Atasi Kekurangan Dokter, Pendidikan Kedokteran Berbasis Rumah Sakit Akan Diperkuat
Kondisi kekurangan jumlah dokter menjadi salah satu masalah terbesar pada sistem kesehatan di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kurangnya jumlah dokter di masyarakat menjadi salah satu masalah terbesar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Persebaran alat kesehatan dengan teknologi canggih dinilai tidak akan optimal dimanfaatkan tanpa adanya sumber daya manusia yang mumpuni. Kementerian Kesehatan pun berupaya melalui berbagai cara untuk meningkatkan jumlah dokter di Indonesia. Salah satunya melalui percepatan produksi tenaga kesehatan dokter dengan memperluas pendidikan kedokteran.
Presiden Joko Widodo mengatakan, kekurangan dokter, termasuk dokter spesialis, menjadi masalah terbesar di Indonesia. Rasio dokter saat ini masih 0,47 per 1.000 penduduk. Jumlah itu masih jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 1,76 per 1.000 penduduk. Selain itu, masih ada sekitar 34 persen rumah sakit umum daerah yang belum memiliki dokter spesialis.
”Memang problem terbesar kita adalah dokter yang kurang, dokter spesialis yang kurang. Ini persoalan besar kita,” ujar Presiden saat memberikan pidato pembuka dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2024 di Tangerang, Rabu (24/4/2024).
Karena itu, Presiden Jokowi menyampaikan, aturan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 telah mempermudah pendidikan dokter, termasuk dokter spesialis. Pendidikan kedokteran pun akan diperluas dengan tetap melalui skrining kualifikasi yang baik.
”Institusi pendidikan, baik itu universitas maupun rumah sakit yang ditunjuk, betul-betul bisa menghasilkan sebanyak-banyaknya dokter dan dokter spesialis karena yang saya lihat di lapangan, banyak rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis tertentu,” ujar Presiden.
Persoalan mengenai kurangnya ketersediaan tenaga kesehatan tersebut dinilai membuat pemanfaatan alat kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan menjadi tidak optimal. Pemerintah telah berupaya menyediakan alat kesehatan yang canggih, seperti alat MRI (magnetic resonance imaging) dan mesin catheterization laboratory (cath lab) di rumah sakit di daerah. Namun, alat tersebut tidak optimal digunakan karena tidak ada dokter spesialis yang mengoperasikan alat tersebut.
Kami akan utamakan dokter spesialis yang berasal dari daerah yang masih kekurangan dokter spesialis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, perluasan sistem pendidikan kedokteran dengan basis rumah sakit atau hospital based diharapkan dapat membantu mempercepat produksi dokter di Indonesia. Dengan sistem tersebut, produksi dokter spesialis tidak hanya terbatas dengan basis perguruan tinggi (university based), tetapi juga dengan basis rumah sakit.
Saat ini hanya terdapat 21 program studi dokter spesialis yang tersedia di Indonesia. Dengan sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, sebanyak 300 rumah sakit tipe A dan B yang ada di Indonesia juga dapat dioptimalkan untuk pendidikan dokter spesialis.
”Terkait dengan isu mutu, hospital based ini harus bisa setidaknya sama atau bahkan lebih bagus dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kita akan lakukan akreditasi dengan merujuk pada standar dari ACGME (Accreditation Council for Graduate Medical Education) yang juga digunakan di seluruh rumah sakit pendidikan di Amerika,” tuturnya.
Basis rumah sakit
Secara terpisah, Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menyampaikan, masalah kekurangan jumlah dokter di Indonesia menyangkut persoalan produksi dan distribusi. Karena itu, strategi yang dilakukan harus memastikan adanya percepatan produksi serta pemerataan distribusi dokter.
Dalam sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menyusun sejumlah ketentuan yang memastikan kedua persoalan tersebut bisa diselesaikan secara beriringan. Setiap rumah sakit pengampu untuk pendidikan kedokteran memiliki jejaring sampai ke daerah. Rumah sakit tersebut akan diutamakan pada rumah sakit yang masih memiliki kekosongan dokter spesialis.
”Sistemnya nanti kami akan utamakan dokter spesialis yang berasal dari daerah yang masih kekurangan dokter spesialis. Pada bulan pertama pendidikan akan bersekolah di rumah sakit pengampu, kemudian akan kembali lagi ke rumah sakit di daerahnya, baru pada tahap akhir kembali lagi ke rumah sakit pengampu. Dengan sistem ini diharapkan ketika lulus bisa kembali ke daerah,” tutur Arianti.
Ia menjelaskan, calon dokter spesialis yang menjalani pendidikan dengan basis rumah sakit akan dibiayai oleh Kementerian Kesehatan. Selama masa pendidikan pun akan mendapatkan insentif dari pemerintah sebesar Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan sampai lulus dari pendidikan dokter spesialis. Namun, penerimaan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit ini akan diprioritaskan bagi dokter yang berasal dari daerah yang masih kekurangan dokter spesialis.
Selain itu, Arianti menambahkan, pemerataan dokter juga akan dilakukan pengaturan melalui penerbitan surat izin praktik (SIP). Kementerian Kesehatan akan membatasi penerbitan SIP untuk dokter spesialis di daerah yang memiliki kecukupan dokter atau bahkan dengan jumlah dokter yang sudah melebihi kebutuhan. Dengan begitu, potensi adanya penumpukan dokter spesialis di kota besar bisa teratasi sekaligus mendorong pemerataan dokter spesialis di setiap daerah.
Dorongan Kementerian Kesehatan untuk pemerataan dokter spesialis di daerah pun dilakukan melalui program pendayagunaan dokter spesialis (PGDS). Selama sekitar satu tahun, dokter spesialis yang ditugaskan ke daerah dalam program ini akan mendapatkan insentif dari pemerintah.
Selain itu, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan membuka formasi bagi dokter spesialis menjadi pegawai aparatur sipil negara (ASN) di daerah dengan jumlah dokter spesialis yang masih kurang. Kerja sama dengan TNI-Polri pun dilakukan untuk memastikan keamanan dokter spesialis yang bertugas di daerah.
”Dari yang sudah kami hitung, take home pay bagi mereka yang bekerja sebagai dokter spesialis di daerah bisa mencapai Rp 50 juta-Rp 70 juta. Itu sudah dengan jaspel (jasa pelayanan) dan TPP (tambahan penghasilan pegawai),” tutur Arianti.
Ia juga mendorong komitmen pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di daerahnya. Hal itu dilakukan dengan memastikan pemerintah daerah telah memenuhi kebutuhan jenis dokter spesialis sebagai syarat dalam pemenuhan alat kesehatan yang berasal dari pengadaan pemerintah pusat.
”Kalau SDM yang dibutuhkan belum terpenuhi, pusat tidak akan memberikan alat tersebut. Jadi, tidak ada lagi masalah alat kesehatan yang tidak digunakan karena tidak ada SDM-nya,” katanya.