Patriarki Masih Melembaga, Partisipasi Perempuan dalam Perencanaan Pembangunan Minim
Berbagai kekerasan terus dialami perempuan. Bersuara dalam perencanaan pembangunan sangat penting bagi perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Upaya organisasi masyarakat sipil dalam mendorong partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan terus mendapat dukungan pemerintah. Setelah berhasil menggelar Musyawarah Nasional Perempuan untuk Perencanaan Pembangunan atau Munas Perempuan pertama di Jakarta pada 2023, tahun ini kembali digelar Munas Perempuan kedua di Kabupaten Badung, Bali.
Munas Perempuan ke-2 Tahun 2024 digelar sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Mitra INKLUSI (program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) pada 19-20 April 2024 di Gedung Giri Nata Mandala, Sempidi, Mengwi, Badung.
Adapun organisasi mitra INKLUSI yang menjadi penyelenggara Munas Perempuan kedua adalah Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Migrant Care, Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) Perempuan, Aisyiyah, Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Perempuan Kepala Keluarga Indonesia (PKBI), Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab), Kemitraan (Partnership), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum), serta Perempuan Sumatera Mampu (Permampu).
Forum pertemuan yang akan diikuti oleh perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal lainnya dari 477 desa, 163 kabupaten, dan 35 provinsi juga akan berlangsung secara daring.
Munas Perempuan ke-2 Tahun 2024 akan mewadahi partisipasi akif dan bermakna perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal melalui proses penjaringan aspirasi melalui musyawarah atau rembuk di tingkat nasional. Selain itu, agenda lain adalah merumuskan isu-isu dan menganalisis sembilan agenda penting lain.
Adapun sembilan agenda tersebut adalah kemiskinan perempuan (perlindungan sosial), perempuan pekerja, penghapusan perkawinan anak, ekonomi perempuan, kepemimpinan perempuan, kesehatan perempuan, perempuan dan lingkungan hidup, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.
Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian PPPA Titi Eko Rahayu mengungkapkan latar belakang diselenggarakannya Munas Perempuan kedua tahun 2024 antara lain karena partisipasi bermakna masih merupakan isu krusial bagi perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok marginal lain.
”Minimnya partisipasi bermakna tersebut dapat kita lihat pada tiga aspek, paling tidak secara kuantitatif menunjukkan jumlah yang kecil dalam proses pelibatan ataupun keterwakilan pada lembaga-lembaga pengambilan keputusan strategis,” kata Titi, Rabu (17/4/2024).
Kenaikan indeks ketimpangan jender juga belum signifikan dan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga belum meningkat.
Sebelumnya, saat berdialog dengan media, Titi bersama sejumlah pemimpin organisasi masyarakat sipil mitra INKLUSI juga menegaskan, selama ini usulan yang merepresentasikan kepentingan perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok marginal sangat minim. Selain itu, posisi tawar mereka lemah dalam memengaruhi pengambilan keputusan.
Tantangan lain adalah budaya patriarki yang masih melembaga dalam cara pandang, tata cara kehidupan sehari-hari, dalam kebijakan di berbagai lini di sektor sosial budaya, ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan.
Dalam sistem perencanaan pembangunan Indonesia yang bottom up dengan proses musrenbang dari desa hingga nasional, mestinya mempunyai peluang yang besar untuk menyuarakan kepentingan. Namun, kenyataannya, nyaris tidak disediakan ruang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga membuat partisipasi perempuan dalam pembangunan minim.
Di sisi lain, hingga kini, perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok marginal lain masih terus menghadapi berbagai persoalan, seperti kekerasan, perkawinan anak, serta tingginya angka kematian ibu dan anak. Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan masih jauh dari laki-laki, begitu juga kenaikan Indeks Ketimpangan Jender juga belum signifikan dan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga belum meningkat.
Padahal, Indonesia memiliki modalitas kebijakan, penganggaran, dan implementasi yang menunjukkan beberapa kemajuan. Bahkan, saat ini, ada sejumlah praktik baik kolaborasi antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Kehadiran organisasi masyarakat sipil yang memiliki kompetensi pengetahuan, integritas, reputasi, kekuatan kolektif, jejaring, dan basis masa mendorong sejumlah agenda yang selama ini tersembunyi.
Perempuan disabilitas
Ninik Heca dari Sigap mengungkapkan, selama ini perempuan pekerja disabilitas mengalami sejumlah tantangan dalam mengakses informasi lowongan pekerjaan. Ketika bekerja, mereka menghadapi stigma dan diskriminasi di tempat kerja. Namun, jarang ada yang mengungkap kondisi tersebut.
”Diskriminasi tecermin juga pada penyediaan fasilitas yang aksesibel yang masih sangat jarang sekali sehingga akhirnya menghambat perempuan difabel untuk masuk ke dunia kerja yang nyaman. Belum lagi pemahaman bagi dunia usaha dan instansi soal kuota penerimaan pekerja disabilitas 2 persen di pemerintahan dan 1 persen di swasta,” kata Ninik.
Husnawati dari Mitra Bakti menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat, tetapi tidak terdata karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Belum lagi, kekerasan seksual di dunia daring.
”Selama ini, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak mendapatkan layanan BPJS sehingga ada rumah sakit yang menyebutkan sebagai kasus kecelakaan,” ucap Husnawati.
Seperti Munas Perempuan pertama pada 2023, Misiyah dari Kapal Perempuan berharap Munas kedua ini menjadi saluran aspirasi bersama bagi para perempuan, disabilitas, dan kelompok marginal. Mereka selama ini tidak bisa masuk ke dalam jalur-jalur perencanaan yang sudah ada.
”Sebenarnya Indonesia ini bagus sekali punya bottom up, tetapi belum semua bisa terwadahi,” katanya.
Oleh karena itu, dibuat satu forum khusus munas ini. Forum ini juga bertujuan secara khusus untuk kesetaraan jender, kesetaraan bagi disabilitas, dan kelompok marginal lain dapat hidup inklusif di Indonesia.
Terkait perubahan kepemimpinan nasional, organisasi masyarakat sipil berharap kelanjutan kolaborasi terkait isu perempuan akan berlanjut dalam lingkup lebih luas. Karena itu, penting mengawal dan memastikan kepentingan dan aspirasi perempuan dan kelompok rentan masuk dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan.
Munas Perempuan pada 17-18 April 2023 diikuti sekitar 3.000 perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Acara tersebut dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Munas tersebut mengangkat isu-isu jender, perempuan, dan anak dengan keberagaman kondisi serta latar belakang sosial, ekonomi, demografi, wilayah, dan lainnya yang berperspektif GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion).