Daripada Mengecam Keadaan, Donasikan Bukumu Sekarang
Indonesia mengalami darurat literasi. Selain minat baca rendah, distribusi sumber bacaan juga tidak merata.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Menerima kenyataan rendahnya literasi masyarakat Indonesia memang menyebalkan. Masalah utamanya bukan cuma pada minat baca, tetapi juga ketersediaan buku yang tidak merata. Daripada mengecam keadaan, sejumlah orang memilih bergerak mendonasikan buku untuk mendekatkan akses bacaan.
Jarum jam belum menunjukkan pukul 09.00 saat Hardoni (33) tiba di Halte Transjakarta Kota, Sabtu (13/4/2024). Dengan berjalan kaki di jalur pedestrian, ia menyelip di antara kerumunan pengunjung yang ingin berwisata di kawasan Kota Tua.
Langkahnya terhenti saat melewati lemari berbentuk trapesium di samping Taman Fatahillah. Ia membuka pintu lemari itu. Tangannya mengambil sebuah buku dengan sampul berwarna merah dari tasnya lalu meletakkannya di rak paling bawah.
Lemari buku setinggi 1,7 meter itu dikelola Bookhive, perpustakaan bersama yang berada di sejumlah ruang publik. Warga tak hanya bisa membaca dan meminjam buku, tetapi juga berdonasi buku dengan menitipkannya di lemari tersebut.
Hardoni sudah cukup familiar dengan gerakan literasi yang digagas pada 2021 itu. ”Saya pernah lihat dan baca di Taman Suropati dan beberapa stasiun MRT. Namun, baru pertama kali ini ikut berdonasi buku. Semoga buku ini dibaca dan bisa bermanfaat, ya,” ujarnya.
Karyawan salah satu bank swasta di Jakarta Selatan tersebut menyumbangkan buku berjudul Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-praktiknya di Indonesia. Buku itu sudah selesai ia baca.
Hardoni mengaku resah setiap kali membaca atau mendengar berita tentang rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Menurut dia, ketersediaan buku yang minim menjadi salah satu pemicu.
”Dengan berbagi buku, akan semakin banyak orang yang terliterasi. Saya tidak punya uang untuk membeli buku-buku baru. Jadi, saya menyumbangkan buku yang sudah habis dibaca,” kata Hardoni.
Keresahan Hardoni cukup berdasar. Skor membaca Programme for International Student Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) Indonesia turun 12 poin menjadi 359 dibandingkan tahun 2018 dengan skor 371. Selain itu, berdasarkan hasil Asesmen Nasional tahun 2021, satu dari dua peserta didik jenjang sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) juga belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Donasi buku dititipkan di berbagai fasilitas umum, mulai dari halte, stasiun, bandara, taman, hingga kafe. Bahkan, ada juga yang mengirimkan buku ke daerah terpencil yang sulit mengakses sumber bacaan.
Akses warga terhadap sumber bacaan juga minim. Standar Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan, setiap orang minimal membaca tiga buku setiap tahun. Namun, di Indonesia, rasio koleksi perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk sebesar 1:90. Artinya, satu buku ditunggu oleh 90 orang.
Selain itu, minat baca masyarakat Indonesia juga hanya 0,1 persen. Berarti, cuma 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Tak cuma di taman kota, gerakan berbagi buku juga tumbuh di halte Transjakarta dan stasiun MRT. Warga bisa meminjam dan mendonasikan buku di rak buku yang disediakan. Gerakan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari komunitas literasi hingga penerbit.
Di Halte Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia, misalnya, sebuah rak buku diletakkan di bawah tangga. Rak buku serupa juga terdapat di Halte Kota, Dukuh Atas, Gelora Bung Karno, dan CSW (Centrale Stichting Wederopbouw).
Dengan memindai kode cepat tanggap atau QR, pengguna Transjakarta dapat meminjam buku di rak tersebut. Durasi peminjamannya maksimal tujuh hari.
”Baru tahu ada rak buku seperti ini. Meskipun kecil, ini bagus karena bisa dipinjam dan dibawa pulang. Tidak semua orang bisa beli buku,” ujar salah satu penumpang, Fidia (26).
Oase
Berjarak sekitar 7 kilometer dari Bundaran HI, Afandi (29) mendonasikan buku di Stasiun MRT Blok M. Di rak buku itu juga terdapat sejumlah buku hasil sumbangan pengguna MRT lainnya.
”Ini salah satu cara untuk mendongkrak tingkat literasi. Daripada mengecam keadaan karena buruknya literasi kita, lebih baik ikut berbagi buku. Buku-buku yang sudah tidak gunakan mungkin sangat dinantikan oleh orang lain,” ujar Afandi.
Afandi mengatakan, dirinya sering merasa miris karena kekurangan buku di Tanah Air terjadi di tengah maraknya kasus korupsi. Ia bahkan pernah berandai-andai jika uang negara yang dikorupsi tersebut dipakai untuk membeli buku dan disebarkan ke penjuru negeri.
Kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah yang terungkap akhir-akhir ini turut menyita perhatiannya. Kerugian negara pada kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp 271 triliun.
Jika dipakai untuk membeli buku dengan harga Rp 100.000, uang tersebut bisa membeli 2,71 miliar eksemplar buku. ”Dengan buku sebanyak itu, mungkin kita bisa menyebarkannya ke semua tempat. Sayangnya, ini cuma berandai-andai,” ujarnya disertai tawa.
Duta Baca Indonesia, Heri Hendrayana Harris atau lebih akrab disapa Gol A Gong, mengatakan, gerakan berbagi buku bukanlah tren baru. Gerakan ini tumbuh di akar rumput dan melibatkan berbagai pihak.
Donasi buku dititipkan di berbagai fasilitas umum, mulai dari halte, stasiun, bandara, taman, hingga kafe. Bahkan, ada juga yang mengirimkan buku ke daerah terpencil yang sulit mengakses sumber bacaan.
”Kita sering sekali diskriminatif, misalnya dengan mengatakan budaya baca di Indonesia bagian timur rendah. Padahal, bukan itu masalah utamanya. Mereka di sana tidak punya buku. Distribusi buku tidak merata,” kata Heri Hendrayana.
Munculnya gerakan berbagi buku menjadi oase di tengah buruknya tingkat literasi bangsa. Gerakan ini menunjukkan kepedulian untuk mendekatkan akses bacaan agar lebih merata.