Dua Subtipe Tuberkulosis Berbeda Diidentifikasi, Berimplikasi pada Terapi
Para peneliti menemukan dua subtipe utama atau endotipe tuberkulosis yang dibedakan menurut respons imun seseorang terhadap infeksi. Studi ini bisa meningkatkan pilihan terapi yang dipersonalisasi untuk penyakit ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti menemukan dua subtipe utama atau endotipe tuberkulosis yang dibedakan menurut respons imun seseorang terhadap infeksi. Satu endotipe memiliki risiko kegagalan pengobatan dan kematian yang lebih tinggi daripada yang lain.
Temuan terbaru ini merupakan kolaborasi dari para peneliti di Baylor College of Medicine dan Baylor and Texas Children’s, bekerja sama dengan German Center for Infection Research. Kajian yang diterbitkan dalam European Respiratory Journal ini dapat meningkatkan pilihan pengobatan yang dipersonalisasi untuk penyakit ini di masa depan.
”Kami melakukan penelitian ini dengan asumsi bahwa tuberkulosis bukanlah penyakit yang seragam, bahwa ada banyak jalur yang dapat digunakan seseorang untuk mengembangkan kondisi tersebut. Hasilnya tergantung pada respons imun yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi,” kata Andrew DiNardo, asisten profesor penyakit menular kedokteran di Baylor and Texas Children’s, dalam keterangan tertulis pada Kamis (31/3/2022).
Bervariasi
Menurut DiNardo, perjalanan penyakit orang yang tertular tuberkulosis (TBC) bisa sangat bervariasi. Kebanyakan orang tidak menjadi sakit setelah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Namun, orang dapat mengembangkan pneumonia kronis dan beberapa juga memiliki penyakit pada kelenjar getah bening, tulang, atau sistem saraf pusat. Beberapa pasien TBC memiliki respons berlebihan sehingga memperburuk kondisi.
”Penemuan endotipe berdasarkan profil ekspresi gen telah merevolusi pemahaman kami tentang kanker dan terapi pasien yang lebih presisi. Kami berhipotesis bahwa pendekatan serupa dapat mengidentifikasi endotipe TBC berbeda dan relevan secara klinis, dan hasilnya melebihi harapan kami,” kata penulis senior Cristian Coarfa, profesor biologi molekuler dan seluler di Baylor dan anggota Baylor’s Dan L Duncan Comprehensive Cancer Center.
DiNardo mengatakan, para peneliti di lapangan sedang mencari terapi baru untuk penyakit ini, karena terapi saat ini membutuhkan pengobatan antibiotik selama enam bulan. Untuk mengidentifikasi pengobatan baru, para peneliti telah mempelajari respons kekebalan manusia terhadap bakteri tuberkulosis untuk lebih memahami apa yang diperlukan untuk membangun kekebalan protektif terhadap penyakit ini. Pendekatan ini dapat mengarah pada pengembangan terapi pengobatan presisi yang dipersonalisasi.
Kami melakukan penelitian ini dengan asumsi bahwa tuberkulosis bukanlah penyakit yang seragam, bahwa ada banyak jalur yang dapat digunakan seseorang untuk mengembangkan kondisi tersebut.
Dipimpin oleh Coarfa, tim menerapkan teknik bioinformatika mutakhir untuk menghindarkan bias dalam menganalisis kumpulan data pasien yang besar. Mereka kemudian mencari tanggapan kekebalan terhadap tuberkulosis dan mengidentifikasi dua kelompok utama atau endotipe penyakit.
Dua subtipe
Dalam kajian ini, peneliti memeriksa 435 pasien tuberkulosis dan 533 kontrol tanpa gejala. Para peneliti kemudian melihat endotipe spesifik ini dalam dua kelompok pasien yang berbeda.
Endotipe A ditandai dengan peningkatan ekspresi gen yang berhubungan dengan peradangan dan kekebalan serta penurunan metabolisme dan proliferasi. Sebaliknya, endotipe B telah meningkatkan aktivitas jalur metabolisme dan proliferasi.
Peneliti menyimpulkan, satu endotipe memiliki risiko kegagalan pengobatan dan kematian yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan menggunakan model komputer, mereka kemudian memperkirakan jenis obat apa yang dapat digunakan untuk mengobati setiap endotipe tuberkulosis.
”Ketika kami membandingkan obat yang berbeda sebagai terapi pribadi yang potensial, kami menemukan bahwa satu terapi dapat menjadi tidak penting atau merugikan satu subtipe TB, tetapi bermanfaat bagi yang lain,” kata DiNardo.
Jan Heyckendorf, anggota tim peneliti ini, mengatakan, hasil penelitian ini diharapkan membuka jalan bagi terapi yang dipersonalisasi, dengan potensi besar untuk meningkatkan hasil pengobatan TB.
Dengan temuan ini, menurut dia, para peneliti sekarang bisa menerapkan uji klinis untuk mengobati tuberkulosis melalui pendekatan terapi pribadi bertingkat, mirip dengan pendekatan yang dilakukan ahli onkologi ketika mengobati subset kanker yang berbeda.
Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperbarui pedoman untuk pengelolaan TB, khususnya pada anak dan remaja, meliputi diagnosis, pengobatan, dan pencegahan. Dalam rekomendasi terbaru ini, pengujian diagnostik telah diperluas untuk mencakup spesimen non-invasif, seperti tinja. Dalam hal ini, diagnostik molekuler cepat direkomendasikan sebagai tes awal TB pada anak dan remaja.
Pedoman terbaru ini merekomendasikan pengurangan durasi perawatan TB terhadap anak-anak dan remaja. Mereka yang mengalami TB ringan cukup dirawat selama empat bulan, bukan lagi enam bulan, serta meningitis TB direkomendasikan rejimen enam bulan dari sebelumnya 12 bulan.
Rekomendasi yang didasarkan dari hasil uji coba internasional yang dipimpin University College London (UCL) dan dipublikasikan di The New England Journal of Medicine pada Kamis (10/3/2022) ini diharapkan dapat mengurangi biaya perawatan TB untuk anak-anak, remaja, dan keluarga mereka.