Menkes: Segera Selamatkan Calon Dokter Spesialis yang Bergejala Depresi Berat
Tindak penyelamatan dilakukan pada peserta pendidikan dokter spesialis dengan gejala depresi terutama pada gejala berat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil skrining yang dilakukan Kementerian Kesehatan terkait kesehatan jiwa peserta program pendidikan dokter spesialis atau PPDS menemukan adanya gejala depresi. Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi paling tinggi ditemukan pada peserta yang berasal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, dan RS Sardjito Yogyakarta. Tindak lanjut pada peserta didik dengan gejala depresi berat pun dilakukan.
Hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 tersebut menunjukkan 22,4 persen peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal mengalami gejala depresi. Skrining dilakukan pada 12.121 PPDS dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire -9.
Dari jumlah peserta PPDS yang mengalami depresi, 0,6 persen atau 75 peserta di antaranya mengalami gejala depresi berat; 1,5 persen atau 178 peserta dengan depresi sedang-berat; 4 persen atau 486 peserta dengan depresi sedang; dan 16,3 persen atau 1.977 peserta dengan gejala depresi ringan.
Dari jumlah peserta PPDS yang mengalami depresi, 0,6 persen atau 75 peserta di antaranya mengalami gejala depresi berat.
Terkait tindak lanjut pada gejala depresi yang ditemukan pada peserta PPDS tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (15/4/2024), memerintahkan segera dilakukan penanganan kepada mereka, terutama yang bergejala depresi berat. Penyebab gejala depresi tersebut pun agar perlu diketahui dengan tepat.
”Yang depresi berat kalau tidak ditangani bisa fatal akibatnya, kasihan mereka,” kata Budi Gunadi Sadikin. Ia pun menekankan agar peserta PPDS yang depresi berat tersebut segera dirawat.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menyampaikan, survei yang dilakukan untuk skrining kesehatan jiwa peserta PPDS diharapkan dapat mendorong proses pendidikan dokter yang lebih baik. Semua aspek pendidikan kedokteran akan ditingkatkan, termasuk kesehatan fisik dan psikis dari peserta PPDS.
”Ke depan bukan hanya PPDS, melainkan juga seluruh karyawan rumah sakit, seperti dokter, perawat, dan tenaga penunjang, akan kami skrining juga. Semua dalam rangka peningkatan pelayanan,” tuturnya.
RS pendidikan
Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi, paling tinggi ditemukan pada peserta yang berasal dari RS Cipto Mangunkusumo (22,4 persen), RS Hasan Sadikin (12,9 persen), dan RS Sardjito (12 persen). Selain itu, gejala depresi juga ditemukan cukup tinggi pada peserta PPDS yang berasal dari RS Ngoerah Bali (10,5 persen), dan RS Wahidin Sudirohusodo Makassar (8,8 persen).
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) Andi Wahyuningsih Attas mengatakan, gejala depresi pada peserta PPDS yang ditemukan dari hasil skrining tersebut perlu dievaluasi secara komprehensif. Sebab, berbagai faktor bisa menjadi pemicu terjadinya depresi pada seseorang, termasuk pada peserta PPDS.
“Kita perlu telusuri lagi dari hasil survei (kesehatan jiwa PPDS) ini. Gejala depresi yang dialami bisa saja bukan terkait pendidikan, melainkan hal lain, seperti keluarga ataupun masalah lain selain terkait pendidikan. Kita perlu tahu penyebabnya dan kemudian mencari solusi dari masalah itu,” katanya.
Menurut Andi, hasil skrining tersebut bisa pula menjadi bentuk evaluasi atas sistem pendidikan dan kurikulum yang selama ini berjalan. Itu terutama karena skrining dilakukan pada rumah sakit vertikal utama yang juga menjadi rumah sakit pendidikan utama di Indonesia. Skrining ini diusulkan untuk bisa dilakukan secara rutin agar upaya pencegahan dan antisipasi bisa dilakukan sejak dini.
Evaluasi dapat dilakukan pemangku kepentingan terkait, khususnya pada tiga unsur pendidikan kedokteran utama, yakni rumah sakit pendidikan, kolegium terkait, serta dekan dari fakultas kedokteran. Perbaikan sistem bisa dilakukan jika diperlukan untuk memastikan pendidikan kedokteran bisa lebih baik.
”Dari seluruh proses pendidikan dokter spesialis, 98 persen dilakukan di rumah sakit bukan di bangku kuliah. Karena itu, rumah sakit pendidikan sangat berperan penting pada seluruh proses yang ada,” kata Andi.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Budi Santoso berpendapat, adanya temuan terkait gejala depresi pada peserta PPDS perlu disikapi dengan baik dan tepat. Survei yang dilakukan berbasis kuesioner ini perlu dilakukan tindak lanjut.
Kuesioner merupakan bentuk pengakuan diri, sementara diagnosis depresi perlu dipastikan melalui pemeriksaan dari ahli. Karena itu, pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan segera perlu dilakukan, khususnya pada peserta yang ditemukan dengan gejala depresi sedang-berat dan berat.
Ia juga menilai hasil survei ini dapat dijadikan basis perbaikan dari pendidikan dokter di Indonesia. Meskipun itu bukan berarti menjadi landasan untuk menilai basis pendidikan yang lebih baik pada pendidikan kedokteran saat ini.
“Proses pendidikan PPDS hampir seluruhnya dilakukan di rumah sakit, baik dengan sistem hospital based ataupun university based. Jadi, kalau benar ini merupakan bentuk stres, sistem apa pun akan bisa terjadi, baik dengan sistem UB (university based) maupun HB (hospital based),” kata Budi.