Untuk mencegah dampak buruk bagi kesehatan manusia berlanjut di masa depan, Indonesia harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sesegera mungkin dan mendukung pengembangan transportasi publik massal beremisi rendah
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Studi berbasis pantauan satelit di tujuh lokasi dari lima kota besar dan dua lokasi sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara di Indonesia menunjukkan, polusi nitrogen dioksida memburuk sepanjang April-Juni 2021. Memburuknya polusi udara ini meningkatkan risiko kesehatan publik.
Hasil pengukuran nitrogen dioksida (NO2) di tujuh lokasi di Indonesia ini disampaikan Aidan Farrow, peneliti dari Greenpeace International Science Unit dalam diskusi daring pada Senin (18/10). Dalam pengukuran ini, tim peneliti menganalisis pengamatan satelit terhadap polusi udara nitrogen dioksida (NO2) di tujuh lokasi di Indonesia, yaitu Jakarta, sekitar PLTU Cilegon PTIP (PT Indorama Petrochemicals), PLTU Suralaya, Bandung, Surabaya, Medan dan Semarang pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.
Polusi udara dari NO2 merupakan faktor risiko utama untuk kondisi kesehatan yang buruk, termasuk kematian dini.
“Polusi udara dari NO2 merupakan faktor risiko utama untuk kondisi kesehatan yang buruk, termasuk kematian dini. Untuk mencegah dampak buruk bagi kesehatan manusia berlanjut di masa depan, Indonesia harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sesegera mungkin dan mendukung pengembangan transportasi publik massal berorientasi emisi rendah hingga nol emisi,” kata Farrow.
Farrow mengatakan, pengamatan NO2 berbasis satelit diambil melalui sensor Tropomi pada satelit Sentinel-5P (Copernicus, 2018). Meskipun pengamatan satelit saja tidak memungkinkan kita untuk menentukan konsentrasi polusi yang sebenarnya dekat dengan tanah, pengukuran ini biasa dipakai untuk mengetahui polusi udara dekat permukaan.
Hasilnya, pada April-Juni 2020, jumlah kolom atmosfer NO2 menurun dibandingkan tahun sebelumnya di lima kota di Indonesia yang diteliti, yaitu Jakarta -35 persen, Bandung -20 persen, Surabaya -11 persen, Medan -26 persen, dan Semarang -24 persen. Level NO2 di sekitar PLTU Suralaya lebih rendah 12 persen di 2020 dibandingkan tahun 2019, sekalipun kadarnya masih di atas kadar 2018. Sebaliknya, kadar NO2 di sekitar PLTU Cilegon PTIP meningkat sebesar 9 persen pada periode yang sama.
Namun demikian, selama April-Juni 2021, jumlah kolom atmosfer NO2 meningkat di semua lokasi ini dibandingkan tahun 2020. Jakarta +54 persen, Bandung +34 persen, Surabaya +20 persen, Medan +9 persen, Semarang +31 persen, PLTU Cilegon PTIP +31 persen, dan PLTU Suralaya +39 persen.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, pelonggaran mobilitas warga selama April-Juni tahun ini, telah kembali meningkatkan polusi NO2 di lima kota besar. Catatan penting lainnya, pengamatan kami di dua lokasi PLTU di Banten, tingkat polusinya rata-rata terus meningkat selama beberapa tahun terakhir.
"Ini ancaman ganda, baik dari transportasi dan pembangkit listrik batu bara, bagi masyarakat sekitar khususnya kelompok rentan,” kata Bondan.
Bondan juga mengritisi upaya banding yang dilakukan pemerintah pusat terhadap gugatan 32 warga negara terhadap pencemaran udara di Jakarta yang sudah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 dengan putusan dikabulkan sebagian. Padahal salah satu putusan hakim terhadap Presiden Jokowi yaitu melindungi kesehatan masyarakat termasuk kelompok sensitif, dengan cara mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional, sangat penting untuk dilakukan segera, mengingat dampak buruk polusi udara.
Dalam diskusi ini, dokter paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik mengatakan, orang yang tinggal di daerah dengan polusi udara melebihi ambang berisiko mengalami gangguan kesehatan. Misalnya, pada ibu hamil berisiko bayinya lahir dengan berat badan lebih rendah. "Anak-anak akan mengalami gangguan pertumbuhan paru, gangguan pertumbuhan secara keseluruhan, dan mudah terjadi risiko asma,” kata Feni.
Dampak buruk ini, menurut Feni juga akan terbawa hingga dewasa dengan tingginya risiko asma, penyakit jantung koroner, storke, kanker paru, bronkitis kronis, hingga diabetes. Sedangkan bagi orang lanjut usia yang terdampak polusi udara fungsi parunya akan menurun sehingga kualitas hidup sehari-hari akan berkurang dan memiliki resiko kanker paru.
“Bayi dan balita, orang tua, dan orang dengan penyakit kardiorespirasi kronik adalah kelompok-kelompok retan yang sangat terpengaruh oleh pencemaran udara,” kata Feni.
Mengantisipasi dampak buruk polusi udara ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan lalu telah mengeluarkan pedoman Kualitas Udara Global (Air Quality Guidelines/AQGs) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang lebih ketat.
WHO juga menyebutkan adanya bukti kuat bagaimana polusi udara memengaruhi berbagai aspek kesehatan. Paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan tujuh juta kematian dini per tahun. Untuk alasan itu, WHO memperingatkan bahwa polusi udara yang melebihi pedoman yang ditetapkan ini bakal meningkatkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan publik. Sebaliknya, mematuhinya dapat menyelamatkan jutaan nyawa.
Dalam pedoman baru ini, WHO menetapkan ambang polusi partikel pencemar (PM) 2,5 maksimal 15 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dalam periode 24 jam dan PM 10 sebesar 45 µg/m3 dalam periode 24 jam. Sedangkan untuk ozone (O2) sebesar 100 µg/m3 dalam 8 peropde 8 jam, nitrogen dioksida (NO2) sebesar 25 µg/m3 dalam periode 24 jam, sulfur dioksida (SO2) 40 µg/m3 dalam periode 24 jam, dan karbon monoksida (CO) 40 µg/m3 dalam periode 24 jam.
Dibandingkan pedoman tahun 2005, ambang PM 2,5 telah dikurangi separuhnya, untuk PM 10 dikurangi 25 persen. Sedangkan batas baru NO2, yang umumnya dihasilkan dari mesin diesel, sekarang 75 persen lebih rendah.