Kematian karena Covid-19 Meningkat 75 Kali dalam Dua Bulan
Jumlah korban jiwa karena Covid-19 di Indonesia meningkat seiring meluasnya penularan ke daerah. Penambahan korban jiwa selama dua bulan terakhir mencapai 75 kali lipat.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah korban jiwa akibat Covid-19 di Indonesia cenderung meningkat seiring meluasnya penularan ke daerah. Penambahan korban jiwa selama dua bulan terakhir telah mencapai 75 kali lipat dan tingkat kematian per 100 kasus menjadi yang tertinggi ketiga di dunia.
Laporan Kementerian Kesehatan pada Kamis (3/3/2022), jumlah korban jiwa karena Covid-19 bertambah 232 orang dalam sehari. Jumlah ini memang menurun dibandingkan sehari sebelumnya yang mencapai 376 orang, yang merupakan rekor tertinggi sejak 9 September 2021.
Meskipun demikian, jika dilihat angka kematian dalam sepekan terakhir, terlihat tren peningkatan yang signifikan, mencapai 1.926 orang. Jumlah ini meningkat 27 persen dibandingkan seminggu sebelumnya yang sebanyak 1.514 orang.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan, sekalipun angka kematian harian jauh lebih rendah dibandingkan saat gelombang Delta, penambahan korban jiwa hingga ratusan orang per hari harus menjadi perhatian.
Menurut Tjandra, jika dilihat trennya, peningkatan korban jiwa saat ini juga lebih tinggi dibandingkan saat gelombang Delta. Saat gelombang Delta, angka kematian pada 27 Mei 2021 sebanyak 136 orang dan naik menjadi 2.069 orang pada 27 Juli 2021. ”Jadi, saat Delta angka kematian naik sekitar 15 kali lipat dalam dua bulan,” katanya.
Saat gelombang Omicron, pada 3 Januari 2022 jumlah yang meninggal lima orang. Namun, pada 3 Maret 2022 jumlahnya 376 orang. ”Sudah naik 75 kali dalam dua bulan. Tentu perlu dikaji kenapa pada Omicron yang tidak seberat Delta, tapi kenaikan angka kematiannya tinggi sekali, dalam kurun waktu yang sama-sama dua bulan,” katanya.
Tjandra menambahkan, dari data global yang dikompilasi Johns Hopkins University, angka fatalitas yang teramati (observed case fatality ratio) Indonesia saat ini berada di urutan ketiga teratas. Angka ini menunjukkan jumlah kasus kematian di suatu negara dari setiap 100 kasus Covid-19.
”Kita tertinggi ketiga di dunia dengan angka fatalitas 2,7 persen, hanya di bawah Peru dan Meksiko,” katanya.
Menurut perhitungan ini, negara Asia lain peringkatnya jauh lebih rendah, misalnya, India yang berada di urutan ke-13 dengan angka fatalitas 1,2 persen. Jepang di urutan ke-19 dengan 0,5 persen dan Korea Selatan di urutan ke-20 dengan 0,2 persen.
Keterlambatan surveilans
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, jumlah pasien Covid-19 di rumah sakit pada Rabu (2/3/2022) turun menjadi 33 persen dari total kapasitas nasional dibandingkan Selasa (1/3/2022) sebesar 34 persen. Selain itu, positivity rate harian juga mengalami penurunan menjadi 12,24 persen dibandingkan Senin (28/2/2022) yang di angka 18,21 persen.
Namun, Nadia juga mengingatkan peran penting masyarakat untuk membantu pemerintah menangani pandemi. ”Diharapkan tetap menjalankan protokol kesehatan dan melengkapi vaksinasi agar kita dapat segera mencapai cakupan minimal 70 persen dari total target vaksinasi Covid-19 nasional,” ujar Nadia.
Sekalipun angka kematian harian jauh lebih rendah dibandingkan saat gelombang Delta, penambahan korban jiwa hingga ratusan orang per hari harus menjadi perhatian.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, angka kematian, termasuk angka hunian unit perawatan intensif (ICU), masuk dalam kategori indikator telat atau kejadiannya belakangan dibandingkan kasus infeksinya. ”Misalnya, puncak kasusnya sekarang, kita baru akan melihat puncak kematian dalam tiga atau empat minggu setelahnya. Apalagi, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia kemungkinan hanya 20 persen,” katanya.
Menurut Dicky, keterlambatan surveilans dan deteksi berkontribusi terhadap tingginya rasio kematian karena Covid-19. Buruknya deteksi ini membuat pasien terlambat terdeteksi dan ditangani.
Selain itu, hal ini juga memicu penularan lebih luas hingga akhirnya menginfeksi kelompok rentan, baik lanjut usia maupun orang dengan komorbid. ”Kalau deteksi dininya kuat, setidaknya 70 persen kasus bisa ditemukan secara dini, risiko kematian bisa diturunkan karena penularan bisa dicegah tidak sampai menulari kelompok rentan,” katanya.
Dicky menambahkan, tren kematian saat gelombang Omicron yang meningkat ini menunjukkan banyak kasus di masyarakat yang tidak terdeteksi. Selain itu, cakupan vaksinasi dan penguat yang belum merata. ”Saya mendapat banyak laporan, korban yang meninggal ternyata juga mulai terjadi di kalangan usia yang lebih muda, tetapi dengan komorbid. Ini harus jadi peringatan dan kewaspadaan,” katanya.
Menurut Dicky, untuk menekan angka kematian, upaya vaksinasi dan penguat harus dipercepat, termasuk di daerah-daerah karena kemungkinan penularan Omicron bisa lebih luas dibandingkan Delta. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak terkena Delta, saat ini bisa dilanda gelombang Omicron. ”Mereka yang lanjut usia dan punya komorbid harus mendapat prioritas penguat,” katanya.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban mengingatkan, sekalipun Omicron tingkat keparahannya lebih rendah dari Delta, ini tetap virus yang berbahaya dengan spektrum keparahan bervariasi, mulai dari ringan, berat, hingga menyebabkan kematian. ”Mereka yang paling berisiko terutama lanjut usia, berikutnya yang punya komorbid yang tidak terkontrol, dan yang belum vaksinasi lengkap ini masih banyak, apalagi yang booster,” katanya.
Menurut Zubairi, data survei genomik di Indonesia menunjukkan, varian Omicron sudah mendominasi, terutama di Jawa dan Bali. Namun, di beberapa daerah masih ditemukan penularan varian Delta. ”Ini penting untuk jadi pertimbangan agar jangan buru-buru melonggarkan pembatasan dan protokol kesehatan,” katanya.