”Parental Burnout”, Saat Menjadi Orangtua Begitu Melelahkan
Pengasuhan anak bisa jadi sumber stres orangtua. Karena itu, pemulihan mental penting bagi kesejahteraan orangtua-anak.
Mengasuh anak bisa menjadi peran yang sangat membebani bagi orangtua. Perlawanan anak, tekanan keuangan, hingga lingkungan yang tidak mendukung bisa memperparah kelelahan fisik dan mental yang mereka alami. Dalam situasi ini, orangtua perlu menyadari kelelahan jiwa yang mereka alami dan mengambil jeda sejenak untuk merawat diri.
Bagi banyak orangtua, mengasuh anak bukanlah pekerjaan mudah. Dalam kultur pengasuhan di Indonesia, peran ini bisa berlangsung hampir 24 jam, seminggu penuh, dan akan terus berlangsung sampai setidaknya anak menikah. Masalah pengasuhan yang menekan mental emosional orangtua bisa beraneka macam sesuai tahap perkembangan anak.
Hal-hal yang bisa memancing emosi orangtua itu bisa apa saja, mulai dari hal sederhana hingga munculnya perkara berat. Anak berlaku tidak sopan, membantah, tidak mau diarahkan, bertindak kasar, hingga melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan merusak nama baik orangtua.
Semua itu bisa memicu kelelahan mental dalam pengasuhan anak alias parental burnout. Sindrom ini berkembang akibat stres kronis dalam mengasuh anak. Masalahnya, gangguan psikologis ini tidak hanya berdampak pada orangtua, tetapi juga terhadap buah hatinya.
Saat stres dan kelelahan itu memuncak, emosi negatif orangtua bisa dengan mudah terpicu. Akibatnya, mereka bisa salah mengambil keputusan hingga memarahi anak dengan kata-kata kasar, melampiaskan frustrasi mereka, memberi hukuman kepada anak, melakukan kekerasan fisik, bahkan mengusir anak.
Ciri utama kelelahan menjadi orangtua, menurut Alan Ralph dari Sekolah Psikologi Universitas Queensland, Australia, di The Conversation, 22 Mei 2023, bisa ditandai dengan munculnya kelelahan fisik atau emosional. Orangtua juga bisa kewalahan atau muak dengan perannya sebagai orangtua, malu dengan gaya pengasuhan yang dilakukan atau merasa tidak sebaik dulu dalam mengasuh anak, hingga terputus secara emosional dengan anak-anaknya.
Terkadang meluangkan waktu sejenak saja bisa membantu orangtua menenangkan diri sehingga bisa lebih efektif dalam menghadapi situasi itu.
Studi Isabelle Roskam dan rekan terhadap 17.409 orangtua di 42 negara yang dipublikasikan di Affective Science, 18 Maret 2021, menunjukkan prevalensi kelelahan dalam pengasuhan anak itu mencapai 5-8 persen.
Tingkat kelelahan lebih tinggi banyak ditemukan di negara Barat, terutama Amerika Serikat, Polandia, dan Belgia. Sementara tingkat kelelahan pengasuhan lebih rendah dijumpai di negara-negara Asia, mulai dari Jepang, China, Thailand, hingga Turki.
Meski belum diketahui apakah faktor budaya memengaruhi tingkat stres dalam pengasuhan anak, studi tersebut menemukan bahwa individualitas di negara-negara Barat berperan lebih besar dalam menyebabkan kelelahan pengasuhan anak dibandingkan soal kesenjangan ekonomi ataupun jumlah anak.
Kelelahan mengasuh anak ini sejatinya memberi beban lebih besar daripada kelelahan dalam bekerja alias job burnout. Pekerja bisa saja cuti atau mengundurkan diri saat mengalami kelelahan dalam bekerja untuk memulihkan jiwa mereka. Namun, menjadi orangtua tidak ada kesempatan untuk mengundurkan diri.
Masalahnya, kelelahan sebagai orangtua dalam pengasuhan itu justru sering diabaikan. Sekitar 60 persen orangtua tidak melakukan apa pun untuk memulihkan kelelahan mental mereka akibat pengasuhan anak. Situasi itu membuat orangtua merasa mereka menjadi orangtua yang tidak sesuai harapan dan keteteran dalam menyelesaikan segala urusan sehari-hari.
Baca juga: Tips Mengasuh Anak di Tengah Darurat Perkawinan Anak
Pengendalian diri
Saat kelelahan mengasuh anak itu memuncak, jelas bukanlah waktu yang tepat untuk mengambil keputusan. Meski termasuk orang dewasa, orangtua tetaplah manusia biasa yang terkadang sulit mengendalikan emosi. Menjadi orangtua bukan berarti mereka telah mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri.
Kondisi inilah yang memicu sebagian orangtua melakukan kekerasan fisik dan mental pada anak. Tak jarang, tindakan yang diambil itu justru memunculkan penyesalan panjang.
Orangtua juga sering beranggapan bahwa mereka harus terlihat sempurna di depan anak-anaknya. Padahal, anak tidak memiliki gambaran seperti yang dibayangkan orangtua. Orangtua juga manusia biasa yang tidak selalu bersikap logis saat menghadapi perilaku buruk dan tingkah tidak hormat anaknya.
Karena itu, terapis pernikahan dan keluarga di Westlake Village, California, AS, David Schwartz, dalam tulisannya di Psychology Today, 4 Maret 2024, mengatakan, menuntut orangtua untuk bisa selalu mengendalikan emosi dan tidak membiarkan emosi mereka memengaruhi penilaian terhadap anak adalah hal yang tidak adil dan juga tidak mungkin terjadi.
Bisa jadi, anak menyinggung masalah atau trauma yang dihadapi orangtua dan belum terselesaikan saat mereka sudah menjadi orangtua. Kadang pula, anak marah dan mengancam kabur dari rumah sehingga memicu ketakutan orangtua akan merasa sendirian dan ditinggalkan.
”Semua manusia sebenarnya sedang berproses dalam menghadapi banyak pengalaman hidup yang telah membentuk mereka menjadi manusia dewasa,” tambahnya.
Selain itu, anak remaja sering kali tahu bagaimana cara memancing dan melakukan hal yang paling menyakitkan bagi orangtuanya. Meski orangtua berusaha menjadi orangtua terbaik bagi remaja mereka, sering kali masa remaja menjadi masa yang sulit bagi siapa pun, baik bagi anak yang menjalani maupun orangtua yang menghadapi.
Namun, saat menghadapi situasi yang menekan mental itu, orangtua sering kali membuat keputusan secara emosional. Masalahnya, situasi ini umumnya sulit dihindari sehingga keputusan yang dihasilkan pun buruk, menyakiti anak, dan menimbulkan rasa bersalah pada orangtua.
Karena itu, saat menghadapi situasi yang menekan itu, Schwartz mengingatkan pentingnya orangtua menyadari kondisi yang terjadi dan risikonya. Jika bisa mengenali kapan merasa kewalahan dalam pengasuhan anak, maka mereka juga bisa melepaskan diri dari situasi tersebut selama beberapa waktu guna mendapatkan kembali ketenangan emosinya.
”Terkadang meluangkan waktu sejenak saja bisa membantu orangtua menenangkan diri sehingga bisa lebih efektif dalam menghadapi situasi itu,” tulisnya.
Upaya pemulihan mental itu bisa dilakukan dengan banyak cara, mulai dari sekadar menarik napas dalam-dalam, menjauhi sementara sumber pemicu stres, melihat alam, bercerita kepada orang lain yang dipercaya, atau meminta bantuan profesional kesehatan jiwa jika masalah yang dihadapi benar-benar rumit.
Dalam berbagai budaya, pengasuhan anak umumnya lebih dibebankan kepada istri. Padahal, di masa sekarang, banyak istri yang selain menjadi ibu juga harus bekerja.
Karena itu, saat kelelahan mengasuh sudah memuncak, istri bisa meminta bantuan suami untuk mengambil alih pengasuhan sementara atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bisa jadi, pasangan lebih mampu menghadapi situasi yang menekan mental itu tanpa memperburuk keadaan.
Meski demikian, dalam pemulihan mental itu, penting bagi orangtua untuk memaafkan dan mengasihi diri sendiri, memberi pertimbangan yang sama seperti saat mereka menyarankan solusi masalah anak kepada orang lain, hingga tidak terlalu keras atau terlalu kritis pada diri.
”Orangtua yang baik pada diri sendiri dan memprioritaskan perawatan diri (self-care) memiliki kesehatan dan kesejahteraan umum yang lebih baik,” tulis Ralph.
Pemulihan mental ini juga membangkitkan kembali rasa percaya diri mereka dalam mengasuh anak. Upaya ini pada ujungnya akan membangun interaksi lebih positif antara orangtua sehingga meningkatkan kesejahteraan orangtua dan anak. Karena itu, merawat diri demi kesehatan mental yang baik dalam pengasuhan anak bukanlah tindakan yang egois.
Baca juga: ”Sharenting” Mengubah Pola Pengasuhan Anak
Semua orangtua memiliki peluang untuk pulih dari kelelahan pengasuhan anak dan menjadi berkah bagi anaknya. Namun, mengasuh anak memang tidak selalu mudah. Apalagi, tidak ada sekolah bagi orangtua dan tidak ada orangtua yang sempurna.