Berbalut Rompi Antipeluru, Pengalaman Saya Selama di Kota Kabul
Jatuhnya kota Kabul ke tangan Taliban membawa ingatan kembali ke tahun 2018. Saat itu, selama tiga hari, wartawan harian ”Kompas”, Suhartono, menyertai rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke Afghanistan.
Menyusuri jalan raya dan lokasi tertentu di kota Kabul, Afghanistan, yang kerap dilanda konflik, memberi kenangan tersendiri. Jatuhnya Kabul ke tangan kelompok Taliban pada 15 Agustus 2021 menguak kembali ingatan tersebut.
Tiga tahun sebelum jatuhnya kota Kabul beberapa hari lalu, Pemerintah Indonesia pernah menjajaki proses perdamaian untuk mengakhiri konflik berdarah selama 30 tahun.
Setelah Presiden Joko Widodo berkunjung enam jam di kota Kabul pada Januari 2018, satu bulan kemudian ganti Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditugaskan berangkat guna mencoba mewujudkan proses perdamaian tersebut.
Penunjukkannya dilatarbelakangi pengalaman Kalla mewujudkan perdamaian di Ambon, Poso, Aceh, dan lainnya. Kunjungan berlangsung 27 Februari-1 Maret 2018. Penulis menyertai selama tiga hari.
Sebelum pesawat kepresidenan BBJ-2 memasuki wilayah udara Republik Afghanistan, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang mengawal Wapres Kalla bersiap-siap. Mereka tak hanya mempersiapkan rompi antipeluru, tetapi juga sejumlah senjata yang akan digunakan.
Sejurus kemudian, terlihat mereka sibuk memakai rompi. Ada pula yang mengatur penempatan senjata di balik pinggang dan paha. Wapres Kalla yang duduk di kabin utama depan sempat mendatangi para Paspampres untuk melihat persiapan peralatan pengamanannya.
Bahkan, Wapres Kalla sempat mencoba pistol milik salah seorang anggota Paspampres. Ia mendapat penjelasan, di antaranya, dari Wakil Komandan (Wadan) Paspampres Brigjen TNI Maruli Simandjuntak. Tak ketinggalan, para jurnalis yang ikut rombongan Wapres Kalla pun dibantu mengenakan rompi antipeluru secara benar oleh Paspampres.
Meskipun semua anggota rombongan, termasuk anggota Paspampres, memakai rompi, Wapres Kalla justru menolak menggunakan rompi keselamatan.
Sebelum pesawat mendarat di Bandara Internasional Kabul, Wadan Paspampres mengingatkan agar kami tidak melepas rompi antipeluru sebelum tiba hotel tempat kami menginap. ”Tolong, ya, rompi dipakai terus demi keselamatan teman-teman selama kunjungan Wapres,” ujar Maruli.
Tiba di Kabul, Paspampres kembali membantu memperbaiki posisi penggunaan rompi beberapa anggota rombongan, termasuk penulis. Meskipun semua anggota rombongan, termasuk anggota Paspampres, memakai rompi, Wapres Kalla justru menolak menggunakan rompi keselamatan.
Alasannya, selain terasa berat membebani tubuh, Wapres Kalla lebih memilih berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas keselamatannya di kota kaum Mullah tersebut. Tampaknya, Wapres Kalla senada dengan Presiden Jokowi yang dalam kunjungannya ke Kabul juga tidak mengenakan rompi antipeluru.
Baca juga : Merah Putih di Puncak Kilimanjaro
Saya pun merasakan tak hanya beban yang lumayan berat saat mengenakan rompi antipeluru, tetapi badan gampang berkeringat. Apalagi udara di kota Kabul saat itu cukup panas. Padahal, rombongan Wapres Kalla diminta tetap mengenakan setelan pakain sipil lapang (PSL), jas berikut dasinya.
”Apa boleh buat, saya harus pakai demi keselamatan,” pikir saya meski rompi antipeluru mengurangi keleluasan bergerak selama di Afghanistan.
Alhasil, sejak tiba di Kabul, rompi tak pernah lepas hingga saatnya naik ke pesawat kembali pulang ke Jakarta. Di hotel pun, rompi diminta tetap menempel di badan, kecuali saat tidur. Lucu juga saat membayangkan kembali, ke toilet pun, kami harus tetap memakai rompi antipeluru.
Saat mendarat pagi hari dengan udara yang cerah, sekitar 5 derajat Celsius, situasi bandara tampak dijaga ketat. Sejumlah tentara Afghanistan tampak lalu lalang dan bersiaga dengan senjata senapan mesinnya, AK-47. Meskipun tetap waspada, mereka tampak ramah. Penulis pun sempat berpose bersama.
Baca juga : Mampir ke Rumah Viktor Axelsen di Denmark
Dari bandara Kabul, rombongan dikawal ketat menuju hotel Sherena, tempat kami menginap, yang terletak di selatan Kabul. Jarak dari bandara ke pusat kota Kabul ternyata cukup jauh.
Rangkaian kendaraan terus berjalan kencang dipimpin voorijder meskipun melewati tikungan dan jalan-jalan zig-zag yang penuh barikade di kiri kanannya. Tak hanya pos-pos tentara, adakalanya terlihat juga panser atau pembatas jalan yang terbuat dari beton.
”Kalau kita jalan pelan, bisa berisiko. Jadi, harus cepat tiba di tempat tujuan,” ujar sopir Kedutaan Besar RI di Kabul, yang berkewarganegaraan Afghanistan.
Pada hari pertama di Kabul, Wapres Kalla bertemu Presiden Afghanistan Ashraf Ghani serta beberapa ulama dan tokoh lainnya di Istana Haram Sharai, seperti Ketua Dewan Tinggi Perdamaian (HPC) Afghanistan Kharim Kalili dan politisi senior yang juga Chief Executive Officer (CEO) Afghanistan saat itu, Abdullah Abdullah.
Melanjutkan ”pintu” proses damai yang telah dibuka oleh Presiden Jokowi, Wapres Kalla menghadiri pembukaan Konferensi Proses Kabul II di Ruang Char Chinar, kompleks Istana Haram Sharai, di Kabul.
Didampingi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Presiden Jokowi ditugaskan untuk memimpin bina damai (peace building) dan proses perdamaian (peace process) di Afghanistan.
Pemerintah Indonesia kemudian menggelar pertemuan tripartit antara ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, juga kerja sama ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia di Afghanistan.
Baca juga : Mengintip Narasumber ”Creme de la Creme” dalam Liputan Terorisme
Senjata terkokang
Masih jelas dalam ingatan Istana Haram Sharai yang indah dengan penataan bangunan dan taman-tamannya meskipun berada di tengah suasana perang. Istana itu kini dikuasai oleh kelompok Taliban.
Saat pagi, suasana sejuk dan damai terasa di kawasan kompleks istana tersebut. Padahal, di jalan-jalan menuju kawasan istana tampak barikade beton, pos-pos keamanan, serta polisi dan tentara Afghanistan yang berjaga-jaga.
Pada hari itu, menjelang berlangsungnya pertemuan, tampak petugas kebersihan tengah membersihkan halaman depan di bawah tangga pintu masuk ruang Char Chinar yang akan dipakai untuk pembukaan Konferensi Proses Kabul II.
Karena pertemuan Wapres Kalla dengan Presiden Afghanistan dan jajarannya cukup lama, sebagian rombongan diminta kembali terlebih dulu ke hotel. Namun, entah mengapa, sebagian rombongan kecil yang harus kembali ke hotel, termasuk saya yang harus segera menulis dan mengirim berita ke Jakarta, tidak dikawal sama sekali. Kami rombongan jurnalis pun pulang dengan mobil kedutaan tanpa pengawalan dan voorijder yang membuat kami sempat waswas.
Meski dilanda perang, kehidupan warga Kabul terlihat normal dan biasa di pusat kota. Mereka tetap melakukan aktivitas harian di pasar dan di jalan. Pedagang jus delima di kaki lima jalanan Kabul terlihat memutar alat pemeras buah dengan santai. Pedagang pakaian menjajakan jualannya seraya berteriak. Sejumlah pembeli berkerumun, menanti dengan sabar dilayani.
Rasa waswas kami memang beralasan. Walaupun kelihatannya sudah memotong jalan, rombongan sebagian wartawan nyaris tak dapat lewat. Sejumlah jalan dari arah Kedutaan Besar RI di Malalai Watt, Shah-re-Naw, yang dilalui dalam rute menuju hotel, nyaris ditutup.
Baca juga : ”Saya Noordin!”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi
Namun, akhirnya kami tiba dengan aman di hotel yang terletak di jalan Froshgah itu. Hotel bercat putih itu tercatat pernah diserang kelompok Taliban pada 2008 dan 2014. Buntut penyerangan tak hanya penduduk Kabul yang bekerja di hotel itu yang menjadi korban tewas, tetapi juga beberapa warga asing yang menginap.
Naser, warga Kabul yang menjadi pengemudi, tampak putus asa. Penjelasannya kepada beberapa petugas bersenjata Afghanistan yang menjaga rute perjalanan Wapres Kalla tak mau kompromi.
Walaupun menjelaskan dengan bahasa Pashtun, bahasa asli Afghanistan, kendaraannya tetap tak boleh lewat. Setelah satu jam berputar-putar dan mengontak petugas Kedutaan Besar RI di Kabul untuk dipandu, akhirnya mobil pers tiba juga di Hotel Serena.
Dari berbagai laporan yang diterima, kondisi Kabul hari itu memang tak menentu dan tidak lebih baik dari hari sebelumnya.
Sulitnya akses di Kabul tampaknya terkait dengan kondisi politik dan keamanan yang masih belum stabil. Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Syafruddin, yang menyertai rombongan Wapres Kalla saat itu, membenarkan.
Dari berbagai laporan yang diterima, kondisi Kabul hari itu memang tak menentu dan tidak lebih baik dari hari sebelumnya. Disebut-sebut, selain ada ancaman kelompok Taliban yang tak mau berunding dengan pemerintah, sekitar 5.000 anggota dan simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) juga sudah masuk kota Kabul.
”Pak Wapres aman, tidak akan terjadi apa-apa,” kata Syafruddin setelah mendampingi Wapres Kalla menghadiri Konferensi Proses Kabul II di Istana Haram Sharai.
Tak merasa takut
Kondisi Wapres Kalla selama di Kabul memang tak aman. Meski demikian, Kalla tidak merasa takut. ”Presiden Joko Widodo saja berani (ke Afghanistan). Saya, kan, mendapat tugas mewujudkan perdamaian. Masa takut,” ujar Kalla sebelum berangkat ke Afghanistan.
”Bagaimana orang dapat mendamaikan konflik kalau dia takut. Justru (dengan) keberanian itulah seseorang dapat menempatkan diri setara dengan mereka yang berkonflik agar dapat menengahi,” ucap Kalla tersenyum saat ditanya Kompas.
Walaupun hampir semua anggota rombongan memakai jaket antipeluru, termasuk pers, Kalla sendiri yang tidak memakainya. Padahal, pada hari kedua kunjungannya di Kabul, ia harus meletakkan batu pertama pembangunan klinik kesehatan di Pusat Islam Indonesia (Indonesia Islamic Centre/IIC) di Ahmad Shah Baba Mina, kawasan permukiman kumuh, yang berjarak 40-an menit berkendara dari kota Kabul.
Asal tahu saja, lokasi seluas 10.000 meter persegi itu berada di wilayah terbuka, yang dikelilingi rumah penduduk dan beberapa gedung. Jadi, rentan terhadap kemungkinan ada penembak jitu kepada para pejabat Kabul yang mendampingi Wapres Kalla ataupun Wapres Kalla sendiri, serta anggota rombongan Indonesia lainnya.
Karena itu, Wadan Paspampres Brigjen TNI Maruli Simandjuntak mengatakan, dalam perjalanan dari Kabul menuju Ahmad Shah Baba Mina yang selama ini dikenal sebagai ”jalur neraka”, pihaknya menempatkan dua penembak jitu Paspampres, selain 15 penembak jitu lainnya dari tentara Afghanistan.
Tak heran jika rangkaian mobil rombongan Wapres Kalla harus melaju cepat. Saat melaju cepat itulah debu mengepul-ngepul sehingga mobil di depannya sampai tak terlihat.
Sementara tentara Afghanistan dengan senjata terkokang nongol di jendela-jendela mobil dan di dalam mobil bak terbuka yang menjadi pembuka jalan menuju Ahmad Shah Baba Mina.
”Di jalan itu sering terjadi penghadangan dan penembakan karena sebelah kiri jalan adalah perbukitan dan sebelah kanan permukiman padat. Karena itu, kendaraan yang dipakai Pak Wapres adalah jenis antipeluru. Meski dikawal tentara Afghanistan, mobil ini harus dipacu cepat untuk menghindar jika ada penembakan,” kata Maruli mengutip penjelasan KBRI di Kabul.
Uniknya, menyikapi lokasi yang dituju, Kalla tidak terlihat gentar. ”Saya serahkan kepada-Nya,” ujar Jusuf Kalla, seperti diceritakan Maruli.
Ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Afghanistan, selain tak mau memakai jaket antipeluru, Presiden juga tak mau menggunakan kendaraan taktis (rantis) yang disiapkan aparat keamanan Afghanistan.
Padahal, sehari sebelumnya dan pada hari kedatangannya, Kabul diguncang bom dan serangan bersenjata yang menewaskan ratusan orang. Celakanya, ledakan tersebut tidak jauh dari KBRI di Kabul.
Kompas yang bertanya kepada pejabat Setneg saat Presiden Jokowi akan berangkat ke Kabul dari Pakistan waktu itu mendapat jawaban, ”Kita sudah usulkan kepada Sekretaris Militer Presiden agar, selain pakai rompi, Presiden juga naik kendaraan taktis (rantis).”
Lebih jauh, menurut Maruli, dalam kondisi apa pun, Paspampres harus selalu waspada. Apalagi Afghanistan adalah negara yang lama didera konflik bersenjata dan kekerasan. Sebelum berangkat, selama tiga minggu Paspampres berlatih penuh untuk mengantisipasi segala kemungkinan ancaman.
Bahkan, para anggota Paspampres yang ikut rombongan Wapres diseleksi dulu. Mereka yang terpilih harus berlatih tiap hari dalam penggunaan senjata, pencegahan ancaman, serta perlindungan dan penyelamatan rombongan, terutama Wapres Kalla.
”Pengalaman pengamanan Presiden Jokowi sebelumnya menjadi masukan dan evaluasi kami saat berangkat ke Afghanistan. Dengan begitu, kami dapat mempersiapkan diri dengan berlatih,” ujar Maruli.
Saat keberangkatan, Kompas mencatat ada belasan anggota Paspampres yang mendampingi Kalla. Mereka langsung dipimpin oleh Komandan Grup B Paspampres Kolonel Pas Deny Muis.
Adapun tim pendahulu (advance) yang datang beberapa hari sebelumnya terdiri atas belasan prajurit terlatih yang dipimpin Wakil Komandan Grup B Letkol Hernawan. ”Untuk tim advance, kami memberangkatkan tiga letnan kolonel,” kata Hernawan.
Dalam rombongan Wapres, juga ada Kepala Biro Pengamanan Sekretariat Militer Presiden Marsma TNI Haris Haryanto serta Deputi Bidang Intelijen Luar Negeri Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen TNI Chandra W Sukotjo dan Wakil Kapolri.
Saat keberangkatan di Base Ops Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Selasa (27/3/2018) pagi, Komandan Paspampres Mayjen TNI (Mar) Suhartono pun ikut mengantar keberangkatan anak buahnya.
Peran Indonesia
Kini, Kabul kembali jatuh ke tangan Taliban. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani juga sudah meninggalkan Afghanistan, menyusul tentara Amerika Serikat yang sebelumnya telah meninggalkan Afghanistan.
Meski demikian, Wapres Kalla saat ditanya Kompas, Minggu (15/8/2021) malam lalu, tetap merasa optimistis. Meskipun ibu kota Kabul telah jatuh ke tangan kelompok Taliban, Afghanistan tak akan lantas jatuh dalam pertumpahan darah dan perang saudara.
”Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan sama-sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan saling memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat. Saya kenal baik dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan Kepala Kantor Politik Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar. Januari lalu saya bertemu Pak Baradar di Qatar. Mereka akan berupaya menyelesaikan secara damai konflik di Afghanistan yang sudah berjalan 30 tahun lebih lamanya. Makanya, sepeninggal tentara AS, tak ada perlawanan dari tentara pemerintah saat Taliban menyerang. Mereka juga sudah bilang tidak akan mengusik kantor-kantor kedutaan besar di Afghanistan. Apalagi Kedubes RI,” papar Kalla.
Baradar yang kini memiliki peran penting di kelompok Taliban, tambah Kalla, sudah beberapa kali bertemu dengannya. ”Jadi, saya yakin, janji mewujudkan Afghanistan yang damai pasti akan diperjuangkan oleh Baradar jika memimpin Afghanistan,” uap Kalla.
Menurut Kalla, dunia kini menantikan masa depan Afghanistan yang damai pasca-Taliban berkuasa. ”Indonesia punya peran penting di Afghanistan dalam menjajaki perdamaian kemarin sehingga Pemerintah Indonesia juga harus mendukung upaya damai sekarang saat Taliban memimpin Afghanistan,” katanya.
Tentu, kehadiran Presiden Jokowi dan Wapres Kalla di Afghanistan pernah punya andil dalam mencoba mewujudkan proses perdamaian di Afghanistan.