Peran dukun sebagai pengobat warga begitu signifikan di masa lalu. Peran tersebut masih ada, tetapi tergeser dengan praktik pengobatan modern.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukun menguasai pengetahuan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi, baik dalam meracik ramuan tradisional, membantu perempuan melahirkan, maupun mengurut. Sayangnya, pengetahuan tersebut kini perlahan hilang. Salah satu alasannya adalah perkembangan ilmu kedokteran dari Barat.
Hal ini mengemuka dalam bincang buku Urip iku Urub bertajuk ”Stigmatisasi hingga Saintifikasi Profesi Dukun, Pengalaman Dua Abad di Jawa, Sabtu (12/3/2022). Diskusi daring ini hasil kerja sama Penerbit Buku Kompas, Karavan Cendekia, Diskusi Soedjatmoko, Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Timur, dan disiarkan di kanal Youtube Tribun News.
Sejarawan Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Martina Safitry mengatakan, dukun merupakan agen pengobat di Jawa sejak dulu. Sejumlah literatur menyatakan, dukun memiliki pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia, diagnosis penyakit, hingga pengobatan. Dukun dulu sempat disebut ”saingan” dokter.
”Dukun juga memiliki pengetahuan tentang tanaman obat dan cara meracik ramuan. Kemampuan itu diperoleh dengan ilmu titen (membaca tanda alam atau belajar dengan pengalaman empiris). Dukun muda juga mesti belajar ke dukun yang lebih senior,” ucap Martina.
Adapun sejarah pengobatan tradisional, termasuk jamu, terpahat di relief Candi Prambanan, Borobudur, dan Penataran. Hal serupa ada di sejumlah manuskrip kuno, seperti Serat Centhini, Serat Primbon Jampi Jawi, dan Serat Munasihati Jati.
Pengobatan tradisional juga ditulis dan dipelajari bangsa Barat yang masuk ke Nusantara beberapa abad silam. Martina mengatakan, pengobatan tradisional dan praktik perdukunan banyak digunakan bangsa Eropa pada abad ke-18.
Di sisi lain, sebutan dukun tidak hanya untuk para pengobat, tetapi juga praktisi spiritual. Arti dan praktik perdukunan meluas ke penggunaan mantra, ramalan, hingga santet. Dukun pun menerima stigma negatif, khususnya di era modern.
Perkembangan ilmu kedokteran dari Barat, kata Martina, juga memunculkan para elite di bidang kesehatan. Peran dukun di masyarakat pun tergeser.
Kendati demikian, ada sejumlah upaya untuk mengangkat kembali peran dukun, misalnya dukun bayi. Pertemuan agar dukun bayi dapat membantu persalinan secara higienis pernah dilakukan pada 1930. Beberapa dekade setelahnya pun ada sosialisasi dan pelatihan dukun. Pertemuan rutin dukun bayi masih dilakukan di sejumlah daerah hingga sekarang.
”Dukun biasanya menjadi alternatif atas kebuntuan pengobatan modern saat ini, seperti saat kita mencari second opinion. Generasi muda juga ada yang melakukan ini,” kata Martina.
Wacana saintifikasi praktik perdukunan, utamanya pengobatan, dinilai dapat menumbuhkan ilmu pengetahuan berbasis kearifan lokal. Hal ini sekaligus mendekatkan pengobatan tradisional ke generasi saat ini.
”Jika kita lebih melek soal pengobatan leluhur, mungkin tidak akan ada diskriminasi. Sebab, pengobatan tradisional kerap dianggap kalah modern dari pengobatan Barat,” ujar Martina.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengangkat kearifan lokal nenek moyang untuk dikembangkan dan dimanfaatkan. Penelitian secara ilmiah pun menjadi penting.
Jika kita lebih melek soal pengobatan leluhur, mungkin tidak akan ada diskriminasi. Sebab, pengobatan tradisional kerap dianggap kalah modern dari pengobatan Barat.
Menurut Presiden Joko Widodo, ilmu pengetahuan dan kearifan masa lalu dapat dipelajari serta menjadi rujukan untuk mencari solusi masalah masa kini. Namun, kearifan masa lalu tidak selalu berbentuk buku atau literatur dengan standar ilmiah masa kini. Kearifan itu diwariskan dalam berbagai bentuk kebudayaan, seperti narasi lisan, teater, hingga kebiasaan hidup (Kompas, 20/11/2021).
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, mengadopsi kearifan masa lalu mesti dilakukan secara selektif. Sebab, belum tentu hal itu sesuai dengan konteks masa sekarang.