Mengendalikan Penyakit Busuk Batang pada Jagung
Mengendalikan penyakit busuk batang pada jagung bisa dilakukan secara genetik, hayati, kultur teknik, dan kimiawi.
Jagung merupakan komoditas pangan utama kedua setelah padi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi jagung di Indonesia pada 2023 adalah 14,46 juta ton. Namun, angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 16,53 juta ton.
Produksi jagung di Indonesia tidak hanya untuk kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga untuk keperluan pakan hewan ternak dan unggas. Mengingat tingginya kebutuhan ini, pemerintah pun terus berupaya meningkatkan produksi jagung baik intensifikasi maupun ekstensifikasi, termasuk dengan cara perluasan area dan perakitan varietas unggul baru.
Meski demikian, dalam budidaya tanaman jagung kerap ditemui kendala biotik maupun abiotik yang dapat menghambat peningkatan produksi. Salah satu penyakit baru yang sering menyerang jagung adalah busuk batang yang disebabkan oleh bakteri Dickeya zeae. Penyakit ini telah dikeluhkan petani dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan karakteristik patologi, pada tanaman jagung bakteri Dickeya zeae ditemukan menular melalui media tanah. Inokulum patogen atau populasi mikroorganisme dapat bertahan 150-270 hari di tanah dan masa inkubasi penyakit berkisar 19-36 hari setelah tanam. Bakteri ini juga dapat menyebar melalui air irigasi hingga 10 meter.
Gejala serangan dari bakteri ini adalah daun akan menguning serta jaringan yang terinfeksi menjadi coklat, lunak, dan basah. Bau busuk dan adanya larva diptera di jaringan yang membusuk merupakan gejala khas penyakit ini. Pembusukan batang terjadi pada satu atau dua ruas maupun seluruh batang yang akhirnya akan mengering.
Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Suriani, mengemukakan, Dickeya zeae juga bisa menyebabkan infeksi pada beberapa komoditas unggulan, seperti pisang, padi, nanas, dan lidah buaya. Tercatat, bakteri ini mampu menginfeksi sekitar 22 komoditas tanaman monokotil dan 24 tanaman dikotil.
Penyakit busuk lunak pada pisang pertama kali dilaporkan di kota Guangzhou, China, pada 2009. Sementara penyakit busuk pangkal batang padi mulai dilaporkan pada 1980-an di beberapa provinsi di China dengan insiden penyakit 15-100 persen.
Bakteri Dickeya zeae di Indonesia dilaporkan untuk pertama kalinya oleh peneliti pada 2002 yang ditemukan pada daun lidah buaya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Adapun pada 2020 di Lampung berhasil diidentifikasi penyakit busuk lunak pada komoditas nanas.
Khusus untuk tanaman jagung, keberadaan penyakit busuk batang pertama kali dilaporkan oleh Karantina Mamuju di Sulawesi Barat pada 2019. Pada tahun yang sama, mahasiswa Universitas Lampung juga melaporkan keberadaan bakteri ini di Jawa Tengah dan Lampung.
Pada 2023, Suriani bersama peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN lainnya kembali mencoba mengeksplorasi persebaran Dickeya zeae. Hasilnya, keberadaan bakteri ini telah terdeteksi di beberapa wilayah, seperti Sulawesi Barat, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Yogyakarta.
Menurut Suriani, tingkat infeksi penyakit busuk batang pada jagung yang dilaporkan di negara lain seperti India telah mencapai 96,65 persen. Adapun di Pakistan, hasil survei di 266 wilayah di negara tersebut menunjukkan, insidensi penyakit ini berkisar 9-78,5 persen.
Baca juga: Mengembangkan Potensi Tanaman Aneka Kacang Lokal
”Kami menemukan bahwa ternyata di Kabupaten Bone sebagai salah satu wilayah penghasil jagung di Sulawesi Selatan ternyata petani sudah mengeluhkan penyakit busuk batang,”ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pengelolaan Patogen Utama Tular Tanah dan Produksi Benih Bermutu dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Jagung Nasional”, Rabu (17/4/2024).
Mekanisme pengendalian
Suriani menjelaskan, secara umum upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan dengan strategi preventif dan kuratif. Strategi preventif merupakan pengendalian penyakit yang dilakukan sebelum terlihat adanya serangan OPT, sedangkan strategi kuratif dilakukan segera setelah adanya serangan OPT.
Teknologi pertama yang bisa dilakukan adalah penggunaan varietas tahan penyakit busuk batang. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada laporan ilmiah terkait perakitan varietas unggul baru (VUB) pada jagung hibrida maupun komposit yang tahan terhadap serangan busuk batang mengingat penyakit ini masih tergolong baru di Indonesia.
Meski demikian, pada 2023 peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN menemukan dua galur hibrida elite potensi produksi tinggi tahan terhadap penyakit busuk batang. Kedua galur konsisten memiliki nilai Luas Daerah di Bawah Kurva Perkembangan Penyakit (LDBKPP) rendah dan indeks proteksi lebih dari 50 persen pada musim tanam.
”Untuk pengendalian secara hayati, di India sudah dilaporkan dua genus bakteri yang efektif mengendalikan Dickeya zeae, yakni Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus subtilis. Di Indonesia, kami juga mencoba melakukan skrining bakteri rizosfer untuk mengendalikan Dickeya zeae,” kata Suriani.
Dari hasil skrining 50 isolat bakteri rizosfer didapatkan 4 isolat yang berpotensi mengendalikan bakteri Dickeya zeae. Setelah itu, dilakukan pengujian terhadap Fusarium verticillioides yang merupakan salah satu patogen penyebab penyakit penting pada jagung yang dapat ditularkan melalui benih dan tanah. Hasilnya, didapat 3 isolat yang berpotensi dilanjutkan.
”Kami fokus melihat kemampuan terhadap Fusarium verticillioides karena patogen ini terkadang bersinergi untuk memunculkan penyakit busuk batang. Terkadang Fusarium terlebih dahulu menginfeksi lebih awal sehingga menyebabkan luka dan memudahkan bakteri Dickeya zeae masuk hingga muncul penyakit busuk batang,” tuturnya.
Kultur teknik
Upaya pengendalian lainnya yang bisa dilakukan menurut Suriani adalah dengan kultur teknik. Upaya ini dilakukan dengan cara mengurangi kesesuaian ekosistem, mengganggu kontinuitas penyediaan keperluaan hidup OPT, mengalihkan populasi OPT menjauhi tanaman, dan mengurangi dampak kerusakan tanaman.
”Kita bisa menciptakan agar kondisi lahan tidak sesuai dengan perkembangan patogen seperti membajak lahan secara optimal. Hal utama lainnya adalah melakukan pemupukan berimbang, menjaga kelembaban tanaman, dan menghindari penanaman jagung pada lokasi yang memiliki drainase kurang lancar atau berpotensi terendam banjir,” ucapnya.
Selain itu, pengendalian secara kimiawi juga bisa diterapkan untuk mengendalikan penyakit busuk batang. Hasil penelitian di India tahun 2016 melaporkan fungisida tembaga dengan kombinasi antibiotik secara signifikan bisa menghambat pertumbuhan bakteri Dickeya zeae.
Baca juga: Unhas Kembangkan Jagung Jago, Bisa Ditanam di Dataran Tinggi
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Puji Lestari mengatakan, tanaman jagung masih menjadi prioritas utama riset karena untuk mendukung ketahanan pangan nasional, pakan ternak, hingga bahan baku industri. Oleh karena itu, riset terkait tanaman jagung sangat strategis untuk membantu menopang pengembangan agribisnis.
”Permasalahan pada jagung harus kita antisipasi agar potensi produksi secara nasional bisa kita jaga. Jagung menjadi komoditas yang kami munculkan dalam platform pemuliaan presisi dan di dalamnya ada pengelolaan hama penyakit,” katanya.