Dengan memanfaatkan serat rami, tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat panel antipeluru. Inovasi ini diproyeksikan digunakan di kapal patroli maritim untuk memperkuat pertahanan negara.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Kekayaan serat alam Nusantara dimanfaatkan tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk berinovasi membuat panel antipeluru. Panel berbahan utama serat rami dengan campuran serat gelas (fiberglass) itu diproyeksikan untuk digunakan pada kapal patroli maritim untuk memperkuat pertahanan negara.
Sejak Maret 2020, Mardiyati bersama tim peneliti Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material ITB lainnya disibukkan dengan riset panel antipeluru berbahan serat alam. Keterbatasan akibat pandemi Covid-19 memaksa mereka tidak bisa bertemu tatap muka setiap saat.
Akses ke kampus dan laboratorium dibatasi. Tak jarang koordinasi penelitian dilakukan jarak jauh secara daring. Alhasil, penelitian memakan waktu lebih dari 1,5 tahun.
Kabar baik datang pada pertengahan November 2021. Inovasi panel antipeluru berbahan serat rami itu lolos uji tembak menggunakan senapan runduk produksi PT Pindad (Persero) di Bandung, Jawa Barat.
Panel itu mampu menahan peluru senapan SPR-3 kaliber 7,62 milimeter pada jarak 5 meter. Kecepatan pelurunya mencapai 856 meter per detik. Inovasi tersebut pun dinyatakan lolos uji tembak yang mengacu pada standar NIJ 0108.10 Level III.
“Kami sangat senang dengan hasilnya. Ini membuktikan serat alam yang banyak ditemukan di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk bahan panel antipeluru,” ujar Mardiyati saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Uji tembak memakai pelat berukuran 25 cm x 17 cm dengan ketebalan 2,5 cm. Peluru ditembakkan dua kali di titik berbeda dan hasilnya tidak menembus pelat tersebut.
Mardiyati mengatakan, panel menggunakan bahan serat rami 75 persen dan serat gelas 25 persen. Saat peluru ditembakkan, peluru tertahan dengan penetrasi 10 mm. Sementara jika bahan serat rami 25 persen, penetrasi peluru 2 mm.
“Serat rami berfungsi sebagai penahan beban. Komposisi ini (75 persen serat rami dan 25 persen serat gelas) dianggap sebagai batas aman dan lolos standar,” katanya.
Komposisi bahan diuji coba beberapa kali untuk menemukan perpaduan yang sesuai. Panel berbahan karet dengan serat rami 100 persen, misalnya, dianggap kurang layak karena tidak dapat menahan peluru dengan optimal.
Ide penelitian itu muncul saat Mardiyati dilibatkan dalam Pusat Teknologi dan Keamanan (Pustekhan) ITB. Rekan-rekannya di pusat penelitian itu fokus pada bidang pertahanan dan keamanan.
Hal itu mendorongnya melakukan riset di bidang militer. “Apalagi masih banyak produk (pertahanan) yang materialnya berbahan impor. Sementara di sisi lain pemerintah sedang mendorong TKDN (tingkat komponen dalam negeri) 85 persen,” ucapnya.
Menurut Mardiyati, melimpahnya kekayaan serat alam di Tanah Air menjadi salah satu solusi menjawab persoalan itu. Oleh karenanya, penelitiannya harus terus dilakukan untuk menghasilkan inovasi produk di bidang militer.
Penelitian dimulai dengan mempelajari karakteristik serat alam. Hal ini penting untuk menentukan kombinasi material yang sesuai sehingga dapat diterapkan dalam produk antibalistik.
“Karena bahannya komposit, karet alam sangat mungkin meredam peluru. Karet alam menggantikan bahan epoksi dan serat rami dipakai untuk mengurangi penggunaan serat gelas,” ujarnya.
Penggunaan dua atau lebih bahan diperlukan demi mendapatkan material terbaik agar performanya optimal sehingga tujuan penggunaannya tercapai.
“Karet dan serat rami sangat potensi untuk dimanfaatkan karena tidak tumbuh di semua negara. Ini menjadi modal penting dalam penelitian, termasuk di bidang pertahanan,” jelasnya.
Inovasi panel antipeluru tersebut mengantarkan Mardiyati menjadi inovator terbaik dalam PRIMA Award ITB 2021. Kegiatan ini merupakan penghargaan bidang penelitian, pengabdian masyarakat, dan inovasi dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB.
“Penghargaan ini semakin meningkatkan motivasi saya untuk lebih baik lagi dalam inovasi sehingga nantinya produk-produk inovasi tersebut turut memberi solusi permasalahan yang kita hadapi bersama,” ujarnya.
Salah satu keunggulan panel antipeluru berbahan serat alam adalah lebih ringan. Panel berbahan serat rami 75 persen, misalnya, beratnya hanya 965 gram. Namun, jika berbahan serat gelas 100 persen beratnya mencapai 1.500 gram atau 1,5 kilogram.
Penggunaannya pun dapat disesuaikan dengan mengatur komposisi materialnya. “Jadi, bisa dibuat custom (keinginan pengguna). Misalnya, tujuannya untuk menahan peluru dengan kecepatan di bawah 856 meter per detik, dapat disesuaikan. Tentunya diteliti dan diuji coba lebih dahulu,” ujar dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB itu.
Bahan serat alam juga lebih mudah diperoleh. Mardiyati menyebutkan, serat rami yang dipakai sebagai bahan panel tersebut berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Namun, ia mengakui, bahan kimia tambahan berupa kompon karet masih impor.
“Ada racikannya. Bahan kimianya masih dari luar karena belum diproduksi di Indonesia. Namun, komponen utamanya lokal,” ucapnya.
Dengan bahan utama dan penelitian dalam negeri, panel antipeluru tersebut juga mendukung kemandirian riset. Selain itu, produknya juga tidak rentan disabotase negara lain ketimbang panel buatan asing.
“Jadi, negara lain tidak tahu kekuatan kita karena panelnya dibuat sendiri. Kita punya bahan-bahannya. Tinggal bagaimana riset-riset yang ada dikembangkan sesuai kebutuhan,” paparnya.
Mardiyati menambahkan, keunggulan lain panel antipeluru serat rami itu adalah mengusung konsep material hijau yang sedang digaungkan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan material ini mulai diminati dan mendapat pengurangan pajak karena dianggap lebih ramah lingkungan.
Penggunaan
Riset itu juga melibatkan peneliti lain, salah satunya Onny Aulia Rachman, lulusan Program Studi Magister Ilmu dan Teknik Material ITB tahun 2021. Menurut dia, selain rami, serat lain juga berpotensi dikembangkan menjadi materi antibalistik, salah satunya alga Cladophora.
“Ini sudah menjadi serat balistik yang menyamai Kevlar (material antibalistik komersial). Selain itu, ada juga serat Sansevieria,” ujarnya.
Serat-serat alam lainnya juga dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan produk pertahanan. Namun, terlebih dahulu harus diteliti karakter seratnya dan direkayasa dengan bahan lain untuk memenuhi standar spesifikasi tertentu.
“Ditelaah dengan pendekatan ilmu material. Jadi, tidak langsung diambil dari alam terus langsung diaplikasikan menjadi produk,” jelasnya.
Panel tersebut diproyeksikan menjadi pelapis antipeluru kendaraan, salah satunya, kapal patroli maritim. Panel dibutuhkan untuk melindungi area krusial dari tembakan senjata musuh seperti ruang kemudi, lambung, dan mesin.
Akan tetapi, fungsinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. “Bisa juga untuk pelapis antipeluru di bangunan (dinding),” ujar Aulia.
Keanekaragaman serat alam menjadi modal berharga untuk berkarya menghasilkan produk di berbagai bidang, termasuk pertahanan. Dengan inovasi, pemanfaatannya dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk asing sekaligus mendorong kemandirian bangsa.