Masyarakat sebagai Ujung Tombak Penanggulangan Bencana
Pelibatan masyarakat merupakan kunci membangun ketangguhan bencana.
Oleh
AHMAD ARIF, STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Tagana menyiapkan makan siang untuk pengungsi kebakaran di dapur umum Posko Tagana Jakarta Barat, Rabu (8/5/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Menguatnya intensitas dan frekuensi bencana, terutama terkait dengan krisis iklim, menuntut keterlibatan masyarakat dalam penanggulangannya. Tak hanya dalam merespons kondisi darurat, masyarakat seharusnya lebih dilibatkan dalam pengurangan risiko bencana.
”Upaya penanggulangan bencana di Indonesia saat ini masih cenderung struktural dan kurang melibatkan potensi masyarakat, terutama dalam pengurangan risiko,” kata Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno, Minggu (12/5/2024).
Menurut Eko, pelibatan masyarakat merupakan kunci membangun ketangguhan bencana. ”Kalau masyarakat tidak sadar dan terlibat untuk mengurangi risiko, biaya dan dampak bencana yang ditanggung akan sangat besar,” tuturnya.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dalam mewujudkan ketangguhan negara menghadapi bencana, setiap desa diharapkan bisa menjadi ”Desa Tangguh Bencana” atau disebut ”Destana”.
”Dengan Destana, artinya kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan komunitas hingga di level desa dalam menghadapi bencana harus diperkuat, baik sebelum, saat, maupun sesudah bencana. Ini di antaranya dengan membentuk Forum PRB (Pengurangan Risiko Bencana) di level desa, yang dimotori oleh komunitas itu sendiri,” papar Eko.
Menurut Eko, Destana ini seharusnya menjadi tanggung jawab tiap kementerian/lembaga, tidak hanya identik dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). ”Memang saat ini, dalam regulasinya, Destana masih fokus pada bencana geologi karena lahirnya UU Penanggulangan Bencana awalnya merespons tsunami Aceh. Ini yang sekarang perlu direvisi dengan mendorong Destana, terutama dalam menghadapi ancaman krisis iklim,” kata Teguh, yang menjadi inisiator revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) Desa Tangguh Bencana.
Potensi relawan bencana
Eko menambahkan, keberadaan relawan penanggulangan bencana seperti Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia bisa berperan penting dalam membangun Destana. ”Tagana seharusnya bisa jadi motor forum PRB di level desa untuk mewujudkan Destana,” ujarnya.
Tagana merupakan sukarelawan sosial dari masyarakat yang dirintis pembentukannya sejak tahun 2000-an, jauh sebelum lahirnya UU No 24/2007. Setelah melalui perumusan panjang, Tagana akhirnya dilembagakan melalui Peraturan Menteri Sosial No 28/2012 tentang Pedoman Umum Tagana dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 29/2012 tentang Tagana.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas petugas Taruna Siaga Bencana (Tagana) di dapur umum untuk pengungsi banjir bandang di Kantor Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, awal Desember 2023.
”Hingga saat ini, anggota Tagana sudah sekitar 51.000 orang walaupun yang mendapat dukungan dari Kemensos dan Dinas Sosial sekitar 39.000 orang. Sisanya Tagana yang dibentuk oleh swasta,” kata Andi Hanindito, salah satu pendiri Tagana, yang juga mantan pejabat di Kementerian Sosial (Kemensos).
Sekretaris Jenderal Kemensos Robben Rico mengatakan, Tagana mencakup relawan sosial terlatih dan tenaga kesejahteraan sosial yang aktif mendukung upaya pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat bencana, dan rehabilitasi pascabencana.
Para relawan bencana ini umumnya memiliki pekerjaan utama beragam, mulai dari ibu rumah tangga, penjaga warung, hingga karyawan swasta. Kaum perempuan sering kali bertugas di dapur umum di pengungsian, sementara kaum laki-laki bertugas membantu penyaluran bantuan hingga mengevakuasi korban.
Kami tidak mau menerjunkan mereka ke medan bencana tanpa keahlian atau keterampilan.
”Segala macam profesi ada, mereka memang orang-orang yang punya hati yang luar biasa untuk melayani. Mereka dilatih di Tagana Center terlebih dahulu karena kami tidak mau menerjunkan mereka ke medan bencana tanpa keahlian atau keterampilan,” kata Robben.
Masing-masing Tagana mendapatkan tali asih Rp 1.500.000 untuk enam bulan ditambah dengan insentif sebesar Rp 150.000, jadi totalnya setiap Tagana mendapat Rp 1.650.000. Robben menyadari bahwa tali asih dan insentif yang diberikan tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi Tagana di daerah bencana dan kebutuhan hidup sekarang. Kemensos, kata Robben, selalu ingin menaikkan nominal tersebut menjadi minimal Rp 500.000 per bulan.
DOKUMENTASI KEMENTERIAN SOSIAL
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Robben Rico saat berkegiatan di Karawang, Jawa Barat, November 2023.
Namun, hal tersebut tidak serta-merta bisa dipenuhi Kemensos karena harus melewati serangkaian prosedur birokrasi anggaran negara. Selain itu, asuransi kerja juga perlu diberikan kepada Tagana sebagai bentuk perlindungan.
Mereka dilatih di Tagana Center terlebih dahulu karena kami tidak mau menerjunkan mereka ke medan bencana tanpa keahlian atau keterampilan.
”Mau naik Rp 50.000 saja juga, kan, tidak semudah itu karena jumlahnya cukup banyak, ya. Makanya, kemudian mudah-mudahan nanti teman-teman di Kementerian Keuangan juga bisa juga melihat ini sebagai sesuatu bagian yang sebetulnya kalau dilihat dari nilai tidak sebanding dengan kontribusi yang diberikan oleh teman-teman Tagana,” tuturnya.
Kesiapsiagaan bencana
Tagana saat ini menjadi salah satu tumpuan penanggulangan bencana di daerah dari unsur masyarakat. Misalnya, Forum Koordinasi Tagana DKI Jakarta mencatat hingga kini anggotanya yang aktif dan punya keterampilan khusus mencapai 1.457 orang di seluruh wilayah administratif. Dari jumlah tersebut, anggota yang siap sedia saat ada bencana sebanyak 500 orang dari tingkat wilayah dan 50 orang dari Dinas Sosial DKI Jakarta.
Peran mereka selama ini kebanyakan setelah kejadian bencana. Ini penting, tetapi kehilangan makna strategis, fungsi, dan operasi sebelum bencana.
”Tagana Jakarta titik beratnya di dapur umum sesuai tupoksi dinas sosial. Juga mengurus logistik dan shelter (pengungsian). Di balik layar, masak, urus pengungsian, pendampingan, semuanya luar biasa capek, tetapi pentingkan kebutuhan warga,” tutur Wakil Ketua Forum Koordinasi Tagana DKI Jakarta Doddy Cahyadi, seperti dikutip dari Kompas.id (12/Mei/2024).
Wakil Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IAIB) Dicky Pelupessy mengatakan, merujuk frasa siaga bencana dalam kata Tagana, seharusnya ke depan lebih memprioritaskan kesiapsiagaan atau pengurangan risiko bencana.
”Peran mereka selama ini kebanyakan setelah kejadian bencana. Ini penting, tetapi kehilangan makna strategis, fungsi, dan operasi sebelum bencana,” kata Dicky dalam Kompas.id (12/5/2024).
Dia menyarankan pergeseran paradigma dari penanganan bencana ke pengurangan risiko bencana. Untuk mewujudkan hal itu, Tagana membutuhkan penguatan organisasi, program terstruktur, dukungan anggaran, dan kebijakan.