Rumah di dekat taman dengan banyak pepohonan ternyata lebih sehat. Risiko terkena stroke turun hingga 16 persen.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Ilustrasi properti. Pengunjung mencari informasi di salah satu stan pameran perumahan. Pameran perumahan bertajuk Indonesia Properti Expo (IPEX) 2019 ini berlangsung di Hall Adan B Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (3/2/2019).
Kawasan perumahan yang memiliki fasilitas publik berupa taman hijau biasanya dijual dengan harga lebih mahal serta biaya pemeliharaan rutin lingkungan yang lebih tinggi. Kenapa bisa seperti itu? Biasanya ini dikaitkan dengan manfaat yang ditawarkan, seperti view atau suasana pemandangan yang lebih adem bagi penghuni ataupun asumsi keberadaan tanaman-tanaman di taman itu menyuplai oksigen yang menurunkan stres.
Namun, selain alasan-alasan itu, hasil riset berikut ini bisa memberikan argumen tambahan mengapa rumah atau perumahan dekat taman hijau harganya lebih mahal. Tinggal di dekat area yang dipenuhi pepohonan hijau seperti itu ternyata juga mengurangi risiko menderita stroke hingga 16 persen!
Manfaat kesehatan yang sangat berarti itu didapatkan dari kemampuan pepohonan di taman atau ruang hijau dalam menyerap polusi udara. Para peneliti menggunakan informasi dari polutan udara, yaitu partikel sangat halus (PM 2,5), nitrogen dioksida (NO2), dan partikel jelaga. Ketiganya terkait dengan polusi lalu-lintas kendaraan.
Hasil riset ini dipublikasikan dalam jurnal Environment International volume 161 Maret 2022 berjudul ”Air Pollution and Surrounding Greenness in Relation to Ischemic Stroke: A Population-based Cohort Study”. Hasil studi ini bisa diakses secara daring dan terbuka.
Meskipun sesuai dengan tingkat yang ditetapkan oleh Uni Eropa, kami dihadapkan pada paradoks bahwa masih ada risiko kesehatan, seperti yang kami identifikasi dalam penelitian ini.
Riset dilakukan para peneliti dari Hospital del Mar Medical Research Institute, Hospital del Mar, Catalan Health Quality and Assessment Agency (AQuAS) dari Catalan Government’s Department of Health, dan Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal) di Spanyol. Mereka meneliti 3,5 juta orang dari 7,5 juta penduduk Catalonia yang berusia di atas 18 tahun yang tidak menderita stroke sebelum studi dimulai.
Para peneliti menganalisis dampak tingkat partikel PM 2,5 (partikel sangat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron), NO2, dan partikel jelaga di tempat tinggal masing-masing orang yang diteliti. Jumlah dan kepadatan ruang hijau dalam radius 300 meter dari rumah mereka juga dipelajari.
Data diperoleh melalui referensi geografis. Selain itu, mereka juga merancang model paparan dua faktor penentu, yaitu menggunakan data populasi yang diperoleh dengan menggunakan kembali informasi kesehatan yang dihasilkan di Catalonia.
Risiko stroke
Hasilnya menunjukkan hubungan langsung antara peningkatan kadar NO2 di atmosfer dan risiko stroke iskemik. Untuk setiap kenaikan 10 mikrogram (µg) per meter kubik (m3), risiko stroke meningkat sebesar 4 persen. Hal yang sama terjadi ketika kadar PM 2,5 meningkat sebesar 5 µg/m3. Dalam kasus partikel jelaga, risiko meningkat sebesar 5 persen untuk setiap peningkatan 1 µg/m3 di atmosfer. Angka-angka ini sama untuk seluruh populasi, terlepas dari faktor sosial ekonomi lainnya, usia, atau kebiasaan merokok.
”Perlu diingat bahwa, tidak seperti polutan udara lainnya, yang memiliki berbagai sumber, NO2 terutama disebabkan oleh lalu lintas jalan raya. Oleh karena itu, jika kita benar-benar ingin mengurangi berbagai risiko yang ditimbulkan oleh polutan ini terhadap kesehatan masyarakat, kita perlu menerapkan langkah berani untuk mengurangi penggunaan mobil,” kata Cathryn Tonne, peneliti di ISGlobal dalam siaran pers di situs Institut Hospital del Mar d’Investigacions Mèdiques (IMIM).
”Penelitian ini menunjukkan pentingnya faktor penentu lingkungan dalam risiko stroke. Mengingat jumlah kasus, kematian, dan kecacatan yang dikaitkan dengan penyakit ini akan meningkat di tahun-tahun mendatang, penting untuk memahami semua faktor risiko yang terlibat,” tutur Carla Avellaneda, peneliti di Neurovascular Research Group di IMIM-Hospital del Mar dan salah satu penulis utama studi tersebut.
Studi sebelumnya oleh kelompok yang sama telah memberikan bukti tentang hubungan antara faktor-faktor seperti jelaga atau tingkat kebisingan dengan risiko menderita stroke dan tingkat keparahannya. Semua faktor ini berperan sebagai pemicu stroke.
Sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka hijau dalam radius yang sama dari rumah secara langsung mengurangi risiko terkena stroke, bahkan hingga 16 persen. Dalam pengertian ini, ”Orang-orang yang dikelilingi oleh tanaman hijau lebih banyak di tempat tinggal mereka dilindungi dari serangan stroke,” kata Avellaneda.
Kompas/Hendra A Setyawan
Kompleks perumahan bersubsidi yang baru dibangun di kawasan Cibunar, Parungpanjang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/1/2022).
Keberadaan ruang hijau umumnya dianggap memiliki efek menguntungkan melalui berbagai mekanisme, seperti pengurangan stres, peningkatan aktivitas fisik dan kontak sosial, bahkan paparan mikrobioma yang diperkaya.
Batasan polutan
Mengingat data ini, para peneliti menunjukkan bahwa perlu untuk merenungkan tingkat polusi atmosfer saat ini yang dianggap aman. Saat ini, ambang batas yang ditetapkan oleh Uni Eropa adalah 40 µg/m3 untuk NO2 dan 25 µg/m3 untuk PM 2,5. Saat ini, tidak ada level yang ditetapkan untuk partikel jelaga.
Faktanya, selama periode penelitian itu, level polutan yang dianalisis rata-rata lebih rendah daripada yang ditetapkan, yaitu 35 µg/m3 (NO2), 17 µg/m3 (PM 2,5), dan 2,28 µg/m3 (jelaga). ”Meskipun sesuai dengan tingkat yang ditetapkan oleh Uni Eropa, kami dihadapkan pada paradoks bahwa masih ada risiko kesehatan, seperti yang kami identifikasi dalam penelitian ini, di mana ada hubungan langsung antara paparan polutan di lingkungan kita dan risiko menderita stroke,” papar Rosa Maria Vivanco, penulis utama studi dan peneliti di AQuAS dan IMIM-Hospital del Mar.
Dengan demikian, ambang batas polutan di udara itu masih belum menjamin risiko bahaya kesehatan yang disebabkan emisi kendaraan. ”Bahayanya masih ada dan masih banyak lagi tindakan yang perlu diambil mengingat peningkatan dalam populasi perkotaan dan penuaannya,” ujarnya menambahkan.
Dalam hal ini, Jaume Roquer, Kepala Layanan Neurologi di Hospital del Mar dan koordinator Neurovascular Research Group di IMIM-Hospital del Mar, menunjukkan bahwa studi ini memperlihatkan dampak nyata aspek lingkungan terhadap kesehatan populasi warga. Ia menunjukkan, efek polusi udara, kurangnya ruang hijau, dan kebisingan butuh diatasi untuk mengurangi risikonya bagi kesehatan.
”Efek berbahayanya merusak secara permanen dan global. Kita harus berusaha untuk mencapai kota-kota yang lebih berkelanjutan dan kota-kota di mana hidup tidak berarti peningkatan risiko penyakit,” katanya.