Jalan Berliku Transpuan dan Warga Miskin Mengklaim Dana Kematian
Kehidupan transpuan tak hanya tersisih dari masyarakat. Mereka pun kesulitan mengakses berbagai layanan jaminan sosial.
Harapan 163 transpuan dan warga miskin untuk mendapatkan klaim atas program jaminan kematian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan untuk kategori bukan penerima upah lagi-lagi kandas. Kendati mereka menjadi peserta aktif dari program tersebut, mereka tetap tidak tidak bisa menikmati manfaat dari program itu.
BPJS Ketenagakerjaan tetap menolak pengajuan klaim mereka atas atas program jaminan kematian kategori bukan penerima upah (BPU) meskipun sudah ada upaya mediasi antara Perkumpulan Suara Kita (perwakilan transpuan dan orang miskin) dengan BPJS Ketenagakerjaan. Mediasi dengan mediator Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) hingga akhir Maret 2024 pun gagal.
Dalam Risalah Gagal Mediasi oleh Mediator DJSN yang ditandatangani Ketua DJSN Agus Suprapto dan Mediator DJSN Subiyanto disebutkan sikap BPJS Ketenagakerjaan yang tidak dapat menjalankan anjuran DJSN. Sebelumnya, DJSN menyampaikan dua anjuran kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Baca juga: Ketika Transpuan Memperjuangkan Klaim Dana Kematiannya
Pertama, DJSN menganjurkan ketentuan Pasal 218 Ayat (5) Peraturan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan JKK dan JKM harus segera dicabut karena bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kedua, DJSN menganjurkan BPJS Ketenagakerjaan agar membayar klaim JKM yang diajukan Perkumpulan Suara Kita yang menggunakan surat wasiat baik surat wasiat di-waarmerking maupun tidak di-waarmerking, berdasarkan regulasi yang berlaku dalam jaminan sosial ketenagakerjaan. Waarmerking adalah tindakan notaris yang melakukan pembukuan atas akta bawah tangan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dengan memasukkannya ke dalam buku khusus.
Perkumpulan Suara Kita selaku pelapor menyatakan menerima anjuran mediator DJSN. Mereka juga memohon agar BPJS Ketenagakerjaan membayarkan biaya pemakaman atas nama peserta Ruk Maya SM dengan kondisi tanpa wasiat kepada Perkumpulan Suara Kita, selaku pihak yang mengurus pemakaman.
Namun, BPJS Ketenagakerjaan selaku terlapor menyatakan sikap tidak dapat menjalankan kedua anjuran yang disampaikan DJSN.
Atas sikap penolakan BPJS Ketenagakerjaan tersebut, Perkumpulan Suara Kita dan Jaringan Komunitas untuk BPJS Ketenagakerjaan menyatakan sangat kecewa. Lembaga seperti DJSN yang seharusnya merupakan perangkat formal untuk membantu penyelesaian kasus, seperti yang dialami transpuan dan warga miskin, tidak diindahkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
”BPJS Ketenagakerjaan, bukan cuma tidak peka dan tidak sensitif, tetapi tidak bisa memahami maksud dan tujuan program jaminan sosial yang telah didesain negara,” ujar Hartoyo, mewakili Jaringan Komunitas untuk BPJS Ketenagakerjaan, Senin (15/4/2024).
Langkah transpuan mendaftar program JKM tersebut, kemudian membuat wasiat, bukan tanpa alasan.
Ia pun menilai, BPJS telah melakukan pelanggaran hukum dengan penolakan klaim itu. Peserta diterima, bayar iuran, punya kartu peserta tapi saat klaim ditolak,
Karena itulah, mereka mempertanyakan sikap BPJS Ketenagakerjaan. Penolakan untuk membayar klaim, sebagaimana anjuran DJSN, menunjukkan BPJS tidak menghargai peran lembaga DJSN.
”Padahal, sebenarnya tadinya kami berharap laporan kami ke DJSN bisa menyelesaikan persoalan kami dan perbaikan sistem ke depan,” kata Hartoyo.
DJSN merupakan institusi resmi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 dan mendapat mandat untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan badan jaminan sosial, dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan
Bagi para transpuan dan warga miskin, klaim dana kematian bagi peserta program jaminan kematian BPJS Ketenagakerjaan kategori BPU sangat berarti. Selain untuk membantu pengurusan saat mereka meninggal, dana tersebut bisa bermanfaat untuk solidaritas sosial bagi komunitas transpuan.
Sebagai kelompok rentan, transpuan dan warga miskin pun menaruh harapan besar pada program BPJS Ketenagakerjaan pada kategori BPU. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua.
Melalui program tersebut, masyarakat di kategori BPU atau kelompok masyarakat yang bekerja informal menjadi peserta dan berhak mendapatkan klaim jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua. Sejak 2023 hingga kini lebih dari 160 transpuan dan masyarakat miskin melalui Perkumpulan Suara Kita mendaftarkan diri sebagai peserta program tersebut.
Ketika mendaftar, BPJS menganjurkan mereka untuk mengikuti program tersebut melalui Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia). Mereka membayar iuran Rp 16.800 per bulan. Namun, ketika beberapa transpuan peserta program itu meninggal dan tidak memiliki keluarga, santunan tersebut tidak bisa diklaim meskipun ada surat wasiat yang menyatakan dana kematiannya dari BPJS yang bisa diserahkan kepada komunitas transpuan.
Prinsip kehati-hatian
Terkait persoalan tersebut, Deputi Bidang Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun mengungkapkan BPJS Ketenagakerjaan memiliki komitmen tinggi dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh pekerja Indonesia, mulai sejak mendaftar menjadi peserta hingga mendapatkan manfaat perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaannya.
”Sebagai badan hukum publik yang diamanatkan undang-undang untuk mengelola dana pekerja, kami senantiasa mengedepankan prinsip kehati-hatian dan memastikan manfaat jaminan diberikan kepada yang berhak, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” kata Oni.
Sesuai amanah UU, program Jaminan Kematian (JKM) sebagai salah satu asuransi sosial yang memberikan perlindungan atas risiko sosial, yang manfaatnya menjadi hak peserta atau anggota keluarganya.
Baca juga: Transpuan Punya Hak yang Sama dengan Warga Negara Lain
Dalam kasus permohonan klaim JKM yang diajukan Komunitas Suara Kita, hingga kini BPJS Ketenagakerjaan telah memproses 9 permohonan klaim JKM. Dua klaim dibayarkan kepada ahli waris yang berhak dengan nilai santunan masing-masing sebesar Rp 42 juta, dan lima klaim yang dibayarkan kepada pihak yang mengurus pemakaman almarhum, masing-masing Rp 10 juta.
Adapun dua klaim lainnya tidak dapat diproses lebih lanjut. Alasannya, pada saat pemeriksaan ke lapangan ditemukan fakta bahwa peserta tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa pengajuan klaim di antaranya menggunakan surat wasiat waarmerking yang menempatkan Komunitas Suara Kita sebagai penerima manfaat.
”Dalam peraturan perundang-undangan belum terdapat pengaturan yang jelas terkait wasiat waarmerking yang dapat dijadikan dasar dalam proses pencairan manfaat JKM sehingga pembayaran manfaat belum bisa dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan,” kata Oni.
Alasannya, prosedur pembayaran manfaat JKM harus merujuk pada ketentuan PP No 44/2015 sehingga syarat administratif dan teknis harus dipenuhi dalam proses pengajuannya. Pencairan JKM kepada pihak yang ditunjuk dalam wasiat merupakan urutan keempat yang dilakukan dalam hal urutan ahli waris yang memiliki hubungan darah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dipastikan tidak ada.
Terkait ketentuan tersebut, BPJS Ketenagakerjaan telah menjelaskan saat pertemuan kedua belah pihak. ”Kami menghormati hak Komunitas Suara Kita akan melakukan pengaduan terkait hal tersebut. Namun, dalam hal ini, BPJS Ketenagakerjaan akan tetap tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku, di mana ahli waris yang sah sebagai penerima manfaat JKM telah diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2015,” ucap Oni.
Dugaan pelanggaran HAM
Tidak terima dengan penolakan BPJS Ketenagakerjaan, awal April 2024 lalu para transpuan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengungkapkan ada dua dugaan potensi pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.
Pertama, dugaan mengalami praktik diskriminasi dalam layanan publik karena peserta masuk kategori BPU yang merupakan kelompok minoritas, orang miskin, transpuan, dan sebagainya, sehingga klaimnya digantung BPJS. Kedua, ada dugaan pelanggaran hak atas kesejahteraan, termasuk hak atas kesehatan karena Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur bagaimana negara memfasilitasi dan memastikan pencairan klaim.
”Tapi, ini terhambat. Ini potensi pelanggaran terhadap instrumen internasional, hak atas budaya, politik, termasuk UU HAM,” kata Anis.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Charles Honoris, mengatakan, setelah masa reses DPR selesai, pihaknya akan mengundang Perkumpulan Suara Kita untuk audiensi dengan Komisi IX DPR, setelah itu baru memanggil BPJS Ketenagakerjaan.
Soal penolakan BPJS Ketenagakerjaan, Charles sangat menyayangkan jika benar ada kejadian seperti itu. Sebab, BPJS Ketenagakerjaan adalah lembaga yang didirikan untuk bisa memastikan adanya jaminan sosial ketenagakerjaan bagi setiap warga negara, terlepas dari latar belakang sosial dan orientasi seksual. ”Harus dibedakan dengan perusahaan asuransi swasta sehingga ketentuan untuk menerima manfaat tidak boleh dipersulit dan dibuat berbelit-belit,” ucap Charles.
Baca juga: Kepesertaan BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah Baru 11 Persen
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, menilai, persoalan klaim komunitas transpuan harus bisa diselesaikan melalui proses hukum agar bisa memberikan kepastian hukum. Hal ini pun untuk memastikan tidak ada kasus-kasus lainnya di kemudian hari.
”Untuk masalah ini, ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu melakukan uji materi atas PP Nomor 44 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung dengan petitum surat wasiat dapat digunakan sebagai dasar klaim bagi peserta yang sudah membuat wasiat tersebut, atau gugatan ke pengadilan negeri untuk pembayaran klaim secara keseluruhan,” kata Timboel.
Bagi pengamat jaminan sosial, Ahmad Ansyori menilai, penolakan BPJS Ketenagakerjaan terhadap anjuran DJSN menunjukkan kelembagaan DJSN yang lemah dan tidak sesuai dengan amanat UU No 40/2004. ”Ada bagian dari reformasi jaminan sosial yang tidak tuntas, khususnya tentang maturitas kelembagaan jaminan sosial,” ucap Ahmad.
Berbagai solusi tentu menjadi harapan bagi para transpuan untuk mendapatkan klaim kematian. Sebab, langkah mereka mendaftar program JKM tersebut, kemudian membuat wasiat, bukan tanpa alasan. Karena selama ini para transpuan terbuang dari keluarga. Saat mereka sakit dan meninggal, biasanya komunitas transpuanlah yang mengurus mereka.