Tak Ada Kemajuan, Polusi Menyebabkan Sembilan Juta Kematian dalam Setahun
Laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa polusi bertanggung jawab atas 9 juta kematian pada 2019 atau satu dari enam kematian di seluruh dunia. Di Asia Tenggara, kematian terutama dipicu polusi industri.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
ILUSTRASI: Polusi udara di Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa polusi bertanggung jawab atas 9 juta kematian pada 2019 atau satu dari enam kematian di seluruh dunia. Jumlah ini hampir tidak berubah sejak analisis terakhir pada 2015, yang menunjukkan tidak adanya progres signifikan dalam mengatasi polusi dan khusus Asis Tenggara justru terjadi tren peningkatan polusi dari sektor industri.
Laporan pembaruan dari The Lancet Commission on Pollution and Health, yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health pada Selasa (17/5/2022) ini menyatakan bahwa jumlah kematian akibat sumber polusi yang terkait dengan kemiskinan ekstrem, seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi air, telah menurun. Namun, terjadi peningkatan kematian yang disebabkan oleh polusi industri, seperti polusi udara ambien dan polusi bahan kimia.
”Dampak kesehatan dari polusi tetap besar dan negara-negara berpenghasilan rendah serta menengah menanggung beban-beban ini. Terlepas dari dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang sangat besar, pencegahan polusi sebagian besar diabaikan dalam agenda pembangunan internasional,” kata Richard Fuller, penulis utama studi, dalam keterangan tertulis.
Menurut Fuller, sejak laporan tentang polusi udara dan kesehatan pada tahun 2015, ada peningkatan kekhawatiran publik tentang polusi dan efek kesehatannya. Meskipun demikian, hanya ada sedikit peningkatan perhatian dan pendanaan untuk mengatasi masalah ini.
AHMAD ARIF
Perkiraan kematian global berdasarkan faktor atau penyebab risiko utama. Sumber: The Lancet Planetary Health (2022)
”Polusi masih merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi kesehatan manusia dan planet serta membahayakan keberlanjutan masyarakat modern. Mencegah polusi juga dapat memperlambat perubahan iklim—mencapai manfaat ganda bagi kesehatan planet—dan laporan kami menyerukan transisi besar-besaran dan cepat dari semua bahan bakar fosil untuk membersihkan, energi terbarukan,” kata anggota tim penulis, Profesor Philip Landrigan dari Boston College.
Dampak kesehatan dari polusi tetap besar, dan negara-negara berpenghasilan rendah serta menengah menanggung beban-beban ini.
Komisi Lancet untuk Polusi dan Kesehatan tahun 2017, dengan memakai data dari studi Global Burden of Disease (GBD) 2015, menemukan bahwa polusi bertanggung jawab atas sekitar 9 juta kematian atau 16 persen dari semua kematian secara global. Laporan baru memberikan perkiraan terbaru tentang efek kesehatan dari polusi berdasarkan data GBD 2019 dan pembaruan metodologi serta penilaian tren sejak tahun 2000.
Dari 9 juta kematian akibat polusi pada tahun 2019, polusi udara, baik dari rumah tangga maupun lingkungan, tetap bertanggung jawab sebagai penyebab kematian terbesar, yaitu 6,67 juta di seluruh dunia. Polusi air bertanggung jawab atas 1,36 juta kematian dini.
Timbal menyumbang 900.000 kematian dini. Sementara pekerjaan dengan peralatan dan bahan-bahan beracun menyumbang 870.000 kematian.
JOHANES GALUH BIMANTARA
Asap dari kegiatan peleburan timah rumahan di Jalan Inspeksi Cakung Drain, Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (12/9/2019).
Asia Tenggara
Untuk daerah geografis, penurunan kematian akibat polusi tradisional sejak tahun 2000 (polusi udara rumah tangga dari bahan bakar padat dan air yang tidak aman) paling nyata terjadi di Afrika. Hal ini dapat dijelaskan dengan perbaikan penyediaan air dan sanitasi, antibiotik dan perawatan, serta bahan bakar yang lebih bersih.
Namun, penurunan angka kematian ini diimbangi dengan peningkatan substansial dalam kematian akibat paparan polusi industri, seperti polusi udara ambien, polusi timbal, dan bentuk polusi kimia lainnya, di semua wilayah selama 20 tahun terakhir. Peningkatan polusi dari sektor industri terutama terlihat di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Polusi udara ambien bertanggung jawab atas 4,5 juta kematian pada 2019, naik dari 4,2 juta kematian pada 2015 dan 2,9 juta pada 2000. Kematian akibat polutan kimia berbahaya meningkat dari 0,9 juta pada 2000, menjadi 1,7 juta pada 2015, menjadi 1,8 juta pada 2019, dengan 900.000 kematian disebabkan oleh polusi timbal pada tahun 2019.
Meningkatnya polusi udara ambien, meningkatnya polusi kimia, populasi yang menua, dan meningkatnya jumlah orang yang terpapar polusi merupakan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas peningkatan jumlah kematian ini.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kondisi udara di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019). Kota metropolitan Jakarta masih menjadi salah satu kota di dunia dengan udara paling berpolusi.
Meningkat 66 persen
Laporan ini juga menyebutkan, secara keseluruhan, kematian akibat polusi modern telah meningkat 66 persen dalam dua dekade terakhir, dari perkiraan 3,8 juta kematian pada tahun 2000 menjadi 6,3 juta kematian pada tahun 2019. Angka kematian akibat polutan kimia kemungkinan akan meningkat karena hanya sejumlah kecil bahan kimia yang diproduksi dalam perdagangan telah diuji secara memadai untuk keamanan atau toksisitas.
Para peneliti juga menghitung, kematian berlebih akibat polusi telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 4,6 triliun dollar AS pada 2019, setara dengan 6,2 persen dari output ekonomi global. Studi ini juga mencatat ketidakadilan dalam polusi, dengan 92 persen kematian terkait polusi, dan beban terbesar dari kerugian ekonomi polusi, terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Terkait situasi ini, para peneliti membuat delapan rekomendasi. Beberapa di antaranya, menyerukan dibentuknya panel sains/kebijakan yang independen terkait polusi, semacam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Selain itu, mereka mendorong peningkatan pendanaan untuk pengendalian polusi dari pemerintah, donor independen dan filantropi, serta peningkatan pemantauan polusi dan pengumpulan data.
KOMPAS/PRIYAMBODO
Sebuah bajaj menembus asap tebal di Jalan Manggarai Utara 2, Jakarta Selatan, Kamis (4/9/2022). Asap dari pengasapan permukiman padat di bantaran Sungai Ciliwung tersebut mengganggu pandangan dan membahayakan pengendara yang melintas.
Organisasi internasional juga perlu menyetujui dan membangun hubungan yang lebih baik antara ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk polusi, seperti iklim dan keanekaragaman hayati, awalnya untuk bahan kimia, limbah, dan polusi udara.
”Polusi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati terkait erat. Keberhasilan pengendalian ancaman bersama ini memerlukan kolaborasi ilmu-kebijakan formal yang didukung secara global untuk menginformasikan intervensi, memengaruhi penelitian, dan memandu pendanaan," tulis para peneliti.