G20 Harus Membantu Mengatasi Ketimpangan Kesehatan Global
Sebagai Presidensi G20, Indonesia harus menjadi contoh dalam menegakkan keadilan kesehatan, baik di dalam maupun antarnegara, yang selama ini menjadi masalah besar dalam penanggulangan pandemi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa ketimpangan kapasitas kesehatan telah menjadi kelemahan kolektif dalam menanggulangi ancaman penyakit menular. Sebagai Presidensi G20, Indonesia harus menjadi contoh pemerataan kesehatan baik di dalam maupun antarnegara.
”Sekarang saatnya dekolonisasi kesehatan global untuk mengatasi ketimpangan, tidak cukup dengan menguatkan arsitektur kesehatan yang sudah ada. Sebagai Presidensi G20, Indonesia punya kesempatan untuk menyuarakan masalah dunia Selatan (negara miskin dan berkembang),” kata Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda Diah Saminarsih dalam wawancara daring, Minggu (20/3/2022).
Diah mengatakan, pandemi saat ini memperlihatkan bahwa kesehatan global dikuasai negara-negara di belahan bumi bagian Utara dan hal ini terbukti mempersulit penanganan wabah. Misalnya, distribusi vaksin yang timpang yang kemudian memicu munculnya varian baru Omicron di Afrika Selatan. Semakin lama wabah ditangani, pemulihan sosial ekonomi akan lebih lambat dilakukan.
”Negara-negara maju di Utara, sekalipun memiliki vaksin, lebih memprioriataskan untuk booster, sangat terbatas yang dibagi ke Selatan,” katanya.
Data Global Dashboard for Vaccine Equity, yang diprakarsai United Nation Development Program (UNDP), hingga 16 Maret 2022 memperlihatkan, 71,36 persen penduduk negara-negara kaya telah mendapat setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. Sementara di negara miskin baru 14,75 persen penduduknya yang mendapatkan vaksin.
Menurut Diah, melalui surat terbuka yang disampaikan saat pertemuan G20 di Roma pada Oktober 2021, Direktur Jenderal WHO berharap agar Presidensi G20 menyuarakan keadilan vaksin. ”Bukan hanya mendorong G20, tetapi negara-negara ini juga memberikan contoh. Jadi, kalau Indonesia mau memberikan warisan di tingkat global bisa jadi champion dekolonisasi kesehatan global,” katanya.
Dukungan untuk menyuarakan keadilan akses kesehatan, termasuk vaksin, ini yang masih belum terlihat nyata dalam arsitektur kesehatan global saat ini. ”Belakangan ada upaya manufacturing vaksin, seperti yang direncanakan di Afrika Selatan, tetapi ini belum jelas, apakah hanya diproduksi di sana lalu dibawa ke Eropa juga,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan, saat ini belum ada sistem yang cukup kuat untuk mengendalikan penyakit menular, termasuk juga dalam menjamin keadilan distribusi vaksin.
Menurut Tjandra, pada dasarnya setiap negara cenderung mementingkan diri sendiri selama pandemi. Misalnya, ketika gelombang varian Delta melanda India, negara produsen vaksin terbesar di dunia ini memprioritaskan produksi vaksinnya untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, pasokan kepada negara lain terhambat.
Negara-negara maju di Utara, sekalipun memiliki vaksin, lebih memprioriataskan untuk booster, sangat terbatas yang dibagi ke Selatan.
”Maka, gagasan tentang adanya hub produksi vaksin (yang diusulkan Indonesia) seharusnya juga berbagi kemampuan untuk produksi. Saat flu burung dulu, dibuat gudang obat, tetapi itu juga tidak memadai. Tidak cukup dengan menyetok obat-obataan saja,” katanya.
Tjandra mengatakan, harus ada transfer teknologi sehingga ada keadilan dalam produksi vaksin. Meski demikian, hal ini harus diatur agar negara yang jadi tuan rumah hub produksi vaksin ini harus siap. ”Soal Indonesia siap atau tidak sebagai hub produksi vaksin ini relatif. Tetapi, yang jelas negara yang bisa jadi hub harus kuat teknologi membuat vaksinnya,” ucapnya.
Memberikan contoh
Diah mengatakan, sebagai Presidensi G20, Indonesia juga dituntut untuk memberikan contoh dengan melakukan tranformasi kesehatan di dalam negeri. ”Kalau kita peduli pada tranformasi kesehatan global dan keadilan vaksin, maka frame berpikir yang sama harus dipakai ke dalam negeri. Kelompok rentan yang saat ini belum sepenuhnya mendapatkan vaksin harus didahulukan,” katanya.
Seperti diketahui, cakupan vaksinasi untuk kelompok rentan, termasuk lanjut usia, di Indonesia masih sangat kurang. Selain itu, beberapa daerah, khususnya Indonesia timur, seperti Papua dan Maluku, cakupan vaksinasi lengkap juga masih sangat sedikit. Padahal, pada saat yang sama, booster sudah dijalankan.
Selain itu, tambah Diah, Indonesia harus menunjukkan perubahan dengan lebih berpihak pada fasilitas kesehatan primer sebagai garda depan kesehatan publik. Peran kesehatan primer bisa dioptimalkan dalam pemerataan vaksinasi dan menjalankan surveilans, tes, lacak serta treatment. ”Selain itu juga dalam pencegahan penyakit,” ujarnya.
Untuk melakukan transformasi ini, Indonesia perlu melakukan refleksi dalam penanganan pandemi selama ini, yang menurut Diah masih banyak masalah. Selain lemah dalam pencegahan dan surveilans, ke depan harus dilakukan penghitungan tentang penghitungan kematian berlebih (excess death) dan memasukkan Covid-19 berkepanjangan (long covid) dalam kebijakan.
”Kita harus melihat perjalanan selama ini secara kritis guna membenahi sistem kesehatan kita, termasuk juga pendanaan kesehatan. Kalau belum berubah, begitu terjadi pandemi lagi, kita kembali tidak akan siap,” ujarnya.