Pengasuhan Anak Butuh Peran Ayah dan Ibu secara Berimbang
Peran ayah sama pentingnya dengan ibu dalam pengasuhan anak. Namun, ketiadaan peran ayah bagi anak masih tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan orangtua, yaitu ayah dan ibu, secara berimbang. Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, tetapi juga ayah. Namun, dalam kenyataanya banyak pengasuhan anak dalam keluarga tanpa kehadiran dan keterlibatan seorang ayah atau disebut fatherless.
Padahal, kehadiran ayah dalam keluarga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keberadaan ayah secara stabil dalam kehidupan anak penting bagi perkembangan emosional anak karena dapat memberikan stabilitas, perlindungan, dan rasa aman.
Ike Anggraika, psikolog dan staf pengajar di Laboratorium Life-span Development Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), seperti dikutip dari laman resmi UI, Kamis (11/4/2024), mengatakan, negara perlu membuat kebijakan yang mendukung keluarga sehingga dapat membantu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. ”Ini termasuk dukungan untuk cuti bagi ayah dan fleksibilitas jam kerja, ” kata Ike.
Baca juga: Peran Ayah Semakin Pudar
Selain itu, negara juga dapat memperkuat program pendidikan yang menyoroti pentingnya peran ayah dalam kehidupan anak-anak. Ini dapat mencakup kampanye kesadaran, seminar, dan program pendidikan yang ditujukan untuk ayah tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak mereka.
Ike menyampaikan, fatherless merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak-anak yang dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah dalam keluarga mereka. Indonesia termasuk dalam deretan negara dengan tingkat fatherless tinggi.
Istilah fatherless, pada penurunan keterlibatan ayah dalam pengasuhan, meliputi keluarga tanpa ayah karena ibu mengasuh sendiri: ayah tidak tinggal serumah dengan keluarga disebabkan tuntutan pekerjaan dan ayah yang tetap berperan sebagai pencari nafkah, tetapi kurang/tidak terlibat dalam pengasuhan.
Secara terpisah, Kepala Center for Public Mental Health Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Diana Setiyawati mengatakan, pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan orangtua, yaitu ayah dan ibu, secara berimbang. Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, tetapi juga dilakukan ayah.
”Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” ujar Diana.
Kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari yang diberikan ibu, antara lain pemecahan masalah, eksplorasi, pemikiran abstrak, pemahaman logika, dan penalaran matematika.
Diana menyebutkan, budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat Indonesia menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak. Sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik.
Selain faktor budaya, anak juga bisa mengalami fatherless karena orangtua yang terlalu sibuk. Kesibukan bekerja menjadikan ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan.
”Ayah memiliki peran penting sama halnya dengan ibu dalam perkembangan anak baik kognitif, sosial, maupun emosional. Keterlibatan ayah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti melakukan kegiatan bersama, komunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, dan selalu ada untuk anak,” ujar Diana.
Sebagai tulang punggung keluarga, kata Ike, ayah menyediakan dukungan finansial yang stabil untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak-anak. Keterlibatan ayah dalam tanggung jawab rumah tangga dan perawatan anak juga membantu meringankan beban istri, memberikan dukungan mental dan emosional yang kuat, serta memungkinkan istri memiliki waktu lebih banyak untuk fokus pada karier atau minat pribadi.
”Dalam aspek perkembangan anak, kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari yang diberikan ibu, antara lain pemecahan masalah, eksplorasi, pemikiran abstrak, pemahaman logika, dan penalaran matematika. Ayah juga berperan mengajarkan kepercayaan diri, pengelolaan emosi, dan norma sosial,” kata Ike.
Dampak psikologis
Di lain sisi, anak yang tumbuh dalam keluarga fatherless akan menanggung beberapa dampak psikologis. ”Kehilangan atau kurangnya figur ayah sebagai sumber dukungan emosional dan model peran yang kuat dapat memengaruhi kesehatan mental anak secara negatif,” ucap Ike.
Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakstabilan emosi, kesulitan mengelola emosi, hingga mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Anak-anak mungkin mengalami perasaan kurangnya dukungan baik finansial maupun psikologis dengan tidak hadirnya ayah di tengah keluarga.
Kehilangan ayah dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak sehingga anak menghadapi kesulitan dalam pemecahan masalah dan keterampilan akademis. Kurangnya dukungan emosional dan contoh model peran yang sehat dari seorang ayah juga dapat menghambat perkembangan kecerdasan sosial anak.
Anak-anak mungkin mengalami kepercayaan diri rendah, kesulitan dalam memahami norma sosial dan berinteraksi dengan orang lain, hingga kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain. ”Karena itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan fatherless lebih rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship,” kata Ike.
Baca juga: Cerita Asmara ”Sugar Daddy”
Masalah emosional, psikologis, dan sosial yang dirasakan anak akibat hubungan yang buruk dengan ayah juga dikenal dengan istilah daddy issues. Ketika tumbuh dewasa, perempuan yang memiliki daddy issues mengalami kesulitan dalam membangun hubungan intim yang sehat dan stabil dengan laki-laki, serta muncul ketidakpercayaan pada pria dalam kehidupan mereka.
Sementara itu, laki-laki yang mengalami daddy issues akan kesulitan membentuk identitas laki-laki dan ragu akan peran laki-laki. Ketiadaan figur ayah bagi anak laki-laki sebagai contoh menjadi suami yang bertanggung jawab, pengasuh yang baik, dan mitra yang setia membuat mereka kesulitan memahami dinamika hubungan pernikahan.
Beberapa intervensi
Ike mengatakan, guna meminimalkan dampak hidup tanpa ayah, orang dewasa lain yang ada di lingkungan anak dapat melakukan beberapa intervensi. Dukungan emosional yang konsisten serta lingkungan yang aman dan mendukung adalah kunci dalam membantu anak mengatasi dampak fatherless. Ibu, bibi, paman, kakek, atau nenek dapat memastikan bahwa anak merasa didengar, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.
Meskipun ayah mungkin tidak hadir, usahakan untuk memberikan anak model peran positif lainnya dalam hidup mereka. Ini bisa termasuk anggota keluarga lain, mentor, guru, atau tokoh masyarakat yang bisa memberikan inspirasi dan dukungan.
”Pastikan anak memiliki hubungan yang kuat dengan figur lain dalam keluarga, seperti ibu, saudara kandung, atau kakek-nenek. Hal ini dapat membantu mengisi kekosongan yang mungkin dirasakan oleh anak akibat ketiadaan ayah,” kata Ike.
Baca juga: Ayah Bermain dengan Anak, Ibu Pun ”Me Time”
Anak juga perlu didorong terlibat dalam kegiatan sosial, seperti klub atau organisasi, serta fokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka. Jika anak mengalami kesulitan yang signifikan dalam mengatasi dampak fatherless, bantuan psikologis profesional dapat menjadi pilihan yang baik.
”Terapis anak yang berpengalaman dapat membantu anak memproses emosi mereka, mengembangkan keterampilan yang diperlukan, dan mengatasi masalah psikologis yang dialami,” kata Ike.