Kompolnas dan Kementerian PPPA Kawal Korban KDRT yang Dijadikan Tersangka UU ITE
Kasus KDRT hingga kini menjadi momok bagi perempuan. Selain menjadi korban, perempuan justru kadang dikriminalisasi.
![https://cdn-assetd.kompas.id/8Rfwgk_xDJKmEPxL_-CuYl2hPnQ=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F25%2F1d3c1d85-67d2-48de-9025-424da608ffdc_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/8Rfwgk_xDJKmEPxL_-CuYl2hPnQ=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F25%2F1d3c1d85-67d2-48de-9025-424da608ffdc_jpg.jpg)
ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk, termasuk ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hukum, seperti yang dialami AP (34) di Bali. Perempuan yang sebelumnya menjadi korban kekerasan rumah tangga dari suaminya tersebut kini menjadi tersangka pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik .
Kasus AP sebelumnya viral di media sosial karena dia menjadi tersangka kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait unggahan di akun Instagram @ayoberanilaporkan6. Unggahan tersebut dianggap mencemarkan nama baik BA, seseorang yang diduga berselingkuh dengan suami AP.
Suami AP adalah seorang perwira TNI. Sebelumnya, AP melaporkan suaminya kepada Polisi Militer Kodam (Pomdam) setempat atas perbuatan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan penelantaran.
Proses hukum terhadap AP tersebut mendapat perhatian sejumlah kalangan, termasuk dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menyatakan, pihak Kompolnas bersama Kementerian PPPA dan instansi terkait hingga kini melakukan supervisi dan mengawal kasus tersebut. Bahkan, persidangan gugatan praperadilan dihadiri perwakilan pihak Kementerian PPPA
”Kasus pokok adalah laporan AP di Pomdam tentang kasus KDRT, perselingkuhan, dan penelantaran. Kasus tersebut sedang dalam proses hukum,” kata Benny saat dihubungi di Jakarta, Kamis (23/5/2024).
![Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto](https://cdn-assetd.kompas.id/dsb1EONSiGYqCUuNJGd0CFdAkMw=/1024x498/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F31%2F6619a821-a2c4-4078-a765-044c1d0b4088_jpg.jpg)
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto
Sementara kasus yang terkait dengan pelanggaran UU ITE yang saat ini ditangani Polresta Denpasar merupakan laporan dari pihak yang dituduh melakukan perselingkuhan dengan suami AP. Pihak pelapor merasa dirugikan karena unggahan di medsos oleh H yang disuruh AP.
Kasus H sudah diproses hingga tahap kedua ke jaksa penuntut umum. Sementara kasus AP masih dalam proses penyidikan. Atas kasus tersebut, AP menggugat praperadilan terkait penetapan sebagai tersangka terhadap dirinya.
Sejak April lalu, Kementerian PPPA mengawal upaya hukum AP melalui gugatan praperadilan atas kasus yang menimpanya. Gugatan pra peradilan dilakukan karena pihak AP menilai ada sejumlah keganjilan dalam proses hukum yang dijalani AP, termasuk penahanan yang dilakukan Polda Bali.
Baca juga: KDRT Masih Menjadi Ancaman Bagi Perempuan
Pelaksana Tugas (PLT) Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian PPPA Ratih Rachmawati menyatakan, Kementerian PPPA memberikan pendampingan kepada AP untuk memastikan bahwa perempuan harus mendapatkan keadilan serta bebas dari segala diskriminasi dalam sistem peradilan.
Sebab, dalam praktik sering kali perempuan yang berhadapan dengan hukum hampir tidak menemui titik terang dalam penyelesaian kasus yang dialaminya di mata hukum. Alih-alih menyelesaikan kasusnya di mata hukum, perempuan yang sering kali dalam posisi korban justru jauh dari kata perlindungan.
”Padahal, bisa dibayangkan, sudah menderita fisik dan juga psikis, korban masih harus mempersiapkan mental kuat-kuat untuk mengahadapi proses hukum,” ujar Ratih dalam keterangan pers, Rabu (22/5/2024).
Selain Kementerian PPPA, kasus AP juga dikawal oleh Kompolnas dan Dinas PPA Provinsi Denpasar Bali yang memantau proses gugatan praperadilan yang masih berlangsung di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.
![https://cdn-assetd.kompas.id/ZLzz3Q8pew7NEZEHpjtHEvg6ofg=/1024x2802/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F14%2F92f2b184-26ef-428a-8adb-292457584c6e_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/ZLzz3Q8pew7NEZEHpjtHEvg6ofg=/1024x2802/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F14%2F92f2b184-26ef-428a-8adb-292457584c6e_jpg.jpg)
Sejumlah kejanggalan
Adapun sidang praperadilan telah berlangsung dua kali, yakni pada Kamis (16/5/2024) dan Jumat (17/5/2024). Pada sidang gugatan praperadilan tersebut, pihak Kementerian PPPA mengirim Ahmad Sofian, tenaga ahli hukum pidana Kementerian PPPA untuk memberikan pandangan sebagai saksi ahli atas proses hukum yang dilakukan kepolisian terhadap AP.
Menurut Sofian, setelah melakukan pendalaman kasus, pihaknya menemukan beberapa kejanggalan dalam proses penanganan kasus AP oleh penyidik yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Kejanggalan tersebut, antara lain, proses penetapan AP sebagai tersangka sangat cepat tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu sebagai pelapor. Bahkan, AP tidak pernah menerima surat perintah dimulainya penyidikan sesuai ketentuan undang-undang.
Proses penetapan AP sebagai tersangka sangat cepat tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu sebagai pelapor.
”AP langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa dipanggil terlebih dahulu sebagai pelapor,” kata Sofian.
Selain itu, Sofian juga menyoroti penangkapan terhadap AP yang dilakukan kepolisian tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Begitu juga penyitaan barang bukti dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri.
”Tindakan-tindakan paksa oleh penyidik dalam proses ini terdapat cacat hukum acara dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara pidana,” paparnya.
Baca juga : Korban KDRT Jangan Dikriminalisasi!
![https://cdn-assetd.kompas.id/W6Tq__fygc7DBrhiObM7UkH725o=/1024x1559/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F05%2F08%2F20200508-HKT-Poin-KDRT-mumed-01_1588953809_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/W6Tq__fygc7DBrhiObM7UkH725o=/1024x1559/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F05%2F08%2F20200508-HKT-Poin-KDRT-mumed-01_1588953809_jpg.jpg)
Oleh karena itulah, Sofian berharap hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang menangani gugatan praperadilan AP dapat mempertimbangkan aspek hak dan perlindungan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Pihak Pengadilan Negeri Denpasar juga diminta menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum dalam mengadili perkara AP.
Sidang praperadilan terakhir akan dijadwalkan pekan depan dengan agenda pembacaan kesimpulan dan putusan dari hakim Pengadilan Negeri Denpasar.