Ketahui Cara Mengatasi dan Mencegah Tantrum pada Anak
Tantrum bisa menjadi abnormal apabila berlanjut hingga usia anak tersebut mendekati remaja sehingga perlu intervensi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantrum sebagai ledakan emosi dan pelampiasan frustrasi anak bisa berdampak negatif terhadap perkembangan emosi mereka apabila tidak diatasi dengan benar. Orangtua atau pengasuh perlu mengetahui cara mengatasi, sekaligus mencegah tantrum, untuk mengurangi dampak negatifnya pada anak.
Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), I Gusti Ayu Trisna Windiani, menyampaikan, tantrum terjadi ketika anak tidak mampu meregulasi rasa frustrasi yang dialami. Tantrum juga menjadi periode ekstrem yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai dengan situasi yang diinginkan anak.
“Anak akan menunjukkan perilaku yang agresif akibat dari respons frustrasi dan kemarahan tersebut. Tantrum sebenarnya perkembangan yang normal pada anak, tetapi juga bisa menjadi abnormal,” ujarnya dalam seminar media secara daring, di Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Durasi bermain gawai mempunyai hubungan yang signifikan dengan temper tantrum emosional pada anak balita.
Umumnya, tantrum terjadi pada anak dengan rentang usia 18 bulan sampai 4 tahun. Intensitas tantrum akan semakin banyak pada anak dengan usia di bawah 4 tahun. Namun, intensitas tantrum ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak.
Menurut Trisna, tantrum bisa menjadi abnormal apabila berlanjut hingga usia anak tersebut mendekati remaja sehingga orangtua perlu melakukan intervensi untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui perkembangan sosial atau emosional anak mulai dari usia satu bulan hingga beranjak ke enam tahun.
Apabila telah mengetahui perkembangan sosial dan emosional anak, orangtua atau pengasuh bisa memahami penyebab tantrum. Penyebab tantrum yang paling umum pada anak adalah terkait dengan kondisi fisiologis, seperti lelah, lapar, bosan, dan frustrasi. Kemudian tantrum juga bisa terjadi karena masalah kesehatan yang dirasakan oleh anak.
Selain itu, penyebab tantrum juga dapat terjadi ketika anak menginginkan atau menolak sesuatu, mencari perhatian orangtua, dan adanya perubahan aktivitas yang mendadak. Sementara aspek lainnya bisa berkaitan dengan pola asuh orang tua yang kerap otoriter, permisif, keterikatan, dan selalu membuat peraturan yang tidak konsisten.
Adapun tanda dan gejala tantrum biasanya terlebih dahulu anak akan berteriak apabila ingin melakukan aktivitas tetapi dilarang orangtuanya. Setelah itu, anak akan bereaksi fisik, seperti berguling-guling atau melempar barang. Kemudian akhirnya anak akan menangis dan merengek karena kelelahan setelah semua reaksi fisik tersebut dilakukan.
“Dari gejala tantrum ini, sekitar 86 persen anak akan menangis, 40 persen berteriak, dan 13 persen merengek. Jika terdeteksi tantrum berat yang intensitas sering dan lama akan menjadi indikator gangguan internalisasi atau eksternalisasi,” ucapnya.
Apabila anak mengalami tantrum, orangtua atau pengasuh perlu tetap tenang dan tidak tersulut dengan sikap anak tersebut. Orangtua juga bisa mengabaikan perilaku anak tantrum untuk sementara dan berusaha mengalihkan perhatiannya. Apabila anak sudah tenang, barulah orangtua memberikan pemahaman dengan komunikasi yang baik.
Dampak gawai
Upaya orangtua dan pengasuh untuk mencegah tantrum juga bisa dilakukan dengan mengurangi atau membatasi anak dalam menggunakan gawai. Sebab, hasil studi yang dilakukan Neng Kurniati dari Universitas Bengkulu yang terbit di Jurnal Eduhealth Volume Tahun 2023 menunjukkan bahwa durasi anak menggunakan gawai berhubungan dengan terjadinya perilaku tantrum.
Penelitian yang dilaksanakan pada Mei 2022 di 30 kecamatan di Kota Bengkulu ini melibatkan 166 anak berusia di bawah lima tahun (balita). Dari pengumpulan data, tercatat 56 anak balita (33,7 persen) bermain gawai selama 20 menit per hari. Sementara 110 anak balita (66,3 persen) lainnya bermain gawai lebih dari 20 menit setiap hari.
Dari hasil studi tersebut, 108 anak balita atau sekitar 65,1 persen anak yang mendapat paparan gawai lebih dari 20 menit setiap hari mengalami tantrum. Sementara jumlah anak yang tidak mengalami tantrum sebanyak 58 anak balita atau 34,9 persen.
“Durasi bermain gawai mempunyai hubungan yang signifikan dengan temper tantrum emosional pada anak balita. Nilai Odd Ratio menunjukkan risiko terjadinya temper tantrum emosional pada anak balita meningkat 0,375 kali lipat yang bermain gawai lebih dari 20 menit,” tulis Kurniati dalam jurnal tersebut.
Paparan gawai yang terlalu lama ini pun akan mengubah perilaku dan menyebabkan gangguan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan kerusakan bagian otak, yakni prefrontal korteks. Prefrontal korteks adalah suatu bagian otak yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif, seperti merencanakan sesuatu, membuat keputusan, memecahkan masalah, mengontrol diri, mengingat instruksi, dan menimbang konsekuensi.