan Heri, Kepala Stasiun Meteorologi Kelas II Maritim Tanjung Emas, Semarang, Retno Widyaningsih mengatakan, tanggal 23 Mei masih merupakan fase pasang bulanan menurut perhitungan astronomi.
”Adanya angin kencang dan gelombang laut dengan ketinggian 1,25-2,5 meter yang melanda pantai utara Jawa Tengah dari Brebes hingga Rembang menambah efek limpasan air laut ke daratan,” katanya.
Thomas Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi–Astrofisika,Pusat Riset Antariksa, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, faktor astronomis saat bulan purnama sehingga terjadi pasang maksimum memang berpotensi menyebabkan banjir rob. Efeknya akan meningkat jika bersamaan dengan kondisi perigi, yaitu posisi Bulan terdekat dengan Bumi, tetapi umumnya hal itu hanya menimbulkan genangan biasa.
”Kondisi ekstrem banjir rob umumnya dipicu oleh gelombang tinggi di laut, terutama yang dipicu angin kencang,” ujarnya.
Mengacu analisis Tim Reaksi dan Analisis Kebencanaan (TREAK), Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN, Thomas mengatakan,dinamika atmosfer di sekitar laut Jawa menyebabkan angin kencang di atas 10 meter per detik yang memicu kenaikan gelombang di Laut Jawa dekat pantai utara (pantura) Jawa. Hal itulah yang berkontribusi menyebabkan banjir rob di pantura pada 23 Mei 2022.
Meski demikian, Thomas juga menyampaikan, risiko banjir rob bisa diperparah dengan kenaikan tinggi permukaan air laut karena efek pemanasan global, kenaikan pasang maksimum karena siklus nodal Bulan 18,6 tahunan, dan penurunan permukaan tanah wilayah pantai.
Ancaman ke depan
Andreas mengatakan, untuk mengatasi banjir rob, dalam jangka pendek harus membangun tanggul yang kuat. Namun, hal ini hanya akan memberikan perlindungan sementara, jika penurunan tanah di pesisir terus terjadi. ”Kalau tanah terus turun, maka suatu saat akan banjir rob juga, tanggul bisa jebol. Itu yang terjadi pada tanggal 23 Mei lalu,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Andreas, dalam jangka panjang harus ada upaya serius untuk mengendalikan penurunan tanah. ”Ini sudah serius dilakukan di luar negeri, tapi di Indonesia masih abai,” ujarnya.
Andreas juga mengingatkan, potensi pasang surut pada Juni 2022 bisa lebih tinggi. Diperkirakan, pasang tertinggi bisa bisa lebih dari 1,4 meter. ”Harus ada audit tanggul-tanggul di Semarang dan sekitarnya. Kalau pada tanggal 13, 14, 15 Juni 2022 mendatang ada gelombang tinggi lagi dan tanggul jebol lagi, maka banjir rob bisa lebih parah dari 23 Mei lalu,” ujarnya.
Sementara itu, Thomas mengingatkan agar daerah pesisir di Indonesia, khususnya pantai utara Jawa, menyiapkan mitigasi jangka menengah untuk mengatasi efek siklus nodal Bulan yang puncaknya sekitar 2034. ”Efek siklus nodal berpotensi meningkatkan pasang maksimum sehingga banjir rob lebih sering terjadi dengan ketinggian yang meningkat,” ucapnya.