Hentikan Bakar Fosil, Hindari Krisis Iklim dan Kesehatan
Pembakaran energi fosil menjadi sumber emisi gas rumah kaca utama dan polusi udara yang membahayakan. Untuk mengatasi krisis iklim dan kesehatan, penggunaan energi fosil harus dihentikan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis iklim yang sudah melanda tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia. Ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil, yang menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan juga polusi udara, menjadi sumber masalah utama saat ini dan karena itu harus segera dihentikan.
Dalam rangka Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada Kamis (7/4/2022), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak para pemimpin dunia dan semua orang untuk melindungi kesehatan serta mengurangi krisis iklim sebagai bagian dari kampanye ”Planet Kita, Kesehatan Kita”.
”Krisis iklim adalah krisis kesehatan: pilihan tidak berkelanjutan yang membunuh planet kita, juga membunuh orang,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangan resmi.
Untuk mengatasi krisis iklim dan kesehatan ini, menurut Tedros, kita membutuhkan solusi transformatif untuk menghentikan ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil serta menata kembali ekonomi dan masyarakat yang berfokus pada kesejahteraan.
Laporan WHO yang dirilis pada Senin (4/4/2022) menyebutkan, 99 persen populasi di dunia saat ini menghirup udara yang tidak sehat, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil. Laporan ini didasarkan pada pemantauan kualitas udara di 6.000 kota di 117 negara.
Dari 117 negara ini, udara di 17 persen kota di negara berpenghasilan tinggi berada di bawah Pedoman Kualitas Udara WHO untuk PM 2,5 atau PM 10. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, hanya 1 persen kota yang memenuhi ambang batas yang direkomendasikan.
Secara global, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah masih mengalami paparan lebih besar terhadap tingkat PM yang tidak sehat dibandingkan dengan rata-rata global, tetapi pola NO2 (nitrogen dioksisa) hanya ada sedikit perbedaan. Secara total, pengukuran menunjukkan bahwa hanya 23 persen orang menghirup konsentrasi rata-rata tahunan NO2 yang memenuhi ambang batas aman.
Sebelumnya, laporan tahunan yang dirilis IQAir pada Maret 2022 menyebutkan, Indonesia menempati peringat ke-17 dari 117 negara dengan cemaran PM 2,5 tertinggi di dunia, sedangkan Jakarta menempati peringkat ke-12 ibu kota negara paling tercemar. Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 ini juga menemukan bahwa hanya 3 persen kota dan tidak ada satu pun negara yang memenuhi pedoman kualitas udara tahunan PM 2,5 WHO terbaru.
”Setelah selamat dari pandemi, tidak dapat diterima jika tetap ada 7 juta kematian dan tahun-tahun kesehatan yang hilang yang tak terhitung jumlahnya karena polusi udara, padahal itu dapat dicegah,” kata Maria Neira, Kepala Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Kesehatan WHO. ”Namun, terlalu banyak investasi yang masih tenggelam ke dalam lingkungan yang tercemar daripada di udara yang bersih dan sehat.”
Laporan ini dirilis setelah WHO memperbarui basis data kualitas udara, termasuk pengukuran tanah dari konsentrasi nitrogen dioksida (NO2), polutan perkotaan yang umum, dan prekursor partikulat serta ozon. Ini juga mencakup pengukuran partikel dengan diameter sama atau lebih kecil dari 10 mikron (PM 10) atau 2,5 mikron (PM 2,5). Kedua kelompok pencemar tersebut terutama berasal dari aktivitas manusia yang berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil.
Padahal, dampak polusi udara terhadap tubuh manusia telah berkembang pesat dan menunjukkan kerusakan signifikan yang bisa disebabkan bahkan oleh polutan udara tingkat rendah. Partikulat, terutama PM 2,5, mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan memasuki aliran darah, menyebabkan gangguan kardiovaskular, serebrovaskular (stroke), dan pernapasan. Ada bukti yang muncul bahwa partikel berdampak pada organ lain dan juga menyebabkan penyakit lain.
Sementara NO2 dikaitkan dengan penyakit pernapasan, terutama asma, yang menyebabkan gejala pernapasan (seperti batuk, mengi, atau kesulitan bernapas), rawat inap di rumah sakit, dan kunjungan ke ruang gawat darurat.
Ubah gaya hidup
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, peringatan Hari Kesehatan Sedunia ini membuat kita berupaya maksimal agar semua manusia di muka bumi dapat hidup dengan udara, air, dan makanan yang bersih dan sehat setiap waktu. Untuk itu, ekonomi dunia dan negara lebih berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan manusia.
”Harapannya, manusia dapat mengatur dan mengendalikan kesehatan dirinya dan kesehatan planet tempat tinggal kita bersama,” katanya.
Tjandra menambahkan, untuk membuat dunia lebih sehat, kita harus mengubah gaya hidup dengan menggunakan energi yang bersih dan sehat. ”Negara-negara di dunia harus mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kualitas udara, juga diminta untuk melakukan monitoring pencemaran dengan baik, serta mengidentifikasi sumber-sumber pencemar udara dan mengatasinya,” ujarnya.
Penyediaan transportasi umum serta tempat jalan kaki dan bersepeda juga harus terus digalakkan. Sementara pengelolaan limbah di sektor industri harus diawasi agar tidak memengaruhi kesehatan masyarakat di sekitarnya. ”Juga ditekankan perlunya upaya serius untuk mengatasi kebakaran hutan di berbagai belahan dunia ini. Bahwa polusi udara perlu jadi bagian penting kurikulum pendidikan petugas kesehatan dari semua tingkatannya,” ucapnya.