Omicron Bukan Varian Pamungkas dalam Pandemi
Belum reda tsunami Omicron, kini muncul subvarian BA.2 yang lebih menular. Ini menunjukkan, virus ini terus bermutasi untuk tetap beradaptasi di alam kita dan jadi alarm Omicron bukanlah varian pamungkas.
Setelah gelombang varian Delta yang sangat mematikan mereda, kemunculan varian Omicron yang sangat menular membelokkan arah pandemi Covid-19. Kini, muncul subvarian BA.2 dari galur Omicron yang lebih menular lagi, memberi alarm bahwa virus ini terus bermutasi untuk tetap beradaptasi di alam kita.
Sekalipun sejak awal kemunculannya SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, ini terus bermutasi, kemunculan Omicron pada akhir November 2021 di Afrika Selatan sangat mengejutkan. Omicron memiliki hampir 50 mutasi, 36 di antaranya terjadi pada protein lonjakan, dibandingkan dengan 10 pada varian Alfa, 12 di Gamma, dan 9 di Delta.
Dalam protein paku ini, Omicron bermutasi di bagian yang terhubung dengan reseptor ACE2 pada sel manusia. Ini memungkinkannya menginfeksi sel secara lebih efisien sehingga meningkatkan reproduksi dan transmisibilitasnya.
Ada juga mutasi pada bagian lain dari protein paku Omicron yang membuat antibodi lebih sulit mengenali, membuatnya lebih banyak memicu infeksi ulang dan infeksi terobosan pada mereka yang sudah divaksinasi. Perubahan protein lonjakan ini juga membuat terapi yang menggunakan antibodi, seperti antibodi monoklonal dan plasma penyembuhan, kurang efektif.
Gambaran mengenai replikasi dan patogenisitas Omicron di tubuh inang (baca: manusia) ini bisa dilihat dari laporan Huiping Shuai dari The University of Hong Kong dan tim di jurnal Nature pada 21 Januari 2022.
Baca juga : Perketat Prokes untuk Cegah Penularan dari Orang Tanpa Gejala
Dalam penelitian ini, tim menemukan bahwa Omicron berkembang biak 70 kali lebih cepat di bronkus atau saluran yang menuju ke paru-paru dibandingkan dengan Delta, segera setelah 24 jam pasca-infeksi.
Namun, lebih dalam di paru-paru, Omicron bereplikasi pada tingkat yang lebih rendah. Replikasi lebih tinggi di saluran udara bagian atas membuat partikel virus lebih mudah dihirup sehingga memungkinkan lebih mudah menyebar. Di sisi lain, jumlah replikasi yang lebih rendah di paru-paru menyebabkan penyakit yang kurang parah dibandingkan dengan varian Delta.
Berbagai data epidemiologi di sejumlah negara juga menguatkan karakteristik Omicron ini. Laporan The British Medical Journal (16 Desember 2021), misalnya, menyebutkan bahwa di antara orang dewasa yang terinfeksi Omicron di Afrika Selatan, 29 persen lebih kecil kemungkinannya dirawat di rumah sakit.
Laporan penelitian dari Badan Keamanan Kesehatan Inggris pada 31 Desember 2021 juga menunjukkan, tingkat hunian ruang gawat darurat akibat Omicron hanya sepertiga Delta.
Sementara laporan Case Western Reserve University School of Medicine menunjukkan, hingga awal Januari 2022, dari total jumlah orang dewasa Amerika Serikat (AS) yang terinfeksi Omicron, kurang dari setengahnya yang perlu ruang gawat darurat. Namun, belakangan AS mengalami lonjakan kematian dengan rekor harian pada 26 Januari 2022 mencapai 3.594 korban jiwa, mendekati rekor sebelumnya pada Januari 2021.
Secara global kini kita menyaksikan rekor kasus Covid-19 dan seiring itu angka kematian juga merangkak naik. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (8/2/2022), dari 130 juta kasus Covid-19 secara global sejak Omicron dinyatakan sebagai varian mengkhawatirkan pada akhir November 2021, sudah ada 500.000 korban jiwa.
Baca juga : Bersama Membendung Gelombang Omicron
Kepala Teknis WHO untuk Covid-19 Maria Van Kerkhove dalam keterangan pers mengatakan, jumlah kasus dan kematian karena Covid-19 sebenarnya bisa jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan. ”Itu (lonjakan Omicron) membuat puncak-puncak sebelumnya terlihat hampir datar,” katanya.
Padahal, banyak negara belum melewati puncak Omicron mereka. Indonesia, misalnya, saat ini masih berada di fase awal kenaikan gelombang dan kemungkinan baru akan mencapai puncaknya dalam beberapa pekan mendatang. Dengan keterbatasan jumlah tes dan pelacakan di Indonesia, angka kasus dan kematian pasti jauh lebih tinggi daripada yang terdata.
Bahaya Omicorn
Peneliti biostatistik Indonesia yang mengajar di University of South Australia, Beben Benyamin, juga mengatakan, tingkat bahaya Omicron relatif lebih kecil dalam skala individu, tetapi dalam skala populasi tetap berbahaya. ”Kasus di sini (Australia) meroket. Keterisian rumah sakit dan kematian meningkat. Dari segi presentasi keparahannya memang rendah. Namun, karena penularannya sangat cepat, jumlah totalnya tetap tinggi,” kata Beben.
Sebagai contoh, pada 12 Januari 2022, sebanyak 49 orang meninggal, merupakan rekor tertinggi kedua sepanjang pandemi. Selain dampak kesehatan, menurut Beben, Omicron juga melumpuhkan ekonomi.
”Banyak pekerja esensial sakit, termasuk tenaga kesehatan, terpaksa menjalani isolasi. Akibatnya, pelayanan rumah sakit terganggu, pasokan barang dan jasa tersendat. Dampak ekonomi saat ini lebih parah dibandingkan lockdown (karantina wilayah) tahun lalu,” tuturnya.
Beben mengharapkan Indonesia bisa belajar dari kesalahan Australia yang keliru memahami bahaya Omicron sehingga melonggarkan pembatasan lebih awal.
Di Indonesia, anggapan bahwa Omicron tidak berbahaya itu bercampur dengan narasi bahwa sebagian besar populasi sudah memiliki antibodi, baik karena infeksi sebelumnya maupun dari vaksinasi.
Baca juga : Mayoritas Dokter yang Positif Covid-19 Bergejala Ringan, Satu Meninggal
Sebagaimana disampaikan Kementerian Kesehatan, setidaknya 86,6 persen populasi telah memiliki antibodi SARS-CoV-2. Data ini didapatkan dari hasil sero survei di 100 kabupaten/kota sepanjang November-Desember 2021.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, termasuk yang optimistis dengan pendapat ini. Menurut Iwan, kenaikan kasus Covid-19 selama gelombang Omicron di Indonesia tidak akan diikuti lonjakan kematian. Narasi serupa juga disampaikan sejumlah pejabat publik.
Meski demikian, Henry Surendra, peneliti imuno-epidemiologi lulusan London School of Hygiene & Tropical Medicine, mengingatkan, terlalu berisiko jika kita mengandalkan data sero survei. ”Omicron tidak fatal, tapi dengan catatan, yaitu bagi yang tidak punya komorbid, bukan lanjut usia, sudah divaksinasi dan vaksinnya bagus. Di luar kriteria itu tetap fatal. Padahal, belakangan vaksinasi untuk lanjut usia stagnan,” katanya.
Selain itu, sero survei ini sebenarnya hanya cerminan berapa persen populasi yang pernah terpapar atau pernah divaksin. ”Bukan berarti 86 persen orang telah terlindungi,” ucapnya.
Omicron tidak fatal, tapi dengan catatan, yaitu bagi yang tidak punya komorbid, bukan lanjut usia, sudah divaksinasi dan vaksinnya bagus. Di luar kriteria itu tetap fatal. Padahal, belakangan vaksinasi untuk lanjut usia stagnan.
Antibodi yang disurvei tidak diukur levelnya. Padahal, antibodi bisa turun seiring waktu. ”Bisa jadi, orang Indonesia yang sudah dua kali mendapat vaksinasi bisa jadi korban juga karena antibodinya menurun,” kata Henry.
Dengan perspektif ini, ia mengingatkan, gelombang Omicron di Indonesia tetap bisa mematikan. ”Sebaran risikonya meluas, termasuk di masyarakat adat atau desa yang sebelumnya aman dari Delta ataupun yang rendah vaksinasinya,” katanya.
Belum usai
Tak hanya pertaruhan besar pada risiko kematian, menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, kegagalan mengendalikan penularan Omicron juga bisa berkonsekuensi pada masalah kesehatan di masa depan.
Laporan riset di jurnal Nature Medicine pada 7 Februari 2022, misalnya, menyebutkan, oang yang pernah terinfeksi Covid-19 memiliki 55 persen risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kardiovaskular berkepanjangan. Risiko komplikasi masalah jantung ini bahkan bisa dialami individu yang sebelumnya sehat dan yang mengalami infeksi Covid-19 ringan.
Selain itu, membiarkan virus ini terus merajalela di poulasi berarti memberi lahan subur untuk terjadinya mutasi. Terbukti, seiring meluasnya kasus Covid-19, saat ini sudah muncul subvarian Omicron BA.2 yang lebih menular. Penelitian Frederik Plesner Lyngse dari Universitas Kopenhagen dan tim Kementerian Kesehatan Denmark memastikan, subvarian BA.2 lebih menular daripada BA.1 dan lebih mampu menginfeksi orang yang telah divaksinasi.
Maka, terlalu dini jika kita beranggapan Omicron akan mengarahkan pada situasi endemik. Aris Katzourakis, profesor yang mempelajari evolusi virus dan genomik di Universitas Oxford, dalam tulisannya di Nature pada Senin (24/1/2022) mengatakan, kata ”endemik” telah disalahartikan sehingga banyak asumsi keliru seolah-olah Covid-19 kemudian bakal berakhir secara alami tanpa intervensi.
Bahkan, sekalipun nantinya Covid-19 menjadi endemik, bukan berarti penyakit ini tidak berbahaya. Ada banyak contoh penyakit endemik, misalnya malaria dan tuberkulosis yang tiap tahun membunuh jutaan orang.
Sebagai ahli virologi evolusioner, Katzourakis mengkritik pembuat kebijakan yang menggunakan kata endemik sebagai alasan untuk melakukan sedikit intervensi guna menanggulangi Omicron.
”Ada kesalahpahaman yang tersebar luas bahwa virus berevolusi dari waktu ke waktu menjadi lebih jinak. Ini tidak terjadi: tidak ada hasil evolusi yang ditakdirkan untuk virus menjadi lebih jinak, terutama yang seperti SARS-CoV-2, di mana sebagian besar penularan terjadi sebelum virus menyebabkan penyakit parah,” ungkapnya.
Temuan varian HIV yang lebih ganas di Belanda baru-baru ini juga patut menjadi alarm. Temuan tersebut, yang diterbitkan di jurnal Science pada 3 Februari 2022, menyebutkan, virus tidak selalu berevolusi menjadi kurang ganas dari waktu ke waktu.
Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa Omicron adalah varian pamungkas yang bakal mengakhiri pandemi sepertinya sulit terjadi. ”Bukan berarti evolusi SARS-CoV-2 akan menjadi lebih ringan seiring waktu. Dengan banyaknya kasus saat ini, sangat mungkin bakal muncul varian SARS-CoV-2 super dan lebih ganas lagi,” kata Dicky.
Dengan berbagai kemungkinan yang masih terbuka ini, baik Herny maupun Dicky lebih menyarankan kita untuk tetap berjuang mengendalikan penularan. Ini berarti, prinsip dasar pencegahan penularan penyakit menular, seperti menjalankan protokol kesehatan dan upaya pengetesan dan pelacakan, tetap harus dilakukan karena pandemi masih belum usai.
Selain itu, untuk mengurangi dampak varian di masa depan, setiap negara perlu membangun dan memperkuat sistem pemantauan dan pengawasan yang dapat mengidentifikasi varian baru dengan cepat.