Membangun Kembali Benteng Peredam Risiko Bencana Berbasis Kearifan Lokal
Tingginya ancaman bencana di Indonesia dibarengi dengan kekayaan kearifan lokal dalam meredam dampaknya. Kearifan lokal itu perlu dihidupkan lagi sembari mentransformasikannya dengan pengetahuan dan teknologi terkini.
Beragam kearifan lokal dalam merespons bencana tersebar di penjuru Nusantara. Namun, pengetahuan tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat saat berinteraksi dengan alam tersebut telah banyak ditinggalkan. Kini, saatnya membangun kembali kearifan lokal di masa lampau itu sebagai benteng peredam risiko bencana di masa depan.
Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, longsor, dan banjir telah berulang kali melanda dan merenggut banyak korban jiwa.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 5.402 kejadian bencana sepanjang 2021. Jika dirata-ratakan, dalam sehari terjadi 14 kali bencana. Akibat bencana itu, 728 orang meninggal serta lebih dari 150.000 rumah dan 4.400 fasilitas umum rusak berat.
Beberapa bencana, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung api, memang tidak bisa dicegah. Namun, praktik hidup masyarakat di masa lalu telah melahirkan berbagai kearifan lokal untuk berdampingan dengan kerawanan bencana itu.
Bentuknya sangat beragam, mulai dari konstruksi bangunan, penataan ruang, toponimi atau penamaan tempat, hingga berbasis seni. Praktik ini perlu dihidupkan kembali untuk mengurangi dampak bencana yang selalu mengintai.
Pakar arsitektur yang juga anggota Ikatan Arsitek Indonesia, Mohammad Cahyo Novianto, mengatakan, dalam beberapa kejadian gempa, sering kali bangunan tradisional berbahan kayu lebih tahan dibandingkan bangunan modern. ”Bukan berarti bangunan kekinian lebih lemah, tetapi karena tidak dibangun dengan standar yang benar. Sementara bangunan kayu itu dibangun dari tradisi turun-temurun yang mengadopsi pengalaman kebencanaan,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar BNPB jelang Forum Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR), Jumat (13/5/2022).
Baca Juga: Kegagapan Mitigasi di Atas ”Urat Bumi”
Cahyo menuturkan, pengetahuan konstruksi bangunan tradisional itu dituturkan dari generasi ke generasi. Oleh karenanya, pengetahuan itu berpotensi memudar, bahkan hilang sehingga tidak lagi diterapkan.
”Kita (Indonesia) punya banyak pengetahuan (kearifan lokal) atau artefak di lapangan. Tradisi hidupnya juga masih ada. Namun, untuk dilanjutkan ke riset, membuktikan secara empiris, masih sangat jarang,” tuturnya.
Bangunan tradisional di sejumlah daerah telah membuktikan daya tahannya terhadap guncangan gempa. Lobo, rumah adat di Sulawesi Tengah, misalnya, memiliki respons yang baik terhadap gempa. Sambungan setiap konstruksinya menjadi lentur saat merespons guncangan.
Secara struktur, bangunan kayu tidak rigid. Saat terjadi gempa, bangunan akan meredam getaran lateral sehingga lebih tahan. Konstruksi bisa bergeser, tetapi dapat diperbaiki atau dirakit kembali.
Menurut Cahyo, teknik serupa telah diterapkan di Jepang dengan transformasi pengetahuan konstruksi lebih modern. Data tertulis dan riset yang memadai membuat Jepang dapat menerapkannya.
”Arsitektur kayu di masa lampau sudah mempunyai pengetahuan tentang respons gempa. Tugas generasi saat ini bagaimana membuat pengetahuan itu menjadi kekinian untuk menjawab tantangan zaman,” katanya.
Rumah tradisional juga cenderung menggunakan atap berbahan ringan, seperti dari dedaunan. Hal ini mengurangi risiko terluka saat atap roboh akibat diguncang gempa. Jadi, sejak dahulu, masyarakat adat telah menghindari penggunaan material berat di bagian atas bangunan.
”Dengan begitu, mereka tidak berisiko lebih besar terkena dampak gempa. Sebab, banyak korban meninggal saat gempa akibat tertimpa reruntuhan bangunan,” katanya.
Kearifan lokal masyarakat tradisional lainnya diwujudkan dalam menentukan tempat tinggal atau permukiman. Hal ini mempertimbangan riwayat kejadian bencana pada suatu lokasi di masa sebelumnya.
Cahyo mencontohkan saat gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah pada 2018. Ia mengatakan, kawasan yang dilanda likuefaksi di Poso merupakan area yang di masa lampau tidak dijadikan permukiman.
Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, longsor, dan banjir telah berulang kali melanda dan merenggut banyak korban jiwa.
”Oleh masyarakat dahulu hanya dijadikan ladang dan lahan pertanian. Tidak untuk dihuni. Pengetahuan itu tidak diteruskan dan hilang. Ketika terjadi urbanisasi, mereka menghuni daerah yang secara tradisi tidak untuk dihuni,” paparnya.
Kearifan lokal perlu digaungkan lagi sehingga menjadi literasi kebencanaan. Jangan sampai hal itu baru disadari setelah masyarakat menjadi korban bencana dan menyebabkan kerugian besar.
”Pengetahuan kebencanaan seharusnya diajarkan sejak dini. Kurikulum kita belum banyak mengadopsi pengetahuan lokal itu,” ucapnya.
Di Jawa Barat, salah satu kearifan lokal kebencanaan diterapkan melalui sistem pemanfaatan lahan atau hutan. Di sejumlah kampung adat, masyarakatnya membagi kawasan hutan menjadi tiga kategori, yaitu leuweung (hutan) larangan di bagian puncak, leuweung tutupan di bagian tengah, dan leuweung baladahan (pertanian) di kaki gunung.
Baca Juga: Bahaya Bisa Datang Kapan Saja di Tanah Rawan Bencana
Leuweung larangan sering diartikan sebagai tempat peresapan dan penyimpan air. Leuweung tutupan tidak untuk digarap, tetapi dapat diakses atas izin pemuka adat. Sementara leuweung baladahan difungsikan untuk bertani dan berkebun sebagai penghidupan masyarakat.
”Pembatasan-pembatasan pemanfaatan lahan pada zaman dahulu itu seperti pola konservasi saat sekarang,” ujar tim pakar Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Taufan Suranto.
Taufan menambahkan, pengetahuan mengantisipasi banjir bandang juga telah dipahami masyarakat tradisional dengan mengamati kondisi air sungai saat hujan lebat di hulu. Jika air tetap bening, kemungkinan besar terjadi penyumbatan karena debit air yang besar tertahan oleh longsoran.
”Kalau dieksplorasi, semua kearifan lokal itu, akan ketemu benang merahnya. Masyarakat kita dari dahulu sudah sangat paham tentang risiko bencana dan cara beradaptasinya,” katanya.
Ahli madya pada Direktorat Sistem Penanggulangan Bencana BNPB M Robi Amri menuturkan, terdapat sejumlah kearifan lokal kebencanaan yang masih diterapkan hingga saat ini. Ia mencontohkan pengetahuan lokal tentang smong yang menyelamatkan penduduk Pulau Simeulue saat tsunami di Samudra Hindia pada 2004.
”Budaya itu meningkatkan kewaspadaan. Jika terjadi gempa besar, warga akan berlari ke dataran tinggi untuk menyelamatkan diri. Ini salah satu kearifan lokal yang masih tumbuh hingga saat ini,” ujarnya.
Kisah tentang smong di Pulau Simeulue itu menjadi bukti pentingnya pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dalam mitigasi bencana. Penelitian Alfi Rahman dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Universitas Syiah Kuala dan tim menyebutkan, narasi smong muncul setelah gempa dan tsunami melanda Simeulue pada 4 Januari 1907 (Kompas, 29/11/2018).
Lebih dari separuh penduduk di pulau seluas 2.051 kilometer persegi ini tewas saat itu. Mereka yang selamat lalu menuturkan tragedi smong 1907 itu dalam berbagai cara, mulai dari nyanyian hingga dongeng menjelang tidur.
Menurut Robi, semua pihak perlu terlibat dalam mendokumentasikan catatan kearifan lokal kebencanaan di Tanah Air. Catatan itu tidak hanya tersebar di sejumlah daerah, tetapi juga hingga luar negeri.
Sejak 2019, BNPB telah mendokumentasikan sekitar 2.100 catatan sejarah terkait kebencanaan. Pendokumentasian bertujuan agar lebih mudah diakses untuk dijadikan literasi kebencanaan bagi semua kalangan.
Baca Juga: Kearifan Lokal Indonesia dalam Mitigasi Bencana
”Banyak catatan dan pembelajaran di masa lampau. Namun, budaya respons kebiasaan masyarakat dalam menghadapi ancaman (bencana) itu masih terserak,” ujarnya.
Tingginya ancaman bencana di Indonesia dibarengi dengan kekayaan kearifan lokal dalam meredam dampaknya. Praktik kearifan lokal itu perlu dihidupkan kembali sembari mentransformasikannya dengan pengetahuan dan teknologi terkini.