Singapura Teliti Minyak Ganggang untuk Menggantikan Minyak Sawit
Ilmuwan menemukan cara baru untuk memproduksi minyak nabati dari ganggang. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak dari ganggang ini diklaim lebih sehat.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim ilmuwan yang dipimpin oleh Nanyang Technological University, Singapura, telah menemukan cara baru untuk memproduksi minyak nabati dari ganggang. Dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak dari ganggang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh ganda, yang dapat membantu mengurangi kadar kolesterol ”jahat” dalam darah.
Minyak yang diproduksi mikroalga yang dikembangkan bekerja sama dengan para ilmuwan dari Universitas Malaya, Malaysia, juga mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh, yang telah dikaitkan dengan stroke dan penyakit terkait lainnya. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam publikasi akademik di Journal of Applied Phycology edisi Februari 2022.
Direktur Program Ilmu dan Teknologi Pangan Nanyang Technological University (NTU) William Chen dalam keterangan tertulis pada Senin (21/3/2022) mengatakan, pengembangan minyak nabati dari ganggang ini adalah upaya mereka mencari cara untuk mengatasi masalah ketergantungan pada minyak nabati yang berdampak buruk terhadap lingkungan.
”Mengungkap ini sebagai sumber makanan manusia yang potensial adalah kesempatan untuk mengurangi dampak (buruk) dari rantai pasokan makanan di planet kita,” ucap Chen.
Menurut dia, minyak yang dihasilkan dari ganggang atau mikroalga ini dapat dimakan sebagaimana minyak sawit. Metode yang baru ditemukan ini akan berfungsi sebagai alternatif yang lebih sehat dan ramah lingkungan.
Dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak yang berasal dari mikroalga ini diklaim mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh ganda, yang dapat membantu mengurangi kadar kolesterol jahat dalam darah dan menurunkan risiko seseorang terkena penyakit jantung dan stroke.
Minyak kelapa sawit selama ini minyak nabati paling populer di dunia, terdapat di hampir setengah dari semua produk makanan, dan memainkan peran sentral dalam berbagai aplikasi industri. Produksi minyak sawit untuk pasar global pada 2018 mencapai 77 juta ton, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 107,6 juta ton pada 2024.
Meski demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang cepat dinilai sebagai penyebab deforestasi besar-besaran di beberapa negara, menghancurkan habitat satwa liar asli yang terancam punah.
Metode baru
Untuk menghasilkan minyak, peneliti menambahkan asam piruvat, asam organik yang ada di semua sel hidup ke larutan ganggang Chromochloris zofingiensis dan memaparkannya ke sinar ultraviolet untuk merangsang fotosintesis. Tim NTU secara terpisah mengembangkan inovasi untuk menggantikan media kultur mikroalga dengan residu kedelai yang difermentasi sambil meningkatkan hasil biomassa mikroalga sehingga biayanya lebih murah.
Setelah 14 hari, mikroalga dicuci, dikeringkan, kemudian diolah dengan metanol untuk memecah ikatan antara minyak dan protein alga sehingga minyak dapat diekstraksi. Tim juga telah mengembangkan teknologi pemrosesan hijau untuk mengekstraksi minyak tumbuhan yang diturunkan dari mikroalga secara efisien. Untuk menghasilkan minyak nabati yang cukup untuk membuat cokelat batangan yang dibeli di toko dengan berat 100 gram diperlukan 160 gram ganggang.
Minyak yang dihasilkan dari ganggang atau mikroalga ini dapat dimakan sebagaimana minyak sawit. Metode yang baru ditemukan ini akan berfungsi sebagai alternatif yang lebih sehat dan ramah lingkungan.
Para ilmuwan mengatakan bahwa ketika produksi minyak nabati ini dilakukan dengan sinar matahari alami, alih-alih menggunakan lampu ultraviolet, akan membantu menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer dengan mengubahnya menjadi biomassa dan oksigen melalui fotosintesis. Secara alami saat mikroalga tumbuh, ia mengubah karbon dioksida menjadi biomassa dengan relatif cepat.
Dalam studi terpisah, para ilmuwan di program Ilmu dan Teknologi Pangan NTU juga telah mengembangkan proses untuk menghasilkan bahan reaksi utama yang dibutuhkan untuk mengolah minyak mikroalga, asam piruvat. Ini dilakukan dengan memfermentasi produk limbah organik, seperti residu kedelai dan kulit buah, yang tidak hanya akan mengurangi biaya produksi, tetapi juga membantu mengurangi limbah makanan.
Selain berfungsi sebagai alternatif yang lebih hijau untuk menanam pohon kelapa sawit untuk minyak atau lemak nabati, teknik yang dikembangkan NTU juga berpotensi membantu mengurangi emisi gas rumah kaca serta limbah makanan.
Chen menambahkan, solusi yang mereka tawarkan diharapkan bisa memecahkan masalah dengan memanfaatkan konsep pembentukan ekonomi sirkular. Ini dilakukan dengan menggunakan calon produk limbah dan memasukkannya kembali ke dalam rantai makanan. Dalam hal ini, peneliti mengandalkan fermentasi, salah satu proses kunci di alam untuk mengubah bahan organik tersebut menjadi larutan kaya nutrisi, yang dapat digunakan untuk membudidayakan alga, yang tidak hanya mengurangi ketergantungan kami pada minyak sawit, tetapi juga menjaga karbon keluar dari atmosfer.
Ke depan, menurut Chen, para ilmuwan akan bekerja untuk mengoptimalkan metode ekstraksi mereka untuk meningkatkan hasil dan kualitas. Tim peneliti sejauh ini telah mendapatkan tawaran kerja sama dari beberapa produsen makanan dan minuman guna mengeksplorasi peningkatan operasi mereka dalam waktu dua tahun.
Saat ini minyak mikroalga sudah ada di pasar, tetapi belum ada pilihan untuk aplikasi makanan. Sementara untuk biaya minyak mikroalga masih lebih mahal, yaitu sekitar 2,40 dollar AS per liter, dibandingkan minyak nabati lainnya, sekitar 0,60 dollar AS. Meski demikian, biaya ini dinilai lebih disebabkan biaya pemrosesan hilir ganggang yang masih tinggi dan hasil biomassa yang rendah, yang menjadi upaya pengembangan tim NTU ke depan.
Para ilmuwan juga telah mengembangkan metode untuk menghasilkan asam piruvat, dengan memfermentasi kulit buah. Media kultur untuk mikroalga, di sisi lain, dapat dibuat dengan memfermentasi residu kacang kedelai.
Potensi gangang sebagai sumber minyak alternatif telah mengundang sejumlah peneliti dari negara lain. Sebelumnya, para ilmuwan dari Single-Cell Center, Qingdao Institute of BioEnergy and Bioprocess Technology (QIBEBT) dari Chinese Academy of Sciences (CAS), juga telah melaporkan temuannya terkait hal ini dalam jurnal Metabolic Engineering pada 3 April 2021.
Para peneliti berhasil menggabungkan ganggang penghasil minyak dengan gen dari tanaman Cuphea sehingga dapat mengubahnya menjadi pabrik sel mikroba yang dapat menghasilkan berbagai minyak dengan sifat yang berbeda. Dengan metode ini, para peneliti sekarang dapat memprogram ”pabrik” alga untuk menghasilkan asam lemak dengan panjang yang berbeda.
Mikroalga sering menjadi kandidat yang menarik sebagai ”pabrik sel” karena tingkat reproduksinya yang cepat dan kemampuannya untuk menghasilkan asam lemak dalam jumlah besar.