Temuan Depresi pada Calon Dokter Spesialis Perlu Tindak Lanjut
Diagnosis tepat dan penanganan yang baik perlu dilakukan untuk menindaklanjuti temuan gejala depresi pada peserta PPDS.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Verifikasi dan tindak lanjut atas hasil penapisan atau skrining pada kondisi kesehatan jiwa peserta program pendidikan dokter spesialis perlu dilakukan secara komprehensif. Diagnosis yang tepat amat diperlukan untuk memastikan kondisi setiap individu, termasuk gejala depresinya. Hal ini sekaligus sebagai evaluasi agar proses pendidikan kedokteran bisa berjalan lebih baik.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Selasa (16/4/2024), mengatakan, temuan hasil skrining terkait gejala depresi pada peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) perlu tindak lanjut yang lebih baik. Temuan tersebut agar tak berhenti pada angka deskriptif, tetapi harus dilakukan analisis kualitas untuk melihat faktor penyebabnya.
”Ini (data gejala depresi pada peserta PPDS) merupakan hasil skrining yang tentunya perlu diverifikasi dengan diagnosis yang pasti. Jadi, ada tidaknya depresi pada PPDS perlu dilakukan diagnosis oleh para pakar, yaitu dokter jiwa atau psikolog atau juga dokter dan petugas kesehatan lain yang kompeten,” tuturnya.
Menurut Tjandra, pemeriksaan lebih lanjut oleh ahli sangat penting. Diagnosis tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan jawaban pertanyaan pada skrining massal. Jika sudah dipastikan ada gangguan depresi sesuai dengan tingkatannya, penanganan lebih lanjut bisa diberikan dengan tepat.
Risiko depresi bisa terjadi pada siapa pun. Berbagai penelitian pun menunjukkan risiko depresi meningkat di masyarakat secara umum. Depresi di masyarakat, termasuk di dunia pendidikan, bukan hal baru.
Tjandra berpendapat, skrining terkait kesehatan jiwa diharapkan bisa dilakukan secara luas di masyarakat. Hal itu juga termasuk pada program pendidikan lain selain kedokteran.
Bukan tidak mungkin, data pada peserta program pendidikan dokter spesialis menggambarkan data pada populasi secara umum.
”Kalau ada pembanding, maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang pada dunia pendidikan umumnya. Bukan tidak mungkin, data pada peserta program pendidikan dokter spesialis menggambarkan data pada populasi secara umum,” ujarnya.
Perlu dukungan
Selain itu, Tjandra menuturkan, pemerintah didorong agar bisa memberikan dukungan pada pendidikan PPDS yang lebih baik. Dukungan tersebut baik dalam bentuk dukungan sarana maupun kemudahan peserta PPDS dalam menjalankan proses pendidikannya.
Berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa pada peserta PPDS di 28 rumah sakit vertikal ditemukan 22,4 persen peserta terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen di antaranya bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Penapisan tersebut dilakukan pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire -9. Sebanyak 12.121 PPDS terlibat dalam penapisan tersebut.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Budi Santoso menyebutkan, adanya temuan terkait gejala depresi pada peserta PPDS perlu disikapi dengan baik dan tepat. Survei yang dilakukan berbasis kuesioner ini perlu dilakukan tindak lanjut.
Kuesioner merupakan bentuk pengakuan, sementara diagnosis depresi perlu dipastikan melalui pemeriksaan dari ahli. Karena itu, pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan segera perlu dilakukan, khususnya pada peserta yang ditemukan dengan gejala depresi sedang-berat dan berat.
Budi menyarankan, antisipasi kondisi depresi pada peserta program pendidikan dokter spesialis dapat dilakukan dengan memastikan adanya tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) pada proses seleksi. Tes MMPI merupakan pemeriksaan kondisi psikologis individu untuk mengidentifikasi karakteristik kepribadian dan psikopatologi.
Lewat tes yang bersifat obyektif, diharapkan pula bisa memastikan calon dokter spesialis benar-benar memilih bidang yang sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Selain itu, proses pendidikan yang dilakukan juga perlu dibangun lebih menyenangkan, termasuk dengan adanya pendampingan dari dosen wali.
”Sistem deteksi dini terhadap adanya stres bisa dilakukan secara rutin terhadap peserta didik sehingga persoalan yang ada bisa diselesaikan dalam waktu cepat,” katanya.