Covid-19 Tidak Akan Hilang, tetapi Cara Mengatasinya Tersedia
Covid-19 diprediksi akan terus ada. Namun, berbagai langkah untuk mengendalikan kasus dan mengurangi risiko keparahannya telah tersedia.
JAKARTA, KOMPAS - Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda bakal berakhir sekalipun kasus global sudah mulai menurun. Penyakit infeksi pernafasan ini diprediksi akan terus ada, namun berbagai langkah untuk mengendalikan kasus dan mengurangi risiko keparahannya telah tersedia.
Setelah dua tahun kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia pada 2 Maret 2020, sudah lebih dari 5,5 juta penduduk yang terkonfirmasi tertular penyakit ini dengan korban jiwa mencapai 148.660 jiwa. Jumlah kasus dan kematian bisa jauh lebih tinggi, mengingat keterbatasan jumlah tes dan pencatatan.
Penambahan kasus baru pada Selasa (1/3/2022) di Indonesia mencapai 24.728, cenderung menurun dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Namun, tingkat kematian cenderung naik, dengan 325 korban jiwa dalam sehari yang merupakan rekor tertinggi sejak 9 September 2021.
"Pandemi belum berakhir. Berdasarkan jumlah kasus mingguan, Indonesia sekarang nomor 10 tertinggi di dunia. Terjadi peningkatan kasus luar biasa dibandingkan Desember 2021 lalu, yang waktu itu rangking 130-an. Perlu perjuangan semua pihak, termasuk masyarakat untuk mengatasinya," kata Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban.
Menurut Zubairi, saat ini Indonesia telah mengalami gelombang ketiga Covid-19. "Puncak gelombang pertama sekitar Februari 2021, saat itu puncak kasus harian sekitar 15.000-an. Lalu Juli 2021 puncak kasus hariannya 50.000 -an. Sekarang puncak kasus harian bisa lebih 60.000-an," kata dia.
Zubairi mengatakan, sekarang kita menghadapi Omicron yang sangat cepat lonjakan kasusnya, namun bisa menurun dengan cepat sekali. Sekalipun risiko keparahannya lebih rendah dibandingkan Delta, risikonya masih ada, terutama bagi mereka yang belum divaksinasi.
"Cakupan vaksinasi kita belum 70 persen, terutama di luar Jakarta. Saat ini Jakarta sudah mulai turun, namun saya khawatir daerah lain masih naik. Mohon daerah tingkatkan tesnya, agar kita memiliki gambaran yang benar," kata dia.
Lihat juga : Tahun Ini Idul Fitri Bisa Dilakukan Secara Normal
Tetap waspada
Pengingat bahwa pandemi belum berakhir juga dilontarkan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam. "Kita masih harus waspada. Semoga tidak ada varian baru yang lebih mematikan seperti Delta," katanya.
Ari mengatakan, Indonesia harus terus belajar menangani Covid-19, termasuk dalam mengantisipasi kemungkinan munculnya wabah baru. Terkait hal ini, kemampuan deteksi dini penyakit menular menjadi sangat penting.
"Di awal Covid-19, antisipasi kita kurang karena menganggap wabah hanya di satu negara saja. Saat itu kita terlambat karena kemampuan diagnosa dan surveilans yang terbatas. Waktu itu kemampuan tes PCR (polimerase rantai ganda) hanya bisa dilakukan di sedikit laboratorium. Litbang Kemkes pun saat itu baru belajar," kata dia.
Menurut Ari, kemampuan diagnosis Indonesia sekarang sudah lebih baik dengan cukup banyaknya laboratorium yang sudah mampu melakukan tes PCR. Demikian halnya pemeriksaan genomik mulai berkembang, walaupun kapasitasnya masih terbatas dan belum merata di tiap daerah.
Ari berpendapat, modal dalam menghadapi Covid-19 saat ini sudah lebih baik. Selain peralatan dan kemampuan sumber daya manusia yang membaik, sebagian besar populasi juga sudah divaksinasi yang menurunkan risiko keparahan dan kematian walaupun kasusnya tinggi.
Namun demikian, kita belum bisa berharap bahwa pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Apalagi, saat ini masyarakat sudah bosan dengan situasi ini sehingga penerapan protokol kesehatan menjadi longgar dan risiko munculnya varian baru yang bisa memicu infeksi ulang.
Baca juga : Masyarakat Bisa Dapatkan Vaksin "Booster" dengan Interval Tiga Bulan
Bukan gelombang terakhir
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman mengatakan, Covid-19 kemungkinan tidak akan pernah hilang, setidaknya tidak dalam waktu dekat. "Omicron juga bukan varian terakhir dan gelombang ketiga kali ini bukan yang terakhir," kata dia.
Ini berarti, kita harus hidup bersama Covid-19 dan harus tahu cara mengelolanya agar tidak terjadi kembali banyak korban jiwa. "Cara untuk mengendalikan Covid-19 sudah tersedia, di antaranya dengan surveilans dan pembatasan. Selain itu, modal kita sekarang sudah lebih baik dengan vaksinasi dan infeksi sebelumnya. Ini membantu menurunkan tingkat keparahan dan kematian, tapi bukan berarti dampaknya tidak serius" kata dia.
Menurut Dicky, Covid-19 akan terus menyasar populasi yang lebih rentan yang ada di daerah dengan cakupan vaksinasi rendah dan kemampuan surveilans lebih terbatas. "Akhirnya, akan berdampak pada kasus kesakitan dan kematian. Ingat penduduk kita banyak," kata dia.
Dicky menambahkan, ke depan, jika kemudian status pandemi dicabut WHO, Indonesia akan mengalami tiga skenario. Ada daerah yang mengalami status endemi, kasusnya akan terus ada walaupun kecil dengan angka reproduksi di bawah satu. Namun ada juga yang epidemi, artinya daerah yang cakupan vaksinasinya buruk akan mengalami ledakan wabah atau kejadian luar biasa. "Ada juga daerah yang sudah terkendali atau minimal sporadis. Ini yang harus kita tuju, jadi jangan berpikir untuk endemi atau epidemi," kata dia.
Menurut Dicky, dengan situasi saat ini, Indonesia disarakan untuk terus menerapkan protokol kesehatan, setidaknya hingga tahun depan. Hal ini akan membantu mengendalikan wabah, apalagi cakupan vaksinasi belum 100 persen. "Tentu tidak seketat kemarin, tetapi protokol kesehatan harus tetap dijaga agar kasus terkendali dan tidak melebihi kapasitas fasilitas kesehatan," kata dia.
Dicky menambahkan, tingkat antibodi dari vaksin juga terus menurun. Oleh karena itu, kita juga harus bersiap untuk memberikan penguat kedua, terutama untuk kelompok yang memiliki komorbid. "Kemungkinan booster tidak untuk populasi umum, tapi mereka yang punya komorbid tampaknya perlu booster berikutnya," kata dia.
Pemerataan cakupan vaksinasi juga menjadi sangat penting untuk mencegah adanya kantung penularan yang berpotensi memicu munculnya varian-varian baru. "Ketimpangan vaksin skala global maupun nasional bakal memicu risiko kemunculan varian baru ini," kata dia.
Kita masih harus waspada. Semoga tidak ada varian baru yang lebih mematikan seperti Delta
Dia juga mengingatkan, hingga Maret 2022, tingkat penularan Covid-19 di Indonesia masih dinyatakan community transmission oleh WHO, artinya pandeminya masih serius terjadi di masyarakat. Ini juga indikasi bahwa, ancaman bahaya yang ditimbulkannya masih tinggi.
Menurut Dicky, sekalipun sudah ada peningkatan, namun kemampuan Indonesia menemukan kasus di masyarakat masih terbatas. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kasus yang ditemukan dan terjadi di masyarakat masih tinggi sehingga membuat upaya menekan kasus melalui intervensi epidemiologi hingga minimal menjadi sangat sulit dilakukan.
Penurunan kasus di Indonesia, menurut Dicky, seperti terjadi saat gelombang Delta lalu, terjadi setelah sebagian besar populasi terinfeksi. Namun demikian, virus Covid-19, terutama varian Omicron dan subvariannya, memiliki kemampuan untuk memicu infeksi ulang. "Vaksinasi saja tidak cukup. Perlu diperkuat upaya lain yang lebih bersifat pencegahan, termasuk di antaranya masyarakat harus ditingkat pola hidupnya menjadi lebih sehat," kata dia.