Kasus Mutilasi, Relasi Tak Aman dalam Perkawinan Mengancam Hidup Perempuan
Pembunuhan pada perempuan dengan alasan apa pun merupakan kejahatan. Melindungi perempuan mesti jadi perhatian bersama.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi perempuan. Sejumlah kasus yang terjadi belakangan ini di daerah-daerah di Indonesia menunjukkan betapa posisi perempuan dalam perkawinan maupun pacaran sangat rentan mengalami kekerasan hingga berujung pada kematian.
Bahkan kekerasan berbasis jender dan seksual yang dialami perempuan, yang kian ekstrem dan sulit diterima dengan logika, terus mencuat. Dalam sehari bisa terjadi sejumlah kasus di Indonesia. Orang mengenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi peristiwa-peristiwa itu sebenarnya merupakan bagian femisida (pembunuhan pada perempuan karena dia perempuan).
Contohnya, pada pekan lalu, Jumat (3/5/2024), di tempat berbeda, terjadi dua peristiwa pembunuhan keji terhadap perempuan. Dua ibu rumah tangga sebelum dibunuh suami dengan cara sadis, diawali dengan kekerasan fisik pada tubuh perempuan.
Pertama, di Ciamis, Jawa Barat. Pembunuhan dilakukan Tarsum (40) terhadap istrinya, Y (44), dengan cara tubuh korban dimutilasi. Tindakan itu dilakukan di tempat terbuka. Diduga tersangka membunuh dan memutilasi istrinya karena faktor ekonomi lantaran terjerat utang hingga Rp 100 juta akibat usahanya bangkrut. Namun, polisi belum bisa memastikan motif yang melatarbelakangi tindakan pelaku itu.
Kasus kedua terjadi Desa Temboan, Kecamatan Maesaan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Diduga karena cemburu, Refrain (26) membunuh istrinya, RT (24), dengan menggunakan pedang. Perbuatan tersangka bahkan dilakukan saat istrinya tidur gara-gara mendengar istrinya mengigau dan mengeluarkan kalimat yang dianggap tersangka, istrinya berhubungan dengan pria lain.
Saat mengigau korban mengeluarkan kata-kata ”Ndak usah pi kerja di Bolsel (Tidak usah pergi kerja di Bolaang Mongondow Selatan)”. Mendengar kata-kata itu tersangka lalu membunuh istrinya dengan parang sehingga melukai bagian kepala dan beberapa bagian di tubuh istrinya. Tak hanya itu, tersangka juga mendatangi mertuanya dan menganiaya mertuanya hingga mengalami luka parah.
Kematian korban menimbulkan kepedihan bagi keluarga. Apalagi korban memiliki dua anak, usia sekitar tujuh tahun dan seorang bayi berusia sekitar satu bulan. Bahkan anak sulungnya mengalami trauma atas kematian ibunya yang dibunuh sang ayah.
Kejahatan dalam bentuk penyiksaan fisik hingga berakhir pembunuhan pada perempuan yang makin sadis mengundang keprihatinan bagi semua orang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyerukan kepada semua pihak agar memberi perhatian serius, melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan berbentuk apa pun.
”Peristiwa demi peristiwa yang terjadi belakangan ini harus menjadi alarm atau pengingat bagi kita semua akan pentingnya memprioritaskan perlindungan perempuan dari kekerasan. Karena tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan pada perempuan di negeri ini,” ujar Bintang Darmawati kepada Kompas, Rabu (8/5/2024).
Menteri PPPA juga meminta secara khusus pendampingan psikologis pada anak-anak perempuan korban kejahatan. ”Kejadian ini pasti meninggalkan trauma bagi anak korban karena anak memiliki ingatan kuat pada setiap peristiwa. Maka, pemulihan untuk anak dan keluarga korban harus diberikan dan menjadi perhatian khusus,” ungkapnya.
Kasus demi kasus pembunuhan terhadap perempuan secara sadis seharusnya semakin membangunkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap perempuan, termasuk anak-anak dari berbagai kekerasan.
Bagi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus-kasus tersebut menambah jumlah perempuan yang terbunuh dalam relasi personal. Fenomena tersebut memperkuat hasil penelusuran pemberitaan yang dilakukan Komnas Perempuan atas pembunuhan terhadap perempuan atau femisida.
Kejadian ini pasti meninggalkan trauma bagi anak korban karena anak memiliki ingatan kuat pada setiap peristiwa. Maka, pemulihan untuk anak dan keluarga korban harus diberikan dan menjadi perhatian khusus.
Komnas Perempuan menemukan pada tahun 2023 pemberitaan tentang femisida intim menempati pemberitaan tertinggi, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi yang mencapai 67 persen atau 109 kasus diberitakan dari 159 kasus femisida yang diberitakan.
Femisida intim menempati pemberitaan tertinggi terbagi dalam jenis Kekerasan terhadap Isteri (KTI) sebanyak 64 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 33 kasus, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 11 kasus, Kekerasan Mantan Suami (KMS) sebanyak 1 kasus.
Pencegahan
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menilai femisida mendapat perhatian khusus Komnas Perempuan. Salah satu karakteristik femisida adalah sadistis dan perlakuan terhadap jenazah.
Pada tahun 2023 terdapat 10 perlakuan terhadap jasad yang merendahkan tubuh dan martabat korban, seperti diperkosa, dilucuti pakaiannya, dimutilasi, tubuh dirusak, dikemas dalam karung atau alat lainnya dan dibuang ke tempat di luar tempat kejadian perkara seperti di sungai, got atau parit, area persawahan, ataupun di pinggir jalan.
”Jadi, kesadisan atau kekejian dalam femisida sudah ada sejak dulu. Namun, kita selalu terhenyak ketika mendapati kembali kasus-kasus femisida. Tapi kita belum membangun pencegahan khususnya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dengan femisida,” ucap Aminah.
Karena itulah, diseminasi informasi tentang siklus kekerasan dan potensi femisida dalam KDRT harus ditingkatkan. Selain pada perempuan, masyarakat, lembaga-lembaga layanan korban, dan juga kepolisian. Tak hanya itu, pemerintah perlu segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal tak berakhir dengan kematian atau disebut danger assesment (DA).
Dalam kasus sebenarnya korban dan keluarga korban mengenali depresi dan perubahan perilaku pelaku (suami) dan meminta bantuan tenaga kesehatan. Namun, intervensinya belum cukup tepat karena belum adanya pemahaman akan potensi kekerasan yang akan semakin memburuk. Selain itu, petugas layanan kesehatan belum memiliki panduan untuk menilai tingkat bahayanya.
”Makanya, negara harus membuat mekanisme danger assessment. Kalau petugas kesehatan paham akan potensi femisida, si suami akan dievakuasi ke rumah sakit jiwa, tidak hanya dikasih obat penenang,” papar Aminah.
Mamik Sri Supatmi, pengajar Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengingatkan semua pihak untuk membangun kesadaran akan penghormatan terhadap martabat perempuan tanpa henti. Jika hal itu tidak dilakukan, daftar perempuan korban femisida akan terus memanjang.