Akademisi Menilai Pemerintah Gagal Lindungi Warga dari Tambang Ilegal
Penambangan ilegal di Kalimantan Timur selain merugikan negara juga berdampak buruk bagi hancurnya lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat. Namun, penegakan hukum terkait ini minim.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya praktik penambangan ilegal di Kalimantan Timur selain merugikan negara juga berdampak buruk bagi hancurnya lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat. Kalangan akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik menilai, pemerintah dan aparatnya tidak serius mengatasi masalah ini sehingga gagal melindungi warga dan lingkungan.
”Tambang ilegal sudah diatur tegas sanksi pidananya sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Namun, pemerintah dan aparat yang seharusnya menegakkan hukum seperti tidak berkutik. Menjadi pertanyaan kami, ada apa dengan penambangan ilegal di Kalimantan Timur?” kata Haris Retno, dosen di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, dalam diskusi daring, Senin (28/2/2022).
Diskusi ini dilakukan dalam rangka peluncuran Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) chapter Kalimantan Timur. Diskusi bertema tentang tanggung jawab moral kaum intelektual terhadap kejahatan tambang ilegal.
Mengacu data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Haris mengatakan, terdapat 163 titik tambang ilegal di Kalimantan Timur, 20 di antaranya ada di Kota Samarinda. ”Bahkan, lahan laboratorium Unmul di Bukit Soeharto tidak luput dari aktivitas tambang ilegal,” katanya.
Haris juga mempertanyakan masa depan lingkungan hidup di Kalimantan Timur karena 44 persen wilayah ini telah dikapling untuk tambang, selain perkebunan, HPH-HTI. ”Sekarang mau masuk penambangan pegunungan karst untuk semen,” katanya.
Menurut Haris, tambang ilegal telah berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial. ”Kalau bicara dampak memang bukan hanya ilegal, tambang legal juga berdampak. Namun, ketika itu tambang resmi butuh langkah hukum untuk membuktikan kerusakan lingkungan. Tambang ilegal, jelas ilegalnya saja sudah pelanggaran hukum,” katanya.
Koordiantor KIKA Kalimantan Timur yang juga dosen di Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, problem di Kalimantan Timur tidak hanya soal tambang ilegal. ”Dampak industri ekstraksif di Kalimantan Timur sangat besar terhadap warga. Ada masalah alih fungsi lahan yang ditinggalkan, pencemaran lingkungan, ada reklamasi yang tidak dilakukan sehingga berakibat hilangnya nyawa,” katanya.
Menurut Herdiansyah, pada 2011-2022 ada 40 nyawa yang hilang di lubang tambang yang tidak direklamasi oleh pemegang konsesi. ”Ini tidak pernah diusut serius oleh aparat dan pemerintah daerah,” katanya.
Herdiansyah menambahkan, dari 40 kasus kematian di lubang tambang ini, hanya satu kasus yang dipidana dan divonis. Vonisnya juga hanya menyentuh subkontraktor pemegang konsesi, sekuriti dalam hal ini. Vonisnya pun hanya 3 bulan kurungan dengan denda Rp 1.000.
Menurut Herdiansyah, lemahnya penegakan hukum terhadap korban lubang tambang ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap keselamatan rakyat. ”Nyawa korban yang kebanyakan anak-anak. Padahal, UU No 4/2009 jo No 3/2020 menyebutkan, sekalipun pemegang konsesi menggunakan pihak ketiga, tanggung jawab hukum tetap pada pemegang konsesi,” katanya.
Lemahnya penegakan hukum terhadap korban lubang tambang ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap keselamatan rakyat.
Dengan besarnya dampak yang dialami masyarakat dan lingkungan, menurut Herdiasnyah, pemerintah pusat dan daerah dan terutama aparat penegak hukum dinilai tidak serius melindungi warga. "Ini bukan hanya kerugian negara, melainkan dampak lingkungan yang dialami masyarakat. Oleh karena itu, tugas kami sebagai akademisi tidak hanya mereproduksi pengetahuan, tetapi juga berjuang bersama-sama membantu menyelesaikan masalah publik. Inilah yang membuat kami membentuk KIKA di Kaltim,” katanya.
Dalam diskusi ini juga diundang Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim dan perwakilan warga yang menjadi korban tambang ilegal di Kalimantan Timur. Mereka mempertegas dampak-dampak buruk yang dialami karena penambangan.
Peran akademisi
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Mughis Mudhofir, mengatakan, persoalan yang dihadapi di Kaltim sebenarnya terjadi di hampir semua wilayah Indonesia yang biasanya melibatkan perampasan lahan. ”Studi saya untuk doktoral di Australian National University yang sudah saya bukukan juga, dalam perampasan lahan untuk berbagai aktivitas, termasuk pertambangan, selalu melibatkan dua hal, yaitu mekanisme disorder dan hegemoni,” katanya.
Mekanisme disorder ini adalah memanfaatkan kekacauan dan tumpang tindih peraturan, tumpang tindih lahan, manipulasi hukum, dan penggunaan kekerasan dan represi. ”Undang-Undang Cipta Kerja itu hanya retorik karena selama ini tumpang tindih tersebut yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi kapital. Buktinya, kita tidak pernah tahu HGU (hak guna usaha) perusahaan-perusahaan, kementerian terkait menutupi itu. Kepastian mengenai lahan terus-menerus disamarkan dan data bisa dimainkan,” katanya.
Penelitian Mughis di Sumut menunjukkan, data HGU perusahaan di BPS bisa berbeda dengan klaim perusahaan dan warga. Itu berakibat pada konflik agraria yang terus meningkat. Petani dan masyarakat adat yang berusaha mengklaim tanah ulayat mereka dihadapkan pada bentuk ketidakpastian ini dan ini sering dimanfaatkan ketidakpastiannya. Ini juga terjadi di Wadas (Jawa Tengah). Hukum dipermainkan,” katanya.
Sementara dalam mekanisme hegemoni, menurut Mughis, kerap melibatkan kalangan intelektual, baik dari universitas maupun non-universitas. ”Kalangan intelektual sering menyediakan legitimasi atau justifikasi ilmiah untuk pembenar tindakan yang merugikan publik, melalui pembuatan naskah akademik peraturan perundang-undangan, amdal bermasalah, dan saksi ahli membela perusahaan dalam persidangan,” katanya.
Oleh karena itu, dia berharap, kaum intelektual di Indonesia bisa lebih progresif, di antaranya dengan melakukan perlawanan hegemoni. ”Intelektual jangan lagi mau jadi stempel. Membangun kesadaran kritis publik, juga berperan dalam melawan disorder, dengan membangun gerakan organisasi yang luas,” katanya.
Dewan Pengarah KIKA, Herlambang Wiratraman, mengingatkan, di tengah situasi yang cenderung semakin represif dan maraknya ekstraksi sumber daya yang merugikan lingkungan serta masyarakat, ilmuwan harus bersikap. ”Penjinakan terhadap kaum intelektual oleh kekuasaan bukan hal baru. Sejak Orde Baru, penjinakan itu dilakukan dengan menyingkirkan intelektual kritis. Hari ini, kita menyaksikan dalam bentuk lain, misalnya memoderasi dan penundukan institusi serta pelemahan institusi akademik. Tantangan lain, masih mengakarnya budaya feodalisme,” katanya.