Multisemesta jadi latar film "Doctor Strange in the Multiverse of Madness" yang tayang di bioskop Indonesia sejak awal Mei 2022. Secara ilmiah, multisemesta masih jadi hipotesis yang belum bisa dibuktikan keberadaannya.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Film Doctor Strange in the Multiverse of Madness (DSMM) tayang di Indonesia sejak awal Mei 2022. Sesuai judulnya, film terbaru dari Marvel Cinematic Universe (MCU) itu menjadikan multiverse atau multisemesta sebagai latar certa. Konsep multisemesta juga digunakan dalam film Spider-Man: No Way Home (2021).
Gabungan teknologi, kekuatan supranatural alias sihir, imajinasi hingga perjalanan antarsemesta menjadi daya tarik DSMM. Perpindahan antarsemesta seolah menjadi hal nyata dan mudah dilakukan. Padahal, konsep multisemesta masih menjadi hipotesis yang belum bisa dibuktikan, memiliki banyak model, hingga masih diperdebatkan ahli.
Secara sederhana, multisemesta berarti ada banyak semesta, bahkan sampai tak terhingga. Alam semesta bukan tunggal, seperti yang ditempati manusia saja. Nama multisemesta pun beragam, mulai dari dunia pararel, semesta alternatif, realitas kuantum, hingga dimensi alternatif.
Konsep banyak alam semesta itu setidaknya sudah digagas filsuf Yunani Chrysippus pada abad ketiga masehi. "Namun, pijakan sainsnya baru ada di era modern ini," kata dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung Ferry M Simatupang, Selasa (17/5/2022).
Landasan sains multisemesta mulai berkembang tahun 1950-an, salah satunya dikembangkan Erwin Schrodinger yang mengenalkan konsep superposisi kuantum. Dasar ilmiah itu juga dilengkapi landasan matematis dan diterapkannya hukum sebab-akibat sebagai konsekuensi keberadaan multisemesta hingga memperkukuh konsep multisemesta.
Seiring perkembangannya, konsep multisemesta ini juga menjadi kajian banyak bidang keilmuan, mulai dari filsafat, fisika teoritis, kosmologi, astronomi, matematika, psikologi transpersonal, hingga sastra dan seni.
Menurut Ferry, model multisemesta yang digambarkan dalam DSMM adalah multisemesta yang diklasifikasikan kosmolog Max Tegmark sebagai level III atau disebut model interpretasi banyak dunia (many-world interpretation/MWI).
Dalam model MWI, saat semesta berhadapan dengan sebuah pilihan dengan berbagai kemungkinan, maka semesta akan terpecah menjadi semesta baru sebanyak jumlah kemungkinan pilihan yang tersedia. Setiap pecahan alam semesta baru itu akan jadi semesta utuh dengan satu jalur sejarah tersendiri.
Jika dirunut dari rangkaian film MCU, model MWI itu tergambarkan dalam film Iron Man (2008) saat Tony Stark mendapat serangan granat di awal film. Serangan itu membuat Stark menghadapi dua kemungkinan, mati atau selamat. Saat itu, semesta pun terpecah dua.
Semesta pertama memiliki Stark yang selamat dan akhirnya menjadi Iron Man dan semesta kedua Stark tidak bisa diselamatkan hingga semesta itu tidak mengeal Iron Man. Semesta kedua itu menjadi semesta 838 yang digambarkan dalam DSMM karena di semesta ini tidak ada Iron Man sebagai anggota Illuminati.
Luke Barnes, dosen Fisika Universitas Western Sydney, Australia di The Conversation, 6 Mei 2022 menulis, konsep multisemesta dalam DSMM terlihat sangat liar. Namun, dalam perspektif ilmiah, multisemesta itu justru sangat umum atau biasa.
Alam semesta yang kita tempati saat ini dibangun atas proton, neutron, elektron, cahaya yang membuat semesta kita diisi oleh galaksi, bintang, dan planet dengan segala jenis unsur di dalamnya serta membentuk manusia.
Jika elektron yang ada terlalu berat, atau gaya yang menyatukan inti atom terlalu lemah, maka materi semesta itu tidak bisa saling terikat, apalagi bisa membentuk sel hidup. Campuran berbagai elemen yang tidak tepat juga tidak akan menciptakan semesta seperti semesta kita.
"Secara ilmiah, semesta lain akan memiliki bahan pembentuk yang berbeda. Sebagian besar menjadi semesta yang mati dan hanya sedikit semesta yang bisa membentuk kehidupan," tulisnya.
Teori inflasi abadi
Dalam teori inflasi abadi, dentuman besar atau big bang menandai terbentuknya satu alam semesta. Dalam perjalannnya, semesta yang terbentuk ada banyak. Masing-masing semesta itu terbentuk serta diatur dengan hukum, energi, gaya hingga konstanta yang berbeda hingga realitasnya pun tidak sama.
Menurut Ferry, alam semesta tidak terbentuk agar manusia bisa hidup di dalamnya. Multisemesta itu terbentuk acak dengan berbagai kemungkinannya. Semesta kita memiliki manusia karena proses yang berlangsung didalamnya memungkinkan terbentuknya manusia.
Akan tetapi, semesta yang lain kondisinya bisa berbeda. Semesta lain bisa saja tidak memiliki bintang dan galaksi atau hanya berupa awan hidrogen saja karena tidak memiliki gravitasi yang cukup untuk membentuk bintang. Tidak adanya bintang membuat unsur berat pun tidak terbentuk di semesta tersebut.
Situasi itu mirip dengan proses air mendidih yang memunculkan gelembung-gelembung udara. Setiap gelembung itu menandakan peristiwa inflasi yang membentuk satu alam semesta. Sebagian gelembung ada yang kemudian berkembang menjadi semesta mirip semesta kita, tetapi banyak pula yang gagal.
Perpindahan antarsemesta seolah menjadi hal nyata dan mudah dilakukan. Padahal, konsep multisemesta masih menjadi hipotesis yang belum bisa dibuktikan, memiliki banyak model, hingga masih diperdebatkan ahli.
Sementara itu, menurut kosmolog Universitas Negeri Arizona, Amerika Serikat Heling Deng, seperti dikutip Livescience, 24 Agustus 2021, proses inflasi pada berbagai semesta itu tidak berakhir berbarengan. Semesta kita telah berhenti berinflasi sejak 14 miliar tahun lalu, tetapi semesta lain masih ada yang mengembangkan inflasi hingga kini.
Realitas berbeda yang ada pada setiap semesta itu sesuai dengan konsep bahwa masing-masing alam semesta harus terisolasi. Dalam konteks ini, maka hukum termodinamika berlaku sehingga tidak ada materi atau energi yang bisa keluar dari atau masuk ke dalam semesta lain.
"Meski terisolasi, adanya jejak interaksi antarsemesta sangat mungkin terjadi," tambahnya. Jejak itu terbentuk akibat 'tabrakan' antarsemesta hingga memicu terjadinya distorsi nilai gelombang mikro kosmik latar belakang atau cosmic microwave background (CMB) yang merupakan sisa-sisa dari dentuman besar di awal semesta sehingga harusnya nilainya sama di seluruh semesta. Anomali nilai CMB ini menjadi bukti adanya multisemesta.
Karena saling terisolasi, manusia juga tidak mungkin berpindah antarsemesta, seperti yang digambarkan dalam film. Kalaupun bisa berpindah ke semesta lain, manusia harus bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya, tidak cukup dengan melafal mantra seperti dalam film DSMM. Namun, teori relativitas khusus Albert Einstein telah mengunci bahwa tidak ada benda apapun yang bisa menandingi kecepatan cahaya.
Sebagian ahli berteori bahwa untuk berpindah antarsemesta bisa dilakukan dengan memasuki lubang hitam (black hole) hingga mencapai singularitas, melintasi lubang cacing, hingga akhirnya keluar di semesta lain. Namun, lubang cacing ini bukan sesuatu yang terbentuk di alam hingga sepertinya teknologi manusia harus bisa mewujudkannya.
Namun, untuk menguji teknologi manusia sekarang untuk masuk ke lubang hitam juga belum memungkinkan. Model teknologi yang ada sekarang belum memungkinkan. Setiap benda yang telah melewati batas cakrawala peristiwa (event horizon) atau batas tertarik atau tidaknya sebuah benda ke dalam lubang hitam, maka dia tidak akan bisa mengirimkan informasi apapun ke luar lubang hitam.
Astrofisikawan Ethan Siegel dalam tulisannya di Forbes, 17 Juli 2018 menegaskan ide multisemesta bukanlah teori ilmiah yang berdiri sendiri. Konsep ini adalah konsekuensi teoretis dari hukum fiiska yang paling dipahami saat ini. Namun, teori ini tetap memiliki masalah besar karena tidak bisa memprediksi apa yang telah kita amati.
Sains dan teknologi sekarang memang belum bisa membuktikan keberadaan multisemesta dan memahami 'sihir' perpindahan antarsemesa seperti dalam film DSMM. "Namun, di masa depan, tidak menutup kemungkinan sains akan membuktikan multisemesta dan membuat cara orang agar bisa berpindah antarsemesta," ujar Ferry.